Beberapa Kiai Ini Dikenal Sebagai Penyebar Injil di Jawa
Ada beberapa orang Jawa yang dipanggil kiai tetapi menjadi penyebar Injil. Mereka mengajak orang-orang Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk masuk Kristen.
Yang paling terkenal adalah Kiai Sadrach dan Kiai Tunggung Wulung. Meski sebagai penginjil, mengapa disebut kiai? Bukankah kiai adalah sebutan untuk alim ulama dalam agama Islam?
Di antara mereka memang sebelumnya adalah kiai dalam pengertian sebagai ulama Islam. Di Jawa Timur, menurut CW Nortier di buku Tumbuh Dewasa dan Bertanggung Jawab, ada beberapa kiai yang pada 1843 dibaptis di Surabaya.
Yaitu Kiai Ngadiko yang mendapat nama baptis Lukas, Kiai Pono yang mendapat nama baptis Ibrahim, Kiai Jemyah yang mendapat nama baptis Yakub. Ada pula Kiai Sabrang yang mendapat nama baptis Simson, dan Kiai Galiyah yang mendapat nama baptis Daud.
Menurut C Guillot yang menulis buku Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa, Sadrach semasa remajanya keluar masuk pesantren. Ia meninggalkan kampungnya di dekat kota Demak, ketika Demak dan Grobogan dilanda bencana kelaparan.
Akibat bencana kelaparan itu, penduduk Demak dan Grobogan menyusut drastis. Bencana kelaparan sudah mulai muncul pada 1840, saat Sadrach baru berusia lima tahun, puncaknya pada 1848.
Menurut GH van Soest di buku Geschiedenis van Het Kultuurstelsel (Sejarah Tanam Paksa), penduduk Demak pada 1848 ada 336 ribu jiwa, tapi tinggal 120 ribu jiwa pada 1850. Di Grobogan ada 98.500 jiwa, tinggal 9.000 jiwa pada 1850.
“Di seluruh Jawa Tengah, jumlah penduduk telah menurun secara signifikan akibat kesulitan hidup, kekurangan pangan, dan penyakit epidemik,” tulis Van Soest di buku yang terbit pada 1869 itu.
Jepara, disebut Van Soest kehilangan 65 ribu jiwa akibat bencana itu, tetapi tidak disebutkan jumlah penduduk yang tersisa. Meski kampung Sadrach disebut dekat kota Demak, tapi kampung itu masuk wilayah Jepara.
Nama kecil Sadrach adalah Radin, nama khas orang Jawa dari pedesaan, yang kemudian menjadi Radin Abas sepulangnya dari keluar-masuk pesantren. Pulang dari pengembaraannya di pesantren-pesantren di Jawa Timur, ia bertemu Kiai Tunggul Wulung di Semarang.
Kiai Tunggul Wulung telah membangun beberapa desa Kristen di sekitar Gunung Muria. Radin kemudian masuk Kristen, dan memilih nama Sadrach sebagai nama baptisnya, yang diambil dari Perjanjian Lama.
Setelah menjadi Kristen, Sadrach bertemu pula dengan Emde, penginjil di Wiung; Paulus Tosari, murid CL Coolen di Ngoro, dan sebagainya. Penginjil Anthing yang menjadi gurunya menawari Sadrach menjadi kolportir, tetapi Sadrach menolaknya.
Sadrach ingin mengelola sendiri jemaat Kristennya. Dengan cara ini ia bisa menyamakan dirinya dengan orang-orang Belanda, meski nama baptisnya tidak diambil seperti nama baptis orang-orang Belanda.
Orang Belanda memakai nama baptis dari Perjanjian Baru, sedangkan nama baptis orang Jawa diambilkan dari Perjanjian Lama. Tujuannya agar posisi mereka tetap berbeda dengan orang-orang Belanda.