Lincak

Nama Indonesia Ternyata Membuat Belanda Kepanasan, Siapa Perintisnya?

Nama Indonesia pada 1921 diusahakan menggantikan nama Hindia-Belanda lewat amendemen UUD, namun gagal. Pada 1940 pun tuntutan itu muncul lagi, tetap Belanda menolaknya. Rupanya Belanda kepanasan dengan nama Indonesia.
Nama Indonesia pada 1921 diusahakan menggantikan nama Hindia-Belanda lewat amendemen UUD, namun gagal. Pada 1940 pun tuntutan itu muncul lagi, tetap Belanda menolaknya. Rupanya Belanda kepanasan dengan nama Indonesia.

Meski kata Indonesia sudah diciptakan pada 1850, tapi tak segera menyebar. Edward Douwes Dekker yang menulis Max Havelaar belum mengenal kata itu, sehingga ia menggunakan Insulinde untuk menggantikan nama Hindia Belanda.

Oohya! Baca juga ya:

Pada 1920-an, Indonesia adalah Nama Perusahaan Asuransi, Sukarno Mengagumi Nama Itu

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Indonesia Lebih Nendang daripada Nusantara

Pada 1921 Ada Usulan Amendemen UUD untuk Ganti Hindia-Belanda dengan Indonesia

Lalu kenapa Insulinde dan Nusantara –yang sudah ada sejak zaman Majapahit-- tak laku? Satu hal, Nagazumi benar bahwa Insulinde dan Nusantara tak akan dapat cukup memuaskan perasaan nasionalis Indonesia. Dua nama ini lemah daya dobraknya. Daya dobrak “Indonesia” jauh melampaui “Insulinde” dan “Nusantara”. Dan Belanda terbukti gerah begitu mendengar nama “Indonesia”.

Kegerahan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh karena nama Indonesia, juga masih dirasakan oleh MH Thamrin dan kawan-kawan di Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada tahun 1940. Pada tahun itu, seperti yang dicatat Bob Hering, MH Thamrin dan kawan-kawan juga meminta perubahan nama “Inlandsch”, “Inlander”, dan “Nederlandsch-Indie” menjadi “Indonesisch”, Indonesier”, dan “Indonesia”.

Tapi, Tjarda menolak perubahan konstitusi. Di sidang Volksraad pada 8-9 November 1940, Thamrin dan Yamin juga mempersoalkan legalitas konstitusional keberadaan Belanda di Volksraad. Keberadaannya dianggap bertentangan dengan pasal 21 sub 2 Konstitusi Belanda.

Adalah George Samuel Windsor Earl, sarjana Inggris yang memunculkan istilah “Indunesians” pada 1847. “Indunesian” belum ia pakai untuk menyebut wilayah geografis. Earl memunculkan sebutan “Indunesian” untuk menyebut orang-orang yang tinggal di Kepulauan Hindia (Indian Archipelago).

“Indian Archipelago” ia anggap terlalu panjang untuk istilah etnografi dan untuk kata sifat. Namun, Indunesians ia tolak sendiri. Ia cenderung memilih penyebutan Melayunesians. Alasannya bahwa yang mendiami Kepulauan Hindia itu adalah orang-orang Melayu.

Mendasarkan pada Indunesian-nya Earl, JR Logan pada 1850 jadi perintis penyebutan Indonesia untuk wilayah Nusantara dan Indonesian untuk penyebutan orang-orangnya. Adolf Bastian mempopulerkannya kembali pada 1884.

Logan mengaku, ia sebenarnya tidak menyukai penamaan geografis yang menggunakan kata berbau Yunani seperti “nesia” (nesos), selama masih ada padanannya dalam bahasa Saxon. Tetapi, kali ini ia memaklumi karena padanan “nesos”, yaitu “nusa” –kata yang hidup di wilayah Nusantara-- ia duga sama tuanya dengan “nesos” di Yunani.

Untuk Nusantara, kata ini sebenarnya telah menjadi alternatif penyebutan untuk menggantikan nama Kepulauan Hindia. Penyebutan Nusantara populer sejak zaman Majapahit –meski sudah dimulai sejak zaman Singosari-- dengan pengertian “wilayah luar Jawa”.

Pada dekade 1920-an, EFE Douwes Dekker memunculkan kembali pemakaian nama Nusantara mengikuti jejak JLA Brandes yang telah mengenalkan penyebutan Nusantara di kalangan bangsa Eropa. Beberapa kalangan kemudian menggunakan Nusantara untuk menyebut Hindia-Belanda. Dengan pengertian ini, Nusantara dipahami berbeda dengan definisi awal di masa Majapahit: wilayah luar Jawa. Nusantara kali ini hanya meliputi wilayah Hindia-Belanda.

Tapi rupanya, tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia lebih menyukai penyebutan Indonesia untuk menggantikan Hindia Belanda. Pada 1929, Hatta menulis di Indonesia Merdeka mengenai perjuangan penyebutan Indonesia itu. Judulnya “Sekitar Perjuangan untuk ‘Indonesia’”: Tanpa mengenal susah payah, sejak tahun 1918 kita mengadakan propaganda untuk “Indonesia” sebagai sebutan tanah air kita.

Ia mengutip pandangan redaksi Indonesia Merdeka mengenai penyebutan Indonesia itu memasuki tahun kedua majalah yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia sejak 1924 itu. Penggunaan “Indonesia” pada Perhimpunan Indonesia dimulai sejak 1922, menggantikan Indische Vereniging.

Betapapun dengan terlibatnya tanah air kita dalam lalu-lintas internasional bagi kita makin lama makin terasa perlu adanya suatu penamaan khusus. Penamaan sendiri merupakan pertanda dari suatu kepribadian. Kekacauan dan pencampuradukan dengantetangga besar kita “India” yang dapat menimbulkan salah faham, sedapat mungkin harus dihindarkan. Dalam hal ini istilah “Indonesia” ialah yang paling tepat, kecuali kalau kita menempuh jalan lain dan memilih istilah Hindia “Belanda”. Tetapi pada waktu ini hal itu tidak dapat diharapkan dari siapa pun orang Indonesia yang waras. Atau apakah orang Belanda berbicara tentang Belanda “Spanyol” ketika negeri-negeri ini masih berada dalam cengkeraman kekuasaan Filips II? Dengan demikian nama “Indonesia” adalah pada tempatnya.

Kalangan sosialis Belanda, mengecam penggunaan Indonesia menggantikan Hindia-Belanda. S Mok, misalnya, kata Hatta, menyebut Indonesia sebagai kata “yang mengerikan”. Hatta mencatat, betapa koran Het Handelsblad juga begitu muak terhadap nama Indonesia. Pengasuh koran ini menilai, penamaan Indonesia untuk Hindia-Belanda mengindikasikan tuntutan kemerdekaan.

Pembelaan Hatta:

Bagi kami orang Indonesia, nama Indonesia mempunyai arti politik dan menyatakan suatu tujuan politik. Dalam arti politik, karena dia mengandung tuntutan kemerdekaan, bukan kemerdekaan Hindia Belanda, melainkan kemerdekaan Indonesia dari Indonesia (Indonesisch Indonesie).

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:

Nama Indonesia (Penemuan Komunis?) karya Muh Hatta.

“Earl, Logan, and ‘Indonesia’”, artikel di majalah Archipel Volume 6 karya Russel Jones.

‘Indonesia’ dan ‘Orang-Orang Indonesia’ karya Akira Nagazumi, dalam Indonesia, Masalah dan Peristiwa.

Mohammad Hoesni Thamrin karya Bob Hering

Berita Terkait

Image

Berapa Sekedup Unta yang Bawa Jamaah Haji Indonesia ke Makkah?

Image

Kenapa Baju Calhaj Indonesia Kudu Diasapi di Pulau Kamaran, Yaman?

Image

Banyak Warman Jadi Raja di Indonesia Dulu, Siapa Mereka?