Usai Kelaparan di Grobogan, Para Kepala Desa Cari Untung dari Pengambilan Kayu Jati Mati dan Tumbang di Hutan
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda berkali-kali mengganti asisten residen Demak-Grobogan usai bencana kelaparan. Pada Fabruari 1859 dikirim asisten residen baru, GMW van der Kaa, yang di antaranya memperbaiki ekonomi dengan memberi izin kepada penduduk untuk mengambil kayu jati di hutan.
Penggantian asisten residen itu ditujukan untuk memperbaiki keadaan di Grobogan dan demak setelah terjadi bencana kelaparan pada 1849. Van der Kaa sebelumnya bekerja sebagai kontrolir pertanian dan pendapatan desa di Karesidenan Surabaya.
Oohya! Baca juga ya:
Kayu jati yang boleh diambil penduduk adalah kayu jati yang sudah mati atau sudah tumbang. Pada 1859 itu, penduduk Grobogan mengalami gagal panen untuk tanaman palawija yang mereka tanam.
Penduduk pun memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi kemarau panjang di Grobogan. Mereka pergi ke hutan untuk mengambil kayu jati yang sudah mati atau sudah tumbang.
Oohya! Baca juga ya:
Mereka menjualnya ke tempat penimbunan kayu (TPK). Permohonan untuk dapat ikut mengambil kayu di hutan juga datang dari luar Grobogan.
Pada September 1859, ada pengusaha tembakau dari Bojonegoro dan Rembang yang mengajukan izin untuk mengambil kayu jati mati/tumbang di hutan. Tentu saja izin tidak diberikan kepada keduanya.
Hanya rakyat kecillah yang berdasarkan Staatsblad 1851 No 3 diperbolehkan mengambilnya. Kendati Van der Kaa kemudian dipindah ke Jepara pada Oktober 1860 tanpa disertai alasan yang jelas, pengambilan kayu jati mati dan tumbang terus berlanjut.
Oohya! Baca juga ya:
Asal Usul Bangsawan Banjar yang Berani Melawan Belanda, Lambung Mangkurat yang Mencarinya
Pada 1861 dibangun lagi empat TPK. Ternyata, pasokan kayu jati kurang, sehingga empat TPK itu tidak memenuhi target pendapatan.
Izin pun ada yang menyalahgunakan. Ad ayang tidak menjual ke TPK, tetapi ke pihak lain. Banyak kepala desa yang mengambil keuntungan dari izin pengambilan kayu jati mati dan tumbang itu.
Pengambil kayu yang tidak memiliki sapi sarad (sapi untuk menyeret kayu dari hutan) akan menjual kayunya ke pemilik sapi sarad. Mereka yang memiliki sapi sarad lalu membeli kayu dengan harga murah.
Biasanya kepala-kepala desa yang memiliki sapi sarad. Mereka kemudian menjual ke TPK dengan harga yang lebih tinggi.
Praktik ini membuka peluang terjadinya pencurian kayu. Mereka yang tidak memiliki izin menambil kayu jati mati/tumbang ikut mengambilnya.
Oohya! Baca juga ya:
Untuk mencegah praktik cari untung para kepala desa ini, TPK di Grobogan ditutup pada 1864. Kayu-kayu di TPK kemudian dipakai untuk membuat bangunan negara dan dijual kepada umum. Hasil penjualannya mencapai 100 ribu gulden.
Pada 1877, pemberian izin pengambilan kayu jati mati/tumbang juga diberlakukan di Rembang dan Madiun. Di dua daerah itu, pada tahun itu juga terjadi kemarau panjang.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Bataviaasch Handelsblad, 6 Oktober 1860
- Java-Bode, 19 Februari 1859
- Sejarah Kehutanan Indonesia karya Departemen Kehutanan (1986)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]