Bambu Selamatkan Warga Grobogan dari Bencana Kelaparan
Pada 1900, bencana kelaparan melanda Kabupaten Grobogan. Pengemis bermunculan, tapi warga Gundih di bagian selatan Grobogan selamat dari bencana itu.
Ada proyek pembangunan stasiun kereta api (KA) di sana. Warga Gundih diuntungkan oleh banyaknya bambu.
Pada saat bencana itu muncul, wabah kolera juga mendera. Pada bulan September ada 600 orang meninggal.
Leeuwarder Courant melaporkan kondisi penduduk Grobogan yang kurus-kurus akibat bencana kelaparan itu. Pada Agustus 1900, bahkan tidak ada setok beras sama sekali, terkecuali di beberapa desa.
Hewan ternak kerbau banyak pula yang mati akibat wabah, sehingga warga segera menjual kerbau mereka. Mereka lalu membeli sapi, yang lebih tahan dari penyakit dibandingkan dengan kerbau.
Kerbau dijual dengan harga 5-10 gulden. “Para pemilik lebih suka menjualnya dengan harga berapa pun daripada menanggung risiko kehilangan hewan ternak mereka karena mati,” tulis Leeuwarder Courant pada April 1902.
Desa Karangasem di sebelah utara Wirosari setok beras aman, karena ada sumber air. Demikian pula di Jono dan daerah penghasil garam darat lainnya, sderta di Gundih yang ada proyek pembangunan stasiun kereta api.
Desa Selo, yang dikenal dengan larangan Ki Ageng Selo untuk tidak menjual padi atau beras, juga kehabisan beras. Bahkan banyak warga Selo yang pergi ke Penawangan, menawarkan tenaga kepada tuan tanah yang panen raya untuk mendapatkan upah gabah.
Pada awal Agustus, penduduk mulai menanam padi. Wilayah Kradenan cukup luas sawah yang bisa ditanami. Di Kradenan cukup tersedia banyak ternak untuk membajak, ada seitar 16 ribu kerbau/sapi.
Sedangkan di Desa Grobogan, hanya seikit sawah yang bisa ditanami. Hal itu disebabkan oleh sedikitnya sapi pembajak.