Lincak

Ons Wapen, Senjata Tabrani yang Membuat Geger Hindia-Belanda pada 1930

Pemikiran Tabrani mengenai pers Indonesia dituangkan dalam tugas akhir saat belajar jurnalistik di Eropa.

Oleh Priyantono Oemar, bergiat di Komunitas Jejak Republik

Tabrani gusar ketika mendapat kabar 700 buku Ons Wapen yang ia kirim ke (Hindia-Belanda) Indonesia (100 dikirimkan ke MH Thamrin untuk dijualkan, 600 dikirim ke R Soewandi) ditahan di Tanjung Priok. Surat pemberitahuan dari Tabrani sudah diterima Thamrin, tetapi buku-bukunya belum.

“Sudah 14 hari lamanya masih terletak di Tanjung Priok, belum bisa diserahkan kepada alamatnya di sini,” tulis Bintang Timoer.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bintang Timoer berkali-kali sudah menanyakan kepada Thamrin, tapi belum ada kepastian soal bukunya. Bintang Timoer sudah telanjur mengumumkan bahwa buku bisa didapatkan di percetakan Bintang Hindia (yang mencetak Bintang Timoer), dengan harga satu gulden dan ongkos kirim lima sen.

Oohya! Baca juga ya: Tabrani: Orang yang tidak Bisa Mendapatkan Pekerjaan di Mana pun Mencoba Peruntungan di Bidang Jurnalistik

Padahal, barang cetakan yang dicetak di Belanda yang diedarkan di Hindia-Belanda (Indonesia) tak bisa disita. Ingin memprotes tak bisa, Tabrani pun berkeluh kesah kepada Supomo dan Suwarso, anggota Dienaren van Indie yang juga sedang belajar di Belanda.

Kedua karibnya ini memberikan tanggapan menenangkan. “Diamkan saja, jangan ribut-ribut. Penguasa di Hindia-Belanda (Indonesia) pasti tidak dapat menuntutnya, apalagi yang di Nederland,” tulis Tabrani menirukan mereka.

Karib lainnya, dokter M Amir, yang juga anggota Dienaren van Indie, sebelum pulang ke (Hindia-Belanda) Indonesia juga menenangkannya. “Tab (singkatan dari Tabrani) sebagai anggota Orde der Dienaren van Indie yang oleh pucuk pimpinan diperkenankan mencantumkan gelar DI di belakang namanya secara terus terang, kau hendaknya tetap tenang dan tabah. Jalan terus,” tulis Tabrani menirukan perkataan M AMir.

Oohya! Baca juga ya: Capres Anies-Ganjar Saling Cuit Gunakan Boso Walikan, di Masa Penjajahan Belanda Penggunanya Ditangkap Polisi

Di Jerman, rupanya, Tabrani juga berkeluh kesah kepada Prof Emil Dovifat mengenai buku-bukunya yang disita penguasa kolonial Hindia Belanda. Ia juga bercerita tentang tiadanya kebebasan pers di Indonesia.

Tabrani harus belajar jurnalistik di Jerman karena di Belanda tak ada sekolah jurnalistik. Dovifat yang menjadi pembimbing Tabrani mengagumi perjuangan pers Indonesia ikut memerdekaan Indonesia.

Tabrani pun akhirnya pulang ke Indonesia lewat Jerman, menumpang kapal Jerman, menggunakan nama samaran. Dari Priok Tabrani langsung menuju rumah M Amir.

Oohya! Baca juga ya: Bulan Oktober, Ingat Sumpah Pemuda Ingat Pula Tabrani yang Juga Mengelola Sekolah Kita dan MULO di Madura

Dari Amir inilah Tabrani mendapat informasi bahwa ternyata tak semua buku Ons Wapen disita. Sebab, masih ada yang lolos diperjualbelikan seharga satu gulden per eksemplar.

Ons Wapen pun dibahas pers di Indonesia, mulai dari kasus penyitaannya hingga isi bukunya. Bintang Timoer, misalnya, membuat laporan hingga tujuh kali dengan pertanyaan utama: mengapa barang cetakan yang dicetak di Belanda dilarang beredar di Hindia Belanda?

Pasal 164 Ayat 2 Indische Staatsregeling membolehkan barang cetakan yang dicetak di Belanda beredar di Hindia Belanda. Kalaupun harus menginap di kantor bea cukai di Priok, menurut Bintang Timoer cukup 5-7 hari.

Bintang Timoer juga menginformasikan bahwa ada buku Ons Wapen yang dikirimkan dari Priok ke Pokrol Jenderal untuk diperiksa. Yang dimaksud Pokrol Jenderal tentu saja Procureur Generaal, Jaksa Agung.

Koran ini menduga, penahanan buku-buku itu terjadi karena judul buku itu: Ons Wapen (Senjata Kita). Buku itu tiba di Priok di saat pemerintah kolonial sedang melarang kegiatan perkumpulan-perkumpulan di Indonesia.

Oohya! Baca juga ya: Bupati Grobogan Menyusun Kekuatan Setelah Raja Mataram yang Masih Muda Berpihak ke Belanda

“Orang kira ‘pedang’ atau peloeroe barang kali!” tulis Bintang Timoer, menduga-duga alasan penahanan buku itu di Priok.

Pemimpin Redaksi Bintang Timoer, Parada Harahap, sudah menerima satu buku itu. Tabrani mengiriminya, beruntung tak ikut ditahan di Priok.

Parada Harahap lalu mengupas isi buku itu. Ia terlihat jengkel terhadapnya, meski tetap bersedia menjualkan buku itu lewat percetakan Bintang Hindia.

Oohya! Baca juga ya: Asal Mula Sebutan Sumpah Pemuda Menggantikan Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia

Setelah paket buku untuk Thamrin dilepaskan oleh bea cukai Tanjung Priok, Thamrin lalu menyerahkannya kepada Bintang Timoer. Thamrin memberi tahu bahwa buku-buku itu ia terima dalam kondisi kotak paketnya terlihat sudah pernah dibongkar.

“Sekarang itu buku yang beralamat menakutkan, sudah bisa dibeli di Drukkery Bintang Hindia dengan harga f1.—satu, tambah lima sen ongkos kirim buat orang di luar Batawi,” tulis Bintang Timoer pada 25 Oktober 1929.

Pada saat Ons Wapen tiba di Batavia, situasi di Jawa sedang gempar terkait isu akan ada kejadian pada 1930. Isu ini merebak karena ada ramalan yang menyebutkan hal demikian.

Oohya! Baca juga ya: Anak Raja Majapahit yang Dibuang ke Grobogan Punya Cucu, Ini Pesan untuk Cucu Pemberi Keturunan Raja Mataram

Jika dihitung dari masa keruntuhan Majapahit, sesuai ramalan Sabdo Palon yang akan muncul lagi sekitar 500 tahun kemudian, maka tahun 1930 adalah masa sekitar 500 tahun itu. Ramalan itu mulai diperbincangkan sejak 1929, tahun Sukarno ditangkap polisi kolonial.

Ronggowarsito juga meramalkan akan ada kejadian pada 1930 itu. Pada Januari 1930, Darmo Kondo yang diterbitkan Boedi Oetomo menurunkan tulisan mengenai ramalan Ronggowarsito. Majalah berbahasa Sunda yang diterbitkan oleh Volkslectuur, lembaga yang dibentuk pemerintah, memuat iklan buku yang dikaitkan dengan akan adanya kejadian pada 1930.

Ti taun pungkur keneh jalma-jalma satanah Pasundan guyur ibur, pada mareunang beja yen dina tahun 1930 bakal aya kajadian anu aneh. Demikian bunyi kalimat pembuka iklan buku mengenai Pangeran Kornel yang dikutip Sukarno dalam pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat” (1998: 152). Artinya: Dari tahun lalu orang-orang se-Tanah Pasundan gempar, mendapat kabar bahwa pada tahun 1930 akan ada kejadian aneh.

Ramalan-ramalan itu dikaitkan dengan kemungkinan Indonesia merdeka pada 1930. Bersatu lagi dalam wilayah yang besar lagi seperti di masa kejayaan Majapahit, tempat Sabdo Palon mengabdi kepada raja Majapahit.

“Tidakkah ini suatu bukti bahwa ramalan dan kepercayaan tentang 1930 itu di dalam kalangan rakyat memang sudah tak aneh lagi, dan memang sudah sebagai keadaan biasa belaka?” tanya Sukarno dalam pembelaannya di Landraad Bandung pada 2 Desember 1930.

Sukarno ditangkap pada Desember 1929. Ada kegaduhan yang sebenarnya muncul bukan karena akibat tindakan Sukarno, tetapi Sukarno dituduh sebagai penghasutnya. Sukarno dituduh telah menghasut rakyat mengenai rencana Indonesia memerdekakan diri pada 1930 itu.

Oohya! Baca juga ya: 17 Agustus Dini Hari WR Supratman Meninggal Dunia, 28 Oktober Malam Membawakan Lagu ‘Indonesia Raya’

Kegaduhan itu memang membuat pemerintah kolonial mengetatkan pengawasan. Larangan-larangan diberlakukan, termasuk larangan melakukan rapat-rapat. Ons Wapen yang dicetak di Belanda, yang seharusnya bebas masuk ke (Hindia-Belanda) Indonesia, menjadi salah satu sasaran pengawasan.

Sebelum ke Magelang menemui tunangannya, Tabrani menemui Kahar Sosrodanukusumo, reserse Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang ditugaskan di Maksassar. Saat itu Kahar sedang berada di Batavia.

Dari Kahar, Tabrani memperoleh informasi bahwa Ons Wapen menjadi masalah karena Bab IX yang membahas pers dan pemerintah. Di bab ini, Tabrani mempersoalkan pasal karet yang disebut ujaran kebencian.

Oohya! Baca juga ya: Selain Menjadi Ulama di Grobogan, Ki Ageng Selo Juga Dikenal Sebagai Pujangga

Selain itu, yang menjadi persoalan di Ons Wapen, menurut Kahar adalah niat Tabrani menerbitkan koran berbahasa Belanda. Dengan adanya koran pergerakan nasional yang berbahasa Belanda, Belanda menilai akan semakin menguatkan gerakan nasional bangsa Indonesia. Orang-orang yang berbahasa Belanda yang banyak di birokrasi bisa dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang dimuat di koran berbahasa Belanda itu (Tabrani, 1979: 179-180).

Kahar Sosrodanukusumo menirukan ucapan pejabat di Kejaksaan kepadanya:

Itu Tabrani bajingan pinter busuk. Sementara kita tidak dapat berbuat sesuatu terhadapnya, terkecuali mengecilkan peredaran bukunya secara diam-diam. Sebab “Ons Wapen” dicetak dan diterbitkan di Nederland, sedang penulisnya ketika itu berdiam di Nederland juga (Tabrani, 1979: 179).

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Anak Nakal Banyak Akal karya Tabrani (1979)
Indonesia Menggugat karya Sukarno (1930, diterbitkan ulang 1998)
Ons Wapen karya M Tabrani (1929)
Bintang Timoer edisi 15 Oktiber 1929, 23 Oktober 1929, 25 Oktober 1929

Tulisan ini diambil dari materi yang disampaikan di Seminar “Membedah Tabrani: Gerakan dan Pemikirannya Mendahului Zaman” yang diadakan oleh Balai Bahasa Jawa Timur di Surabaya, 30 Oktober 2023.