Pitan

Keasyikan Naik Gunung Sejak Pandemi, TBC Sembuh, Lalu Mengapa Akhirnya Kecanduan Berfoto di Patok Puncak?

Andi Kim merayakan keceriaan di puncak Gunung Sangar.

Pandemi membuat banyak orang merasa bosan di rumah terus. Untuk menghilangkan rasa bosan itu salah satunya pergi ke hutan. Naik gunung dan atau sekadar ke air terjun.

“Sejak 2021 saya sudah naik 30 gunung,” kata Andi Kim, alumni Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Selasa (24/10/2023).

Ada sekitar 50 gunung di sekitar Bandung yang dijadwalkan akan didaki. Peserta pendakian beragam usia dan beragam kondisi fisik.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

DUsia mereka dari usia 20-an tahun hingga 60-an tahun. Maka, berjalan dengan jongkok mengandalkan pantat pun banyak dilakukan oleh peserta ketika turun dari puncak.

Oohya! Baca juga ya: Para Pemuda Ribut Setelah Polisi Belanda Lakukan Interupsi di Kongres Pemuda Indonesia Kedua

Waktu tempuh perjalanan pun bisa molor satu jam dari jadwal normal, karena harus saling menunggu. Namun, hal itu harus dinikmati, karena tidak mungkin meninggalkan begitu saja peserta yang lain.

“Harus bisa mengontrol emosi,” ujar Jarot, orang Grobogan yang tinggal di Bandung sejak kuliah di Universitas Winaya Mukti. Ia sudah ikut 10 kali mendaki sejak pandemi.

Naftavia Farah Malinda yang sedang mengerjakan skripsi di Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung juga menyempatkan mendaki gunung sejak pandemi. Dengan kelompok pendaki amatir yang berbeda, Nafta mengaku sudah lima gunung yang didaki.

Bersantai di Gunung Pangparang

Yang paling berkesan bagi Nafta sewaktu naik Gunung Tampomas. Meski mendaki ramai-ramai, tapi terasa sunyi.

“Berasa kayak naik sendirian, entah kenapa rasanya agak aneh dan horor, tapi Allamdulillah gak ada apa-apa,” kata Nafta.

Satria Wijaya (58 tahun) tinggal di kaki Gunung Manglayang. Setiap pagi ia biasa trekking ke Manglayang.

Oohya! Baca juga ya: Putra Raja Majapahit Jadi Suami Putri Junjung Buih Setelah Patih Lambung Mangkurat Remehkan Raja Majapahit

Ia tergoda juga ikut ikut mendagi beberapa gunung lainnya. Ia sudah ikut ke tiga gunung, lalu berhenti.

“Sudah nggak mau lagi. Enak sih ramai-ramai, tapi setelah itu tersiksa karena badan pegal-pegal selama tiga hari,” kata Satria, konsultan manajemen itu.

Ia kini kembali menekuni jalan kaki tiap pagi ke Manglayang. Usia sudah tua, tak perlu memaksakan diri. Badan pun tidak pegal-pegal jika sebatas trekking ke Manglayang.

Badan pegal juga pernah dirasakan oleh Nafta. Pulang dari Gunung Tampomas ia merasakan pegal-pegal selama lima hari.

Waktu turun, pas hujan, jalanan licin, jadi selalu nahan kaki biar ga jatuh. “Di turunan yang tanahnya licin terpaksa merosot kayak main perosotan saja,” kata Nafta.

Oohya! Baca juga ya: Kemarau Panjang di Grobogan, Sumber Api Muncul di Sawah Petani di Manggarmas

Dengan naik gunung ramai-ramai, meski amatiran semua, Nafta merasa senang. Sepanjang perjalanan bisa bercanda, bernyanyi, dan sebagainya. Itu baginya bisa menambah energi untuk menyelesaikan skripsi.

Bagi Andi Kim, naik gunung sejak pandemi bukan sekadar menambah energi. Ia menderita TBC, sewaktu pertama kali ikut mendaki, terasa benar berat di napas.

Turun gunung dengan mengandalkan pantat agar tidak terjatuh.

Namun setelah beberapa kali mendaki, dokter yang memeriksanya sedikit kaget karena ada pemulihan yang lebih cepat dari sebelum-sebelumn ya. Setelah ia ceritakan soal kegiatan naik gunung, dokter menyarankan untuk diteruskan kegiatan itu.

“Sekarang flek di paru semakin sedikit,” ujar Andi.

Andi bercerita, ada ibu-ibu yang bermasalah dengan paru, yang juga ikut naik gunung tiga kali terakhir. Si ibu ini juga mengaku, paru-parunya terasa berkembang, tidak berat lagi dalam bernapas.

Oohya! Baca juga ya: Jadi Cawapres, Usia Gibran Beda 36 Tahun di Bawah Usia Prabowo, Begini Komentar Prabowo

“Ada penderita asma yang juga ikut, tetapi baru nanjak 100 meter sudah tidak kuat, karena sehari-hari ia juga tidak pernah berolahraga,” kata Andi.

Karena ini pendakian amatir, mendaki santai saling menunggu, maka jika selama perjalanan menemukan lokasi yang berpemandangan bagus, mereka akan berhenti untuk berfoto.

Setelah di puncak? Tentu saja akan berfoto-foto lagi.

“Sebagai reward dan ucap syukur,” kata Nafta mengenai alasannya berfoto-foto di puncak.

“Kepuasan naik gunung itu kalau bisa foto-foto di puncak,” ujar Jarot. Foto di puncak itu menjadi bukti bahwa benar sudah sampai puncak.

Titik mana yang menjadi tujuan untuk jadi tempat berfoto? Andi Kim menyebut, rata-rata peserta ingin berfoto di patok atau papan yang menandakan itu titik puncak. Di patok atau papan itu ada informasi nama gunung dan tinggi gunung.

Oohya! Baca juga ya: Papeda Jadi Google Doodle, Dukung Pangan Lokal Posko Jenggala Tanam Sagu Setelah Banjir Bandang di Wasior

Berfoto di patok puncak Gunung Sangar. Sebagai bukti sudah tiba di puncak.

Namun, kata Andi, sesi berfoto di titik ini dilakukan ketika hendak turun. Begitu tiba di puncak, selain meluapkan kegembiraan, biasanya langsung membuat kopi dan membuka bekal makan.

Oohya! Baca juga ya: Parada Harahap Turunkan Laporan Kongres Pemuda 29 Paragraf di Bintang Timoer, Omelannya Sepanjang 12 Paragraf

Setiap ke gunung, mereka selalu membawa peralatan seduh kopi V60. Masing-masing peserta biasa membaca cangkir.

Berfoto di patok atau papan puncak, kata Andi, dijadikan bukti sudah tiba di puncak.

Priyantono Oemar