Gugatan Ditolak, Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Awyu akan Lakukan Upaya Hukum Evaluasi Hakim PTUN Jayapura
PTUN Jayapura menolak gugatan masyarakat adat Awyu terhadap Pemprov Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Masyarakat adat Awyu di Boven Digoel yang mengajukan gugatan pun akan melakukan banding dan melakukan upaya hukum mengevaluasi sikap hakim.
“Karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar,” kata Emanual Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, dalam rilis yang dikeluarkan pada 2 November 2023.
Emanual Gobay mengatakan, tim kuasa hukum, juga akan melakukan upaya hukum untuk mengavuasi sikap hakaim yang memutus perkara ini. Ia mengakui, dari tiga hakim yang memutus perkara,a da satu hakim yang memiliki sertifikasi hakim lingkungan.
Oohya! Baca juga ya: Pembuatan Kapal di Rembang Diwarnai Korupsi, Kayu Jati pun Dicari Hingga Grobogan Saat Hutan Jatinya Habis
“Ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan,” kata Emanual Gobay.
Pejuang lingkungan hidup masyarakat adat Awyu, Hendrikus Woro, pun menyesalkan putusan PTUN ini. Ia yang mengajukan gugatan itu ke PTUN Jayapura.
“Saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju. Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya,” kata Hendrikus Woro.
Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan
Hendrikus Woro, yang mengajukan gugatan, pun mengajak para hakim yang mengidang gugatan ini untuk melihat langsung ke lapangan. “Hakim tidak melihat persoalan itu dan tidak memutuskan dengan seadil-adilnya,” kata Hendrikus Woro.
Menurut tim kuasa hukum Hendrikus, selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya sudah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli. Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu ini jelas menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin untuk PT IAL.
Misalnya, penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat. Intimidasi terhadap masyarakat yang menolak perusahaan sawit juga muncul.
Oohya! Baca juga ya: Pemuda Jawa Timur Ini Bersedia Menikahi Putri Juliana Asal Diberi Mas Kawin Kemerdekaan Indonesia
Dalam putusannya, hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara. Izin kelayakan lingkungan hidup itu dikeluarkan melalui SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua.
“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.
Menurut Tigor, LMA Boven Digoel,adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat. LMA Boven Digoel tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro.
LMA Boven Digoel juga dinilai Tigor tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. “Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor.
Putusan tersebut juga tak mengindahkan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu. Jika deforestasi itu terjadi, menurut perhitungan tim kuasa hukum, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2.
Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. Majelis hakim dinila tim kuasa hukum telah gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim.
Oohya! Baca juga ya: Banteng Terluka akan Ngamuk Kata Ganjar, tapi Tangan Kosong Ki Ageng Selo Bikin Banteng Mati tak Sempat Ngamuk
Dinilai gagal pula dalam memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup. “Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.
Selama persidangan bergulir, banyak dukungan mengalir untuk suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus curiae (sahabat peradilan). Ada dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia.
Oohya! Baca juga ya: Bapak Psikoanalisis Sigmund Freud Dilempari Telur Busuk ketika Pencetus Bahasa Indonesia Ini Masuk Kelas
Gerakan Solidaritas Pelindungan Hutan Adat Papua yang didukung 258 organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan individu dari berbagai daerah dan negara, termasuk solidaritas dari masyarakat adat Ka’apor, Amazon, Brazil, juga telah membuat surat terbuka. Suratr itu juga diserahkan kepada majelis hakim PTUN Jayapura, Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, dan Komnas HAM.
Mereka menuntut dan memohon majelis hakim berpegang teguh pada prinsip in dubio pro natura. Artinya, “Jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan pelindungan lingkungan dalam putusannya”. Ini demi kelestarian hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.
Ma Roejan