Lincak

Kesal karena 10 Tahun Sumpah Pemuda dan Bahasa Indonesia Diabaikan, Adik Tabrani Adakan Lagi Konggres Pemuda

Gedung Sumpah Pemuda di Jalan Kramat, Jakarta. Di tempat ini, para pemuda mengikrarkan Sumpah Pemuda. Namun hingga 1938, Sumpah Pemuda masih diabaikan.

Sepuluh tahun berlalu, Sumpah Pemuda dan bahasa Indonesia diabaikan. Adik M Tabrani dan para pemuda pun menggagas Kongres Pemuda Indonesia Ketiga.

Madong Lubis menyebut, Sumpah Pemuda yang diikrarkan di Batavia pada Kongres Pemuda Indonesia Kedua 1928, diulang lagi di Solo pada tahun 1938. Pada tahun 1938 ada dua peristiwa di Solo.

Pertama, Kongres Bahasa Indonesia Pertama dan yang kedua adalah Pra-Kongres Pemuda Indonesia Ketiga. Dua acara ini menegaskan kembali bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Jadi Raja Masih Muda, Labil, Pakubuwono II Minta Bantuan ke Gubernur Jenderal untuk Singkirkan Patih Danurejo

“Tetapi sayang, sumpah hanya ditaati oleh orang-orang perjuangan saja. Kaum intelek, lebih-lebih pamong praja, pegawai-pegawai kantor, masih tetap berkerese-pese,” tulis Madong Lubis.

Mereka itu, kata Madong Lubis mendapat perintah halus dari pemerintah. Yaitu supaya tidak mencampuri politik.

“Mereka itu takut dikirim ke Digoel dan ke Tanah Merah. Mereka itu tetap membaca surat-surat kabar Belanda,” lanjut Madong Lubis.

Oohya! Baca juga ya: Juru Tuntun Kuda Amangkurat IV Jadi Bupati Grobogan, Apa yang Ia Lakukan Ketika Pengganti Raja Masih Muda?

Kongres Pemuda Indonesia Ketiga diadakan didasari oleh kenyataan bahwa Sumpah Pemuda 1928 itu tidak dipahami secara baik. Maka, Sumpah Pemuda itu diabaikan.

Maka, pada saat itu tidak dijunjungnya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dipertanyakan. Tidak hanya itu, kebersatuan organisasi pemuda juga dipertanyakan.

Indonesia Muda sebagai organisasi hasil fusi organisasi-organisasi pemuda kedaerahan belum bisa berjalan seperti yang diharapkan. Langkah fusi itu semula dianggap sebagai hasil besar dalam mengadakan perubahan.

Oohya! Baca juga ya: Selain Menjadi Ulama di Grobogan, Ki Ageng Selo Juga Dikenal Sebagai Pujangga

Namun, perubahan itu baru terwujud persatuan ideologi nasional. Masih sebatas “persatuan dalam cita-cita”.

“Persatuan dalam berbuatan” untuk mencapai yang dicita-citakan itu belum terlaksana. Padahal Sumpah Pemuda sudah berjalan 10 tahun.

Sejak akhir 1930 sudah ada Indonesia Muda sebagai organisasi hasil fusi. Namun, organisasi-organiasi pemuda yang lainnya tetap ada dan bermunculan.

Gerakan pemuda pada saat itu menuju ke diferensiasi kembali. Organisasi-organisasi pemuda itu tidak saling berhubungan.

Koran Belanda mencatat, berbagai organiasi pemuda itu secara bertahap menyadari hal ini. Pada tahun 1938 dibentuk panitia untuk penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia Ketiga.

Kongres Pemuda Indonesia Ketiga diadakan untuk seluruh perhimpunan pemuda se-Hindia-Belanda. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Institut Jurnalistik --yang dipimpin oleh Soetardjo sebagai ketua dan Tjokromanggolo sebagai sekretaris-- memberikan penilaian.

Oohya! Baca juga ya: Anak Muda Pelaku Ekonomi Kreatif Asia akan Bertemu di TMII, Indonesia Ingin Game Esports Masuk SEA Games

Diferensiasi memang tidak menimbulkan perpecahan di barisan pergerakan pemuda. “Hanya cara menjalankan usahanya, itulah yang berlainan dengan mengingat keyakinan dan kebutuhan masing-masing.” Demikian penilaian mereka.

Padahal organisasi-organiasi itu memiliki kepentingan-kepentingan yang sama. Yaitu kepentingan yang menjadi ‘kebutuhan umum khalajak’.

“Inilah sesungguhnya yang seharusnya kita pentingkan sekarang dengan menjauhkan diri dari ‘perasaan diferensiasi’ tadi,” kata Soetardjo dan Tjokromanggolo.

Oohya! Baca juga ya: Kisah Tentara KNIL di Grobogan Menjadi Buta Gara-gara akan Mencuri Ikat Kepala Ki Ageng Selo

Karenanya, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Institut Jurnalistik mengharapkan munculnya “badan perikatan” dari organisasi-organisasi pemuda yang ada. Harapan itu ditumpukan pada Kongres Pemuda Indonesia Ketiga untuk dapat melahirkan federasi organisasi pemuda.

Ternyata bukan perkara mudah mengadakan kongres ketiga ini. Maka, di dalam pra-kongres yang diadakan di Solo, diputuskan bahwa kongres terbuka untuk semua organisasi pemuda, terlepas dari agama dan daerah asal.

Kongres Pemuda Indonesia Ketiga diadakan di Yogyakarta, pada Desember 1939. Ada 22 organisasi pemuda yang hadir.

Oohya! Baca juga ya: Muhaimin Jelaskan Tiga Fungsi Sarung, Mengapa Ia Sabet Anies Baswedan dengan Sarung?

Soejono Hadinoto dari Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) menjadi ketua panitia. M Gani (adik M Tabrani) dari Indonesia Muda yang juga wartawan Pemandangan menjadi sekretaris panitia.

Maka, menjelang pra-kongres dan kongres, kantor Pemandangan juga bergelora. Para pemuda berkumpul di kantor koran itu.

Rupanya, hal yang ditegaskan Tabrani pada 1926 masih relevan untuk Kongres Pemuda Indonesia Ketiga ini. Pada 1926, Tabrani menjadi ketua Kongres Pemuda Indonesia Pertama.

“Dasar kerja kita --begitu kata Tabrani-- harus cinta tanah air dan rakyat, perbedaan antarpemuda harus dihilangkan,” tulis De Locomotief mengenai ajakan Tabrani pada Kongres Pemuda Indonesia Pertama.

Saat itu perbedaan antarpemuda terjadi karena perkumpulan pemuda masih bersifat kedaerahan. Sedangkan saat Kongres Pemuda Indonesia Ketiga diadakan, masih ada perasaan perbedaan kendati sudah lahir organisasi hasil fusi, Indonesia Muda.

Pantaslah kiranya Sumpah Pemuda digaungkan kembali di kalangan pemuda di kongres ini: bertanah air satu Indonesia, berbangsa satu Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- “Bahasa Indonesia Didalam Pergaulan Sehari-hari” karya Madong Lubis dalam Kongres Bahasa Indonesia Tahun 1954 28 Oktober – 2 November di Medan (1954)
- “Bapak R.H.O. Djoenaidi Perintis Pers Indonesia” karya M Gani dalam R.H.O Djoenaidi, Pejuang Pengusaha & Perintis Pers Menuju Indonesia Merdeka (1982)
- De Locomotief, 10 Maret 1926
- Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 30 Desember 1939
- Pemandangan, 16 Desember 1938

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]