Sekapur Sirih

Tabrani: Orang yang tidak Bisa Mendapatkan Pekerjaan di Mana pun Mencoba Peruntungan di Bidang Jurnalistik

Pemikiran Tabrani mengenai pers Indonesia dituangkan dalam tugas akhir saat belajar jurnalistik di Eropa.

Oleh Priyantono Oemar, bergiat di Komunitas Jejak Republik

Ketika memulai pembahasan pendidikan jurnalistik di buku Ons Wapen, M Tabrani menyitir ucapan Otto von Bismarck: Orang yang kehilangan pekerjaannya, jadi wartawan. Ucapan kanselir Jerman itu juga ditemukan Tabrani di Indonesia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Orang yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan di mana pun mencoba peruntungan di bidang jurnalistik. Akibatnya, standar jurnalistik Indonesia rendah,” kata Tabrani.

Hingga ini, kondisi ini masih ada. Terlebih lagi ketika media daring berkembang di sini. Banyak orang mencari peruntungan mencari penghasilan dari konten, yang didapat dari comot sana comot sini tanpa menyebutkan sumbernya.

Setidaknya ada empat hal yang menurut Tabrani perlu dilakukan untuk pengembangan pers di Indonesia:

1. Pers Indonesia yang Modern

Tabrani menilai, pers Indonesia tak memiliki modal kuat dan percetakan yang bagus. Iklan dan pelanggan turun naik jumlahnya.

“Pers Indonesia tidak hanya kekurangan iklan yang besar dan besar, namun juga menderita karena pelanggan yang tidak bisa membayar, sehingga menghambat perkembangannya. Masalah ini lebih besar dan karenanya lebih berbahaya dibandingkan kurangnya iklan,” tulis Tabrani.

Oohya! Baca juga ya: Capres Anies-Ganjar Saling Cuit Gunakan Boso Walikan, di Masa Penjajahan Belanda Penggunanya Ditangkap Polisi

Tabani pun memuji Bintang Timoer yang sudah dikelola dengan manajemen yang modern. Pengelolaan Bintang Timoer disebut Tabrani sebagai yang terbaik saat itu.

“Jiwa dari perusahaan ini adalah Bapak Parada Harahap yang merupakan seorang jurnalis dan pengusaha sejati,” tulis Tabrani.

Namun, ia mengkritik surat kabar yang dikelola Parada Harahap ini, karena pilihan haluannya. Surat kabar Indonesia, menurut Tabrani harus membawa gagasan kemerdekaan.

Oohya! Baca juga ya: Bulan Oktober, Ingat Sumpah Pemuda Ingat Pula Tabrani yang Juga Mengelola Sekolah Kita dan MULO di Madura

Pandangannya harus luas dalam menangani kasus-kasus, karena adanya banyak pandangan yang berbeda di masyarakat. Kata Tabrani:

Maka, untuk haluan ini, tidak ada tempat bagi surat kabar yang netral/liberal. Netralitas tidak pantas bagi lembaga pers nasional yang ada di negeri jajahan ...

Surat kabar yang dimiliki dan disunting oleh orang Indonesia yang menampilkan dirinya sebagai surat kabar netral, tidak layak dimasukkan dalam organisasi pers nasional. Surat kabar semacam itu, berkat apa yang disebut netralitasnya, rentan terhadap godaan untuk meningkatkan peredarannya dengan menyalahgunakan posisi politik yang ada di negara kita.

Tabrani menyebut, semua surat kabar yang dikelola oleh orang Indonesia mendukung pergerakan nasional. Namun, yang satu bisa lebih sadar mendukung, melakukan hal yang lebih baik bagi pergerakan kebangsaan Indonesia dibandingkan yang lainnya.

2. Pendidikan Wartawan

Tabrani harus memendam rasa kecewa karena tak menemukan sekolah jurnalistik di Belanda. Orang Belanda meyakini bahwa menjadi wartawan adalah bakat bukan hasil dari belajar. Sehingga ia belajar jurnalistik di Jerman.

Maka, setelah pulang dari Eropa, Tabrani pun mendirikan kursus jurnalistik di Gang Kenari, Batavia. Komentar sinis pun muncul bahwa tak akan ada lowongan pekerjaan bagi lulusan lembaga kursus jurnalistik Tabrani itu.

Soerabaijasch Handelsblad mengutip beberapa komenar yang muncul. Di antaranya dari Sinar Deli yang menilai kursus jurnalistik Tabrani hanya berguna bagi orang-orang yang berbakat. Preanger Bode menyebut lulusan kursus jurnalistik Tabrani hanya akan mampu membuat makalah.

Oohya! Baca juga ya: Bupati Grobogan Menyusun Kekuatan Setelah Raja Mataram yang Masih Muda Berpihak ke Belanda

Majalah Kejawen terbitan Balai Pustaka mencatat, ada 68 siswa dan 10 siswi yang mendaftar kursus. Sebanyak 45 siswa belajar dua kali seminggu dalam bahasa Indonesia (hari Senin dan Kamis, pukul 07.00-08.30 malam) dan 23 siswa belajar dalam bahasa Belanda seminggu sekali tiap hari Jumat, pukul 07.00-08.30 malam.

Ketika Tabrani pindah ke Madura pada 1933, kursus di Batavia terhenti. Didirikan lagi ketika Tabrani kembali ke Batavia.

Pada awal 1938, ia mendirikan Institut Jurnalis Indonesia dan Pengetahuan Umum. Untuk tahap awal, pendidikan akan berlangsung selama dua tahun, lalu akan ditingkatkan menjadi empat tahun.

Program untuk tahun pertama berisi tentang etnologi, ekonomi, geografi-ekonomi, sosial-geografi, sejarah, perencanaan pemerintah, bisnis surat kabar, dan jurnalistik. Beberapa tokoh terkemuka, seperti Atik Soewardi, MH Thamrin, dan Soetardjo, ikut membantu keberadaan lembaga ini. Para siswa Rechtshoogeschool yang telah mengajar di Pergoeroean Rakjat, Cikini, juga membantu mengajar di sekolah jurnalistik Tabrani ini.

Oohya! Baca juga ya: Asal Mula Sebutan Sumpah Pemuda Menggantikan Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia

Kata Tabrani:

Berkat bantuan Sumanang-Wilopo saya dapat mendirikan “Institut Jurnalistik dan Pengetahuan Umum” di ruangan Perguruan Rakyat Jl. Kramat Raya. Peserta pertama dan utama dari keluarga besar Pemandangan pada bagian redaksi, administrasi, percetakan, advertensi, distribusi.

Sumanang-Wilopo menangani bagian “Pengetahuan Umum” sedang saya bagian jurnalistik dan perusahaan surat kabar, teori dan praktek. Peserta di luar keluarga besar Pemandangan tidak sedikit jumlahnya. Terdiri dari wartawan yang sudah bekerja dan mereka yang ingin menjadi wartawan.

Sebelum tahun 1930, Sosrokartono, kakak RA Kartini, membuka kursus jurnalistik di Bandung. Pada Juli 1927, Taman Siswa mendirikan AMS di Bandung dan Sosrokartono ditunjuk sebagai kepala AMS.

Ini AMS versi timur yang mengajarkan hal-hal ketimuran pada kelas siang hari. Ada sejarah Islam, bahasa Arab, sejarah agama-agama di Indonesia, dan sebagainya.

Pada malam hari diberikan kelas jurnalistik. Sosrokartono dikenal sebagai wartawan selama tinggal di Belanda. Ketika kembali ke Indonesia ia masih menjadi wartawan untuk media Amerika Serikat, sampai akhirnya memilih menjadi tabib dan meninggalkan dunia jurnalistik sama sekali.

Tak ada kabar yang pasti mengenai terealisasi tidaknya kursus jurnalistik yang digagas Sosrokartono itu. De Telegraaf memberitakan bahwa Sosrokartono juga membuka kursus jurnalistik di Batavia.

Selama tinggal di Pamekasan, Tabrani juga mengelola kursus jurnalistik sejak 1933. Ia mendirikan Instituut Zelfontwikkeling (Institut Pengembangan Diri).

Kelasnya dibuka pada malam hari dengan materi: pengetahuan umum, tata buku dan ilmu dagang, jurnalistik, bahasa Belanda, bahasa modern (Prancis, Jerman, Inggris), mengetik, dan stenografi. Kursus dilaksanakan di Sekolah Kita, dengan biaya kursus 0,5 gulden per bulan untuk tiap vak.

Oohya! Baca juga ya: 17 Agustus Dini Hari WR Supratman Meninggal Dunia, 28 Oktober Malam Membawakan Lagu ‘Indonesia Raya’

Di Ons Wapen, Tabrani menyatakan pendidikan wartawan di Indonesia setidaknya pendidikan menengah. Namun, bidang-bidang khusus hendaknya ditulis oleh orang-orang yang bependidikan khusus itu. Masalah hukum ditulis oleh sarjana hukum, masalah kesehatan ditulis oleh dokter, dan sebagainya.

Lantas untuk apa pendidikan jurnalistik? Di Indonesia, sekolah hukum sudah ada, sekolah dokter sudah ada, sekolah pertanian sudah ada, tetapi belum ada sekolah jurnalistik.

Padahal, pendidikan jurnalistik itu juga diperlukan. Laporan-laporan umum, memerlukan wartawan yang memiliki pendidikan jurnalistik.

Oohya! Baca juga ya: Kesal karena 10 Tahun Sumpah Pemuda dan Bahasa Indonesia Diabaikan, Adik Tabrani Adakan Lagi Konggres Pemuda

Ia pun merinci kurikulum yang diperlukan dalam pendidikan jurnalistik:

Untuk wartawan politik: yang perlu diajarkan adalah sejarah, politik, ekonomi, dan lain-lainnya. Politik mencakup juga teori politik. Untuk ekonomi, ada pula ekonomi politik. Ada pula geografi, statistika, ilmu hukum, dan filsafat, psikologi, sosiologi, sejarah sastra.

Untuk wartawan ekonomi: yang perlu diberikan antara lain adalah statistika, geografi, hukum bisnis.

Untuk pendidikan jurnalistiknya, mencakup kajian surat kabar sebagai ilmu: antara teori surat kabar, sejarah surat kabar, struktur dan fungsi surat kabar, organisasi surat kabar, bentuk kepemilikan surat kabar, dan sebagainya. Dikenalkan pula bentuk-bentuk surat kabar: harian/majalah bisnis, harian/majalah politik.

Tentu saja yang tidak boleh dilupakan, kata Tabrani, “Pengetahuan Bahasa Indonesia, steno, dan mengetik adalah wajib bagi semua orang.”

Di masa depan, pendidikan wartawan ini, menurut Tabrani, harus ada di perguruan tinggi. Di Jerman, bisa mengambil pendidikan jurnalistik hingga program doktor.

3. Perserikatan Surat Kabar Nasional

Pada 1929, menurut Tabrani, bangsa Indonesia memiliki delapan surat kabar berbahasa Indonesia. Surat-surat kabar itu, lima disebut Trabrani sebagai murni nasionalis: Darmo Kondo di Solo, Sedijo Tomo di Yogyakarta, Fadjar Asia di Weltevreden, Pewarta Deli di Medan, Pemberita Makassar di Makassar.

Sedangkan yang tiga lagi disebut Tabrani sebagai liberal. Yaitu Bahagia di Semarang, Bintang Timoer di Weltevreden, Tjaja Soematra di Padang.

Bandung dan Surabaya yang menjadi pusat pergerakan tidak memiliki surat kabar berbahasa Indonesia. Dengan jumlah surat kabar yang sedikit ini, membuat perjuangan kemerdekaan lamban bergerak. Kemampuan surat-surat kabar itu juga terbatas, karena tidak memiliki wartawan di banyak kota.

Surat-surat kabar itu belum memiliki hubungan organisasi. Hal itu menghambat upaya percepatan pergerakan nasional.

Oohya! Baca juga ya: Keasyikan Naik Gunung Sejak Pandemi, TBC Sembuh, Lalu Mengapa Akhirnya Kecanduan Berfoto di Patok Puncak?

Maka, menurut Tabrani, langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembentukan perserikatan surat kabar nasional. Badan ini harus mencakup semua surat kabar Indonesia yang berorientasi nasional, yang otonom.

Menurut Tabrani, surat kabar Indonesia harus bisa membentuk perserikatan, terlepas dari perbedaan dan perselisihannya dalam mengutamakan kepentingan nasional. Karena, dengan badan ini, surat kabar Indonesia bisa meningkatkan kerja sama. Selain kerja sama pertukaran berita, pembentukan lembaga pelatihan wartawan, dan penciptaan kantor berita, juga kerja sama dengan dunia pergerakan untuk kemerdekaan.

Prioritasnya tentu saja untuk surat kabar berhaluan nasional, namun surat kabar yang berhaluan netral/liberal pun perlu diajak bergabung. “Tidak menutup kemungkinan mereka akan berubah haluan begitu konsentrasi pers nasional ada,” tulis Tabrani.

Untuk merealisasikan ide ini, Tabrani pesimistis dari kalangan surat kabar ada yang bersedia memulainya. Karena itu, untuk tahap awal ia mengusulkan agar Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) mengambil inisiatif mengajak surat-surat kabar membuat lembaga konsentrasi itu.

Oohya! Baca juga ya: Kisah Tentara KNIL di Grobogan Menjadi Buta Gara-gara akan Mencuri Ikat Kepala Ki Ageng Selo

Tabrani mengakui, ide yang ia tuangkan di Ons Wapen masih jauh dari sempurna, sehingga bisa saja mengalami kesulitan dalam penerapannya. Tapi, setidaknya menjadi penghargaan kepada keyakinan bahwa bangsa Indonesia akan memilikinya dalam waktu yang tidak lama lagi. Karenanya, sudah waktunya untuk segera melakukan aksi untuk mencapai Indonesia Merdeka.

Sehubungan dengan hal itu, maka Tabrani menyerukan agar bangsa Indonesia mendukung pers yang menjunjung tinggi cita-cita kemerdekaan Indonesia. Lalu, menahan diri untuk tidak mendukung pers yang berada di bawah pengaruh merusak perjuangan kemerdekaan.

"Esensi surat kabar adalah penghubung semangat dan pikiran yang mengarah pada tindakan, dan kita berharap pada tindakan nasional," ujar Tabrani.

4. Perlunya Kantor Berita Nasional

Jika lembaga konsentrasi itu sudah terbentuk, masing-masing surat kabar perlu menyediakan wartawannya untuk membuat laporan-laporan eksklusif. Laporan itu kemudian diberikan kepada surat-surat kabar anggota lembaga konsentrasi ini.

Dengan cara ini, surat kabar nasional mendapatkan pasokan berita yang berkualitas dan murah, karena tidak perlu mengirimkan sendiri wartawannya. Dengan cara ini pula surat kabar anggota memiliki laporan yang berkualitas, andal dan rinci. Dengan cara ini pula, penyebaran informasinya bisa lebih luas.

Selain dengan cara itu, ada cara lain yang ditawarkan Tabrani, itu membentuk lembaga pers yang khusus diperuntukkan bagi anggota konsentrasi pers nasional. Biayanya ditanggung bersama.

Pemberitaan ini tidak hanya berlaku pada berita dalam negeri saja, namun juga berita luar negeri. Bagian "Luar Negeri" akan lebih terawat jika terdapat kantor korespondensi di luar negeri yang biayanya ditanggung oleh beberapa surat kabar.

Lembaga konsentrasi ini di kemudian hari juga bisa mengadakan pameran surat kabar, konferensi, meningkatkan pendidikan wartawan atau staf di percetakan dan pemasaran dari masing-masing surat kabar yang menjadi anggota, melakukan pencatatan ilmiah bahasa Indonesia. Tabrani melihat saat itu bahasa Indonesia belum menjadi bahasa yang maju.

Oohya! Baca juga ya: Bukan Sin Po yang Memuat Pertama Kali Lagu 'Indonesia Raya', Melainkan Koran di Bandung

Tabrani memahami, belum semua bangsa Indonesia menguasai bahasa Indonesia. Oleh karena itu, keberadaan surat-surat kabar nasional yang diperlukan untuk mendukung pergerakan nasional, tidak harus semuanya berbahasa Indonesia.

Semua bahasa yang ada di Indonesia bisa digunakan, karena prinsip dari surat kabar adalah harus mudah dipahami oleh pembacanya. Dengan demikian,surat kabar Indonesia akan bisa mendorong percepatan meluasnya ide-ide gerakan persatuan Indonesia.

Kata Tabrani:

Surat kabar mungkin merupakan institusi pendidikan, tetapi bukanlah bacaan yang mengharuskan seseorang membacanya dengan membuka kamus setiap saat. Seseorang membacanya dengan cepat, di sela kegiatannya. Oleh karena itu harus ditulis dalam bahasa yang dapat dengan mudah dipahami oleh pembaca yang ingin dijangkau.

 

Sumber rujukan:
- De Indische Courant, 25 Februari 1938
- De Locomotief,
23 Juni 1927
- De Sumatra Post,
16 Mei 1931
- De Telegraaf ,
9 Oktober 1928
- Kejawen,
16 Agustus 1930
- Ons Wapen
karya M Tabrani (1929)
- Ra’jat,
1 April 1933
- Soerabaijasch Handelsblad, 15 September 1930

Tulisan ini diambil dari materi yang disampaikan di Seminar “Membedah Tabrani: Gerakan dan Pemikirannya Mendahului Zaman” yang diadakan oleh Balai Bahasa Jawa Timur di Surabaya, 30 Oktober 2023.

 

 

Berita Terkait

Image

Tae Bikin Farhat Abbas dan Denny Sumargo Berseteru, Parada Harahap dan Tabrani Dulu Berseteru karena Kongkalikong

Image

Ini Alasan Kongres Pemuda Diadakan, Ada Orang Tua, dan Bikin Sumpah Pemuda