Raja Pers Ini Dihukum Penjara 10 Bulan Bukan karena Kasus Delik Pers
Parada Harahap dikenal sebagai raja pers. Ia pernah berurusan dengan pengadilan karena berita, tetapi masuk penjara bukan karena kasus delik pers.
Ia dikenal sebagai pengusaha pers yang sukses di masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. tetapi, menurut Tabrani, kesuksesannya itu karena ia tidak berseberangan dengan pemerintah kolonial.
Oohya! Baca juga ya:
Tabrani pun menyebut koran Parada, Bintang Timoer, sebagai racun bagi perjuangan kemerdekaan karena haluan yang dipilihnya, yaitu netral. Kenetralannya inilah yang membuat Bintang Timoer bisa mendapatkan iklan banyak.
Ia pun kemudian dikenal sebagai raja pers, tetapi julukan itu tidak datang dari orang lain. Pewarta Deli, koran yang dikelola Djamaluddin Adinegoro di Sumatra, menyebut julukan itu datang dari Parada sendiri.
Oohya! Baca juga ya:
Pengadilan Membuktikan Hatta dan Kawan-Kawan tidak Bersalah, Berbagai Perhimpunan Menyambut Gembira
“Dia mengiklankan dirinya sendiri sebagai Raja Pers Jawa,” tulis Gandhu, pengasuh rubrik ‘Podjok’ Pewarta Deli.
Hingga 1934, Parada Harahap memimpin Bintang Timoer, kemudian memimpin Tjaja Timoer. Selama menjadi wartawan, Parada tidak berurusan dengan pemerintah kolonial, melainkan dengan narasumber yang tidak puas dengan pemberitaannya.
Oohya! Baca juga ya:
Grobogan Punya Naga, tetapi Baru Bisa Terbang Setelah Menjelma Sebagai Pemuda Perkasa
Pada 1933, Ketua Asosiasi Produsen Rokok Kelobot Kudus Boerhanoedin Sabaroedin menuntutnya ke pengadilan dengan tuduhan penghinaan. Ayah Boerhanoedinlah yang mengajak Parada bekerja di koran Benih Merdeka di Medan.
Boerhanoedin menang dalam kasus penghinaan itu. Pengadilan menghukum denda Parada 50 gulden atau kurungan 25 hari.
Pada 1935, ia juga dihukum denda 40 gulden. Orang Cina terkemuka di Brebes menuntutnya juga karena kasus penghinaan lewat pemberitaan.
Ia juga pernah bermasalah dengan narasumber di Banjarnegara. Parada kalah kalah di pengadilan dan dihukum denda 25 gulden atau kurungan selama lima hari.
“Dia membuat banyak keributan, tetapi tidak mencari kebenaran,” tulis Gandhu di Pewarta Deli.
Selain menghina narasumber, Parada juga biasa menghina wartawan lain. “Dia menghina jurnalis lain dan mengaku sendirian di atas,” lanjut Gandhu.
Oohya! Baca juga ya:
Ketika koran Pemandangan mengeluarkan edisi khusus Lebaran pada 1937, Parada menghinanya. Tabrani, pemred Pemandangan terpancing untuk menyerang balik Parada.
Tabrani mengungkapkan praktik kongkalikong Parada dengan pengusaha Jepang. Atas tudingan kongkalikong ini, Parada menuntut Tabrani dan menang di pengadilan.
Oohya! Baca juga ya:
Pemuda Jawa Timur Ini Bersedia Menikahi Putri Juliana Asal Diberi Mas Kawin Kemerdekaan Indonesia
Djojopranoto pernah mencambuk Parada Harahap karena tidak diterima sebagai penghianat rakyat. Lewat tulisannya, Parada Harahap menyerang wartawan Indonesia yang bekerja di koran-koran milik orang Cina.
Tidak terima dengan sebutan itu, redaktur Penoentoen, Djojopranoto, mendatangi Parada di kantornya. Terjadilah adu mulut yang kemudian saling tantang untuk berkelahi secara fisik.
Oohya! Baca juga ya:
Djojopranoto pun langsung mengeluarkan cambuknya, dan melecutkan ke arah Parada. Mengenai punggung Parada, tetapi di pengadilan Parada mengaku lecutan cambut itu tidak mengenai dirinya.
Hakim heran, Djojopranoto yang seorang wartawan membawa cambuk anjing, bukan membawa pena. Pada masa itu, orang-orang Belanda biasa menggunakan cambuk untuk mendisiplinkan anjing piaraan mereka.
Djojopranoto menyebut, banyak orang membawa tongkat selain untuk menjaga keseimbangan, juga untuk senjata jika tiba-tiba diserang orang. Ia memilih membawa cambuk daripada tongkat.
Dua saksi mengaku melihat cambukan Djojopranoto mengenai punggung Parada. Jika Parada tidak mengakuinya, orang-orang pun menduga mungkin Parada malu dicambuk dengan cambuk anjing.
Parada menuntut Djojopranoto ke pngadilan juga bukan karena urusan cambuk. Melainkan urusan pisau. Djojopranoto sempat menyerahkan pisau kepada Parada untuk segera membunuhnya dengan pisau itu, tak perlu lewat tulisan.
Oohya! Baca juga ya:
Dalam kasus ini, pengadilan memenangkan Parada. Parada mengaku merasa sudah dihina secara moral. Maka, Djojopranoto dihukum denda 25 gulden.
Tapi, hinaan yang dirasakan Parada Harahap sebenarnya ketika pemilik saham Bintang Timoer menuntutnya. Untuk mengembangkan Bintang Timoer, Parada menggalang dana dari kolega-koleganya.
Oohya! Baca juga ya:
Parada Harahap menjanjikan pembagian keuntungan 250 gulden. Tapi Parada tidak pernah memberikan dividen itu kepada mereka.
“Dia masuk penjara bukan karena pelanggaran pers, tapi karena masalah uang,” tulis Gandhu di Pewarta Deli.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- De Indische Courant, 4 Juli 1933
- De Koerier, 22 Maret 1935, 17 Agustus 1935
- Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 27 Desember 1932
- Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche Pers, Nomor 37, 14 Sepember 1940
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com