Kapal yang Ditumpangi untuk Naik Haji Mogok, Datu Daha Dibuang ke Laut, Bagaimana Ia Bisa Tiba di Makkah?
Nagara Dipa yang dipimpin anak Raja Majapahit pemberian Dewa Matahari dikenal juga sebagai Nagara Daha. Pada pertengahan abad ke-18, ada datu dari Nagara Daha yang terkenal dengan nama Datu Daha berangkat naik haji.
Nama aslinya Muhammad Thaher bin Haji Syahbuddin. Saat brangkat naik haji, ia naik kapal dari dermaga sungai di Daha menuju pelabuhan Bandar Masih (Banjarmasin).
Dari Bandar Masih menuju ke Banten, dari Banten berpindah kapal, menggunakan kapal yang lebih besar dari Hadrami (Hadramaut). Perjalanan lalu berlanjut ke pelabuhan Jeddah.
Oohya! Baca juga ya: Tujuh Pemuda Grobogan Dibuang ke Boven Digoel Ketika Para Pemuda di Batavia Sedang Menyiapkan Kongres Pemuda
Selama enam bulan mengarungi lautan, kapal laksana serabut kelapa. Kecepatannya ditentukan oleh kecepatan angin.
Seperti halnya kapal yang ditumpangi Patih Nagara Daha Lambung Mangkurat di masa lalu, kapal yang ditumpangi Datu Daha juga mogok di tengah laut. Saat dulu Lambung Mangkurat mencari penyebab kapalnya mogok, Cuma anak Raja Majapahit yang mengetahuinya.
Tidak ada tanah pasir ataupun batu karang yang mengalangi kapal. Mereka tidak melihat ada naga yang membelit kapal, cuma anak Raja Majapahit yang bisa melihatnya.
Oohya! Baca juga ya: Lambung Mangkurat Menyembah Anak Raja Majapahit Setelah Kapal yang Ditumpangi Mogok di Laut Jawa, Ada Apa?
Angin dan ombak yang menggulung tidak mampu menggerakkan kapal akibat belitan naga itu. Anak Raja Majapahit kemudian meminta naga itu menyingkir. Kapal pun bisa melaju lagi.
Awak kapal yang ditumpangi Datu Daha menuju Tanah Suci itu juga kebingungan mencari penyebab kapal mogok. Juga tak ada tanah pasir atau batu karang yang menghalanginya.
Saat ombak datang, para penumpang kapal panik lalu berteriak-teriak. Ahli nujum yang ada di kapal diminta untuk melihat penyebab kapal mogok.
Oohya! Baca juga ya: Ons Wapen, Senjata Tabrani yang Membuat Geger Hindia-Belanda pada 1930
Namun ahli nujum tidak mampu menjelaskan yang ia lihat kepada nakhoda kapal. Namun karena kepanikan semakin tinggi, nakhoda kapal memaksa ahli nujum menunjukkan penyebabnya.
Dengan sangat terpaksa, ahli nujum menyebut, jika kapal ingin bisa melaju lagi, harus ada satu penumpang yang dibuang. Ahli nujum menunjuk Datu Daha, sebagai penyebab kapal mogok dan karenanya harus dibuang.
“Dengan sangat menyesal kami mohon Tuan keluar dari kapal ini,” kata nakhoda kapal kepada Datu Daha.
Datu Daha bertahan. Jika nakhoda perlu tambahan ongkos, ia pun akan menyangggupi untuk membayarnya, asal tidak dikeluarkan dari kapal.
Tapi, permasalahnnya bukan ongkos. Lalu, nakhoda kapal berkata jujur jika Datu Dahalah yang menjadi penyebab kapal mogok.
“Lebih baik mengeluarkan satu pe numpang dari kapal ini daripada semua penumpang kapal akan mendapat celaka,” kata nakhoda kapal meminta pengertian dari Datu Daha.
Oohya! Baca juga ya: Capres Anies-Ganjar Saling Cuit Gunakan Boso Walikan, di Masa Penjajahan Belanda Penggunanya Ditangkap Polisi
Meski Datu Daha tetap keberatan, tetapi nakhoda kapal tetap mengeluarkannya. Ia hanya membawa peralatan seadanya yang membuat dirinya tidak tenggelam.
Terombang-ambing di tengah laut, ia memilih berpasrah diri, karena sudah tidak mungkin kembali ke kapal. Tapi hempasan ombak membuat Datu Daha pingsan.
Ketika siuman, ia sudah terdampar di pantai. Tentu ia bersyukur atas pertolongan Allah ini.
Oohya! Baca juga ya: Bulan Oktober, Ingat Sumpah Pemuda Ingat Pula Tabrani yang Juga Mengelola Sekolah Kita dan MULO di Madura
Saat ia hendak bangkit, pandangannya menjadi gelap. Lalu tebersit sinar terang yang kemudian juga menghilang, lalu gelap lagi.
Ia susuri pantai dalam kegelapan dan bertemu dengan makam. Ia senang. Ada makam berrati ada kampung.
Tetapi anggapannya keliru. Ia tidak menemukan kampung.
Oohya! Baca juga ya: Kesal karena 10 Tahun Sumpah Pemuda dan Bahasa Indonesia Diabaikan, Adik Tabrani Adakan Lagi Konggres Pemuda
Di puncak kelahnya mencari kampung, ia melihat sosok orang tua, tetapi masih terlihat gagah dan berwibawa. Ia ikuti orang tua itu melangkah hingga tiba di sebuah rumah.
Kepada orang ta itu, Datu Daha menceritakan pengalamannya. Orang tua itu memberi tahu, makam yang dilihat Datu Daha adalah makam para penumpang kapal yang mati di laut.
Datu Daha menduga orang tua yang ia temui adalah Nabi Khidir. Maka, ia pun tanpa ragu-agu menanyakan hal itu.
Orang tua itu membenarkan. Datu Daha lalu memeluk Nabi Khidir.
“Bersyukurlah kepada Allah, karena memang tugasku menyelamatkan orang-orang yang ditakdirkan oleh Allah selamat. Dan tugasku pula untuk mengumpulkan semua orang yang mati di laut untuk dikuburkan di tempat ini,” kata Nabi Khidir.
Nabi Khidir pun lalu membei tahu Datu Daha bahwa niatnya ke Tanah Suci akan terkabul. Ia diminta menginap tiga hari, menunggu hari Jumat.
Setiap hari Jumat biasanya ada Wali Allah yang akan bertemu Nabi Khidir. Datu Daha bisa berangkat ke Makkah bersama Wali Allah itu.
Oohya! Baca juga ya: 98 Keluarga Warga Lebak Bulus Menikmati IPAL Komunal, Bebas Buang AIr Besar Sembarangan
Wali Allah yang datang itu adalah datu Sanggul. Nabi Khidir mengenalkan tamunya, Datu Daha, kepada Datu Sanggul. Lalu memunta Datu Sanggul membawanya ke Makkah.
Datu Sanggul pun meminta Datu Daha mandi sunah, lalu mengenakan baju ihram. “Pegang pinggangku dan pejamkan mata,” kata Datu Sanggul setelah Datu Daha siap.
Ketika membuka mata, Datu Daha dan datu Sanggul sudah berada di depan Babussalam. Ini merupakan salah satu pintu Masjidil Haram.
Suatu hari, rombongan dari Daha yang berangkat dari Daha bersama Datu Daha, terkejut melihat Datu Daha ada di Makkah juga. Mereka tahu, dalam perjalanan Datu Daha dibuang ke laut.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Manakib Datu Sanggul karya Tim Sahabat (2006)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]