Sekapur Sirih

Banteng Terluka akan Ngamuk Kata Ganjar, tapi Tangan Kosong Ki Ageng Selo Bikin Banteng Mati tak Sempat Ngamuk

Skesta tentang harimau melawan banteng.

Presiden Jokowi mengunjungi Bali, baliho capres-cawapres Ganjar-Mahfud yang sudah dipasang di Bali diturunkan. Ganjar pun memberi respons, ”Banteng tidak cengeng, tapi kalau banteng dilukai akan nyeruduk semuanya.”

Banteng dipakai sebagai logo PDIP. Pada masa penjajahan dulu, banteng menjadi simbol perlawanan. Kerajaan Belanda memiliki simbol singa, orang Jawa memiliki simbol banteng.

Banteng juga sering di adu dengan harimau, mewakili singa. Ini menjadi tontonan yang menarik bagi kalangan bangsawan Jawa dan pejabat kolonial.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Anies Baswedan Kunjungi Museum Hatta di Bukit Tinggi, Komunitas Jejak Republik Punya Cerita

Maka, orang Jawa mengenal istilah banteng ketaton. Yaitu banteng yang mengalami luka-luka, biasanya selalu mengamuk, seruduk sana seruduk sini.

Pelukis Basuki Abdullah pernah membuat lukisan adegan singa menerkam banteng. Pelukis Raden Saleh pernah melukis “Perburuan Banteng” dan “Perburuan Singa”.

Lantas apa makna dari pernyataan Ganjar bahwa jika banteng terluka akan menyeruduk semuanya? Banteng yang megamuk biasanya membuat penduduk ketakutan. Tapi bagi pemburu, banteng yang mengamuk karena terluka akan mudah ditaklukkan.

Oohya! Baca juga ya: Bapak Psikoanalisis Sigmund Freud Dilempari Telur Busuk ketika Pencetus Bahasa Indonesia Ini Masuk Kelas

Bergenerasi-generasi, pejabat kolonial Belanda menyukai tontonan banteng lawan harimau di Jawa. Penonton Jawa yang menyaksikan banteng melempar tubuh harimau akan tersenyum puas.

Senyum puas itu bukan karena harimau kalah. Melainkan karena melihat pejabat-pejabat kolonial yang juga begitu girang melihat harimau dilempar oleh banteng.

Pejabat-pejabat kolonial itu belum tahu jika harimau oleh orang Jawa disimbolkan sebagai bangsa Eropa. Sedangkan banteng simbol dari bangsa Jawa yang dijajah Eropa.

Oohya! Baca juga ya: Pembangunan Rel di Grobogan untuk Mengangkut Kayu Jati pada 1901, Pemborongnya Ternyata Juga Orang Cina

Harimau memiliki temperamen panas, sehingga cenderung akan menyerang. Sedangkan banteng bertemperamen kalem tetapi mampu melukai musuh dengan tanduknya ketika musuh lengah.

Namun, ketika Raffles menyaksikan adu banteng-harimau itu pada 1813, orang-orang Jawa dibuat diam karena harimau bisa mengalahkan banteng. Tak puas dengan hasil ini, lalu dimasukkan banteng baru untuk beradu dengan harimau yang sudah kelelahan.

Harimau pun kalah. Lalu dimasukkan lagi harimau yang lebih kecil untuk melawan banteng. Lagi-lagi harimau yang kalah.

Namun kemenangan di adu kedua dan ketiga ini tentu saja tidak bisa mengobati kekalahan banteng di kesempatan pertama.

Ketika Bagus Sorgum melamar untuk menjadi prajurit Kerajaan Demak, ia harus bertanding melawan banteng. Jika ia bisa mengalahkan banteng dengan tangan kosong ia bisa menjadi prajurit.

Bagus Sorgum adalah nama kecil dari Ki Ageng Selo, cicit dari Raja Majapahit Brawijaya V. Raja Majapahit memiliki anak yang dibuang ke Grobogan, Bondan Kejawan.

Oohya! Baca juga ya: Usai Kelaparan di Grobogan, Para Kepala Desa Cari Untung dari Pengambilan Kayu Jati Mati dan Tumbang di Hutan

Menikahi anak Joko Tarub, Bondan memiliki anak bernama Ki Ageng Getas Pendowo. Ki Ageng getas Pendowo memiliki anak benama Bagus Sorgum alias Ki Ageng Selo.

Oleh Bondan Kejawan, Ki Ageng Selo dialtih mengolah raga. Ia memiliki kemampuan tinggi, bisa memecah batu besar dengan tangan kosong.

Maka, ketika ia diminta bertanding dengan banteng, dengan sekali tinju, kepala banteng itu remuk. Bantengnya terluka, tetapi tidak sempat mengamuk karena langsung mati.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Raffles and The British Invasion of Java karya Tim Hannigan (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]