Kisah Tentara KNIL di Grobogan Menjadi Buta Gara-gara akan Mencuri Ikat Kepala Ki Ageng Selo
Cicit Raja Majapahit Brawijaya V, Ki Ageng Selo, dikenal sebagai sosok sakti. Ia selalu memakai ikat kepala, yang hingga dikini masih disimpan di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan.
Pada waktu masih remaja, dengan tangan kosong ia bisa mengalahkan banteng dalam sekali hantam. Kemudian ia juga bisa menangkap petir yang sering mengganggu petani.
Oohya! Baca juga ya:
Muhaimin Jelaskan Tiga Fungsi Sarung, Mengapa Ia Sabet Anies Baswedan dengan Sarung?
“Kepada siapa saja yang mempunyai niat jelekm kepada Ki Ageng Selo, jika Ki Ageng Selo menarik tunggul wulung dari kepalanya kemudian dikebutkan di muka orang yang berniat jahat, seketika sang penjahat menjadi buta,” tulis T Wedy Utomo.
Tunggul wulung adalah nama ikat kepala Ki Ageng Selo. Tapi tidak ada yang bisa menceritakan bagaimana bentuk ikat kepala itu.
Pun tak ada yang tahu sebesar besar ukurannya. Untuk warna, dipastikan berwarna hitam, karena wulung –yang berasal dari bahasa Jawa-- hitam.
Oohya! Baca juga ya:
Jika ikat kepala Aji Saka ketika dibuka bisa melebar menutupi Pulau Jawa, tidak ada cerita demikian mengenai ikat kepala Ki Ageng Selo. Aji Saka adalah tokoh legenda yang menjadi Raja Medang Kamulan di wilayah Grobogan.
Ia meminta sebidang tanah seluas ikat kepalanya. Permintaan itu ia ajukan kepada RaJa Medang Kamulan sebelumnya, sewaktu Aji Saka pertama kali datang di Medang Kamulan.
Oohya! Baca juga ya:
Para Pemuda Ribut Setelah Polisi Belanda Lakukan Interupsi di Kongres Pemuda Indonesia Kedua
Setelah dibuka, ternyata ikat kepala itu terus melebar, menutup Pulau Jawa. Raja Medang Kamulan yang memegangnya ketika harus mengukir bidang tanah dengan ikat kepala itu akhirnya terlempar ke laut selatan.
Medang Kamulan kehilangan raja. Aji Saka kemudian menjadi raja baru.
Namun, ikat kepala Ki Ageng Selo berbeda dengan ikat kepala Aji Saka. Ki Ageng Selo tidak bisa menggunakan ikat kepalanya untuk mendapatkan kekuasaan.
Yang mendapatkan kekuasaan justru cucunya. Sutowijoyo, sang cucu, mendirikan Kerajaan Mataram, tapi juga tidak dengan menggunakan ikat kepala warisan kakeknya.
Ikat kepala Ki Ageng Selo tetap disimpan di Selo. Kotak yang digunakan untuk menyimpan ikat kepala itu dikunci rapat. Tidak ada yang berani membukanya.
Oohya! Baca juga ya:
Jadi, tidak ada yang tahu bagaimana kondisi ikat kepal itu sekarang. “Mungkinkah telah begitu hancur dimakan ngengat?” tanya T Wedy Utomo.
Atau masih utuh karena kesaktiannya? “Atau barangkali hanya tinggal dongeng saja,” lanjut T Wedy Utomo.
T Wedy Utomo bercerita, masyarakat Desa Selo percaya, jika ada yang berani membuka kotak itu, si pembuka kotak akan buta. Bagaimana bisa tahu yang berani membuka kotak akan buta?
Oohya! Baca juga ya:
Para Pemuda Mengadakan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Wartawan Saling Serang
Cerita ini pada 1980-an masih beredar di Selo. Menurut T Wedy Utomo, pernah ada tiga orang mengalami buta mendadak setelah nekat membuka kotak itu.
Ini juga cerita yang dicatat T Wedy Utomo. Pada 1948-1949 pernah ada tentara KNIL yang ingin memiliki ikat kepala itu.
Ia ingin memiliki kesaktian dengan ikat kepala itu sehingga akan selamat dalam setiap peperangan. Saat rumah tempat menyimpan kotak itu sednag kosong, si tentara KNIL masuk lewat atap rumah.
Namun, tentara KNIL itu mendadak buta. Padahal ia belum menyentuh kotaknya, karena baru selesai membuka genteng untuk bisa masuk ke rumah.
Dengan cara meraba-raba, ia berusaha turun dari atap rumah. Teman-temannya bingung melihat melihat Parmo, begitu nama tentara KNIL itu, tidak dapat melihat lagi.
“Hai, jangan dekati aku. Awas aku tembak kau. Mana tunggul wulung yang kuambil tadi,” teriak Parmo kepada teman-temannya.
Pada saat kejadian itu, penduduk Tawangharjo pulang dari bergerilya. Teman-teman Parmo kocar-kacir.
Oohya! Baca juga ya:
“Sedangkan Parmo akhirnya menjadi korban kekonyolannya sendiri,” lanjut T Wedy Utomo. Boper bodak. Boleh percaya boleh tidak.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Ki Ageng Selo karya T Wedy Utomo (1983)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]