Latuharhary, KNIL, dan Jerat Utang Warga Maluku

Johanes Latuharhary dilepas oleh 10 ribu warga Ambon ketika ia hendak ke Jakarta untuk menduduki jabatan barunya di Kementerian Dalam Negeri. Jabatannya sebagai gubenur Maluku telah berakhir per 1 Februari 1955.
Ia ditunjuk sebagai gubernur Maluku di sidang PPKI setelah proklamasi kemerdekaan. Namun, ia baru bisa melaksanakan tugas pada 1950, ketika di tahun itu juga Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan, yang membuat tentara Indonesia harus menyerbu Maluku.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), Maluku kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Latuharhary pun mengajak orang-orang Ambon eks KNIL pulang untuk bersama-sama membangun Maluku sebagai warga negara Indonesia dan membebaskan warga Maluku dari jerat utang.
Latuharhary baru bisa menjalankan tugas gubernur mulai 1950, karena pada 1945 hingga 1949 karena Maluku dikuasai Belanda. Maluku kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia Timur. RMS dan ekonomi menjadi tantangan yang harus dihadapi Latuharhary.
Latuharhary pulang ke Maluku ketika Maluku masih luluh kantak. Sebanyak 30 ribu orang di Ambon kehilangan tempat tinggal, yang membuat Palang Merah Internasional datang di AMbon untuk memberikan bantuan.
Ketika pada April 1952, wartawan Belanda pergi ke Maluku, gambaran Maluku yang luluh lantak belum sirna. Dari Teluk Ambon, wartawan itu melihat sebuah masjid yang tidak hancur, sementara hampir semua gereja hancur.
Gambaran ini akibat serangan penyerbuan terhadap RMS. “Bangunan kedua yang menonjol adalah kediaman gubernur yang luas, tinggi di atas kota,” tulis wartawan itu di Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant edisi 10 April 1952.
Wilayah Maluku, jika menyertakan laut, mencapai seperempat wilayah Indonesia. "Jika Irian dimasukkan, menjadi sepertiganya," ujar Latuharhary, seperti dikutip wartawan itu.
Irian, yang menjadi wilayah Kerajaan Ternate, saat itu masih dikuasai Belanda. Irian, yang kini bernama Papua, baru pada 1963 diakui PBB sebagai wilayah Indonesia.
Maluku, yang di masa penjajahan menjadi sumber utama rempah-rempah, menjadi wilayah yang miskin pada saat Indonesia merdeka. Belanda mendapatkan tentara-tentara yang prima dari Maluku, yang ditugaskan di wilayah Indonesia yang saat itu dikuasai Belanda.
“Pasukan terbaik diambil dari Maluku. Orang-orang ini naik ke posisi dan prestise yang baik di tempat lain di Hindia Belanda, tetapi tanah kelahiran mereka tetap terbelakang,” tulis Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant.
Orang-orang Ambon yang menjadi tentara itu kemudian meninggalkan Maluku dan menetap di Belanda ketika Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Orang-orang Ambon eks KNIL meminta perlindungan ke Belanda, menurut majalah De Stem van Ambon edisi Januari 1951, ada 3.600 eks KNIL beserta keluarganya.
Total mencapai lebih dari 12 ribu orang, yang pindah ke Belanda. Maluku kehilangan orang-orang yang berpotensi, sehingga mendorong Latuharhary untuk membujuk Jakarta, agar mereka diterima sebagai warga negara Indonesia.
