Pitan

Anies Baswedan Kunjungi Museum Hatta di Bukit Tinggi, Komunitas Jejak Republik Punya Cerita

Sebagian dari Komunitas Jejak Republik yang mengunjungi Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta berfoto di depan lukisan Bung Hatta.

Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta selalu memberi kesan di hati. Tidak hanya di hati Komunitas Jejak Republik, tetapi juga di hati Capres Anies Baswedan.

Anies Baswedan mengunggah video saat dia berkunjung ke Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta di akun X-nya pada 2 November 2023. Ini bukan kunjungan perdananya, sebab semasa masulih kuliah dia juga pernah datang di sini.

“Setiap kali ke Bukittinggi, saya selalu mengusahakan untuk mampir ke Rumah Kelahiran Bung Hatta. Ini adalah salah satu tempat yang saya anjurkan untuk dikunjungi kalau teman-teman ke Bukittinggi, tempat ini menjadi inspirasi bagi semua,” tulis Anies di akun X-nya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Bapak Psikoanalisis Sigmund Freud Dilempari Telur Busuk ketika Pencetus Bahasa Indonesia Ini Masuk Kelas

Anies cukup mengagumi Bung Hatta, sehingga ia memasang foto Bung Hatta di rumahnya. Kata Anies, Bung Hatta memberikan landasan penting bagi Indonesia dalam hal kesetaraan dan keadilan pemanfaatan sumber daya ekonomi.

“Prinsip yang beliau tuliskan, kemudian menjadi fondasi penyusunan konstitusi kita. Itu sebabnya kita harus kembali merujuk pada gagasan para pendiri republik tentang kesetaraan, keadilan,” kata Anies.

Komunitas Jejak Republik juga pernah berkunjung ke museum ini bersama beberapa mahasiswa dari Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB). PMB bahkan merepro sebuah foto untuk kemudian disumbangkan di museum ini, yang hingga kini dipasang di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta itu.

Oohya! Baca juga ya: Pembangunan Rel di Grobogan untuk Mengangkut Kayu Jati pada 1901, Pemborongnya Ternyata Juga Orang Cina

Harris Harlianto, dari Komunitas Jejak Republik bercerita, pada usia 18 tahun Bung Hatta menulis mengenai Indonesia. Ia lahir pada 1902, berarti ia menulisnya pada tahun 1920.

“Namaku Hindania. Aku dilahirkan di matahari, hidup di waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya,” kata Harris mengutip tulisan Hatta yang dimuat di majalah Jong Sumatra.

Menurut Harris, Hindania bukanlah sekadar nama orang. Ia merupakan personifikasi dari Indonesia yang diimajinasikan Hatta.

Oohya! Baca juga ya: Ketidaksukaan pada Nama Indonesia Masih Muncul pada 1945

“Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika maharaja Mars yang bengis naik tahta di negeri Maghrib, yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis,” lanjut Harris mengutip tulisan Hatta.

Harris yang lahir di Kayu Tanam, Sumatra Barat, juga mengagumi Hatta. Sejak SMP sudah membaca biografi Hatta.

Ia ingin mengikuti jejak Hatta. Tetapi karena Hatta kuliah di Belanda, Harris tak bisa mengikuti jejaknya.

Harris juga membaca biografi Sukarno yang kuliah di ITB. Inilah yang memotivasi Harris mendaftar ke ITB pada 1986, di terima di Jurusan Biologi FMIPA.

Tentu saja, Hatta baru mengenal nama Indonesia setelah belajar di Belanda. Pada 1917, Profesor Van Vollenhoven mengenalkan nama Indonesia kepada mahasiswa Indonesia di Belanda.

Nama ini sudah dicetuskan sejak lama, yaitu pada 1850 oleh JR Logan, tetapi tenggelam oleh masa. Multatuli mengenalkan nama Insulind untuk menyebut Indonesia di masa lalu. Ada pula yang memunculkan kembali nama Nusantara. Keduanya tidak laku.

Oohya! Baca juga ya: Nama Indonesia Ternyata Membuat Belanda Kepanasan, Siapa Perintisnya?

Nama Indonesia menarik minat Ki Hadjar Dewantara yang pada 1917 masih tinggal di Belanda sejak dibuang pada 1914. Diskusi mengenai nama ini pun terus berkembang, meski Vollenhoven menyebut nama ini tidak cocok untuk penamaan negara.

Di Belanda saat itu ada perkumpulan mahasiswa Indonesia yanag bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Nama ini kemudian diganti menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada 1922.

Pada 1921, anggota parlemen Belanda dari kalangan komunis dan kiri mengajukan amandemen UUD, mengusulkan nama Hindia-Belanda diganti dengan Indonesia. Di Hindia-belanda, kalangan komunis dan kiri di Volksraad juga mengusulkan nama Indonesia untuk menggantikan Hindia-Belanda.

Oohya! Baca juga ya: Indonesia Lebih Nendang daripada Nusantara

Tapi usulan ini ditolak. Meski begitu, Partai Komunis Indonesia berani mengklaim bahwa nama Indonesia dicetuskan oleh Komunis. Hatta tentu saja membatah klaim ini. Ia menulis bantahan itu pada Desember 1928 di majalah De Socialist.

Hatta memimpin Perhimpunan Indonesia sejak 1926. “Hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang. Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan,” kata Harris Harlianto mengutip kata-kata Hatta.

Priyantono Oemar

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Berapa Sekedup Unta yang Bawa Jamaah Haji Indonesia ke Makkah?

Image

Kenapa Baju Calhaj Indonesia Kudu Diasapi di Pulau Kamaran, Yaman?

Image

Banyak Warman Jadi Raja di Indonesia Dulu, Siapa Mereka?