Egek

Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan

Anak-anak muda di Pulau Sangihe membuat deklarasi menjaga Pulau Sangihe dari upaya perusakan.

Anak-anak muda Sangihe ikut jumpa pers daring Jumat (15/9/2023). Berdiri di depan kamera, mereka menegaskan bahwa mereka telah bertumbuh besar dengan sagu, ubi, udang, kepiting, dan segala sumber daya alam di Sagihe. Pulau Sangihe adalah sumber penghidupan mereka dan akan mewariskannya kepada genereasi-generasi berikutnya.

Dipimpin Presti, mereka bersama-sama membacakan deklarasi. Di dalam deklarasi mereka menegaskan, “Tidak diperkenanan siapa pun oleh orang Sangihe maupun orang tua Sangihe merusak alam Pulau Sangihe, merusak peradaban, kehidupan sosial, nilai-nilai tradisi, adat istiadat yang telah diwariskan nenek moyang kami hanya untuk kepentingan memperkaya diri sendiri atau kelompoknya.”

Oohya! Baca juga ya: Siapa 10 Pemuda Pengguncang Dunia yang Dimaksud Bung Karno?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mereka juga menegaskan bahwa Sangihe merupakan pulau kecil yang dilindungi Undang-Undang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Karenanya, mereka meminta kepolisian untuk menindak tegas penambang-penambang ilegal di Sangihe. Mereka juga meminta pemerintah melindungi Pulau Sangihe.

Anak-anak muda ini, sebelum ikut jumpa pres telah berkunjung ke tiga kampung yang terkena dampak aktivitas pertambangan. Jumpa pers ini digelar oleh Save Sangihe Island (SSI) bersama Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral). Jumpa pers yang dipandu Mida Saragih dari Sekretariat Koral, dilakukan berkaitan dengan masih adanya aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe.

Pada 12 Januari 2023, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi, bahwa peningkatan operasi prodksi kontrak karya PT TMS dinyatakan batal dan tidak sah. MA juga memerintahkan pencabutan SK Menteri ESDM Nomor 163 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT TMS. Kementerian ESDM baru membatalkan SK Menteri ESDM No 163 itu pada 8 September 2023 melalui SK Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2023.

Oohya! Baca juga ya: Malaumkarta Jadi Kampung Kelima dari Tanah Papua yang Menerima Anugerah Desa Wisata (Adwi)

Selain penambang yang mendapat izin kontrak kerja, ada juga penambang-penambang ilegal. Pada jumpa pers daring itu diperlihatkan juga perbandingan foto Gunung Bowone yang ditambang, foto tahun 2022 dan foto tahun 2023.

Foto dampak dari aktivitas penambangan di Gunung Bowone, terlihat jauh perubahannya dalam 16 bulan.

Berkaitan dengan pencabutan SK menteri ESDM Nomor 163, masyarakat Sangihe merasa bersyukur. Tapi rasa syukur itu tidka lama, sebab pejabat ESDM menyatakan, PT TMS tidak keberatan dengan pencabutan ini karena bisa mengajukan izin baru dengan untuk luas lahan 25 ribu hektare. Di izin sebelumnya, luas lahan yang diberikan mencapai 42 ribu hektare untuk 34 tahun.

“Ini suatu hal yang menghina akal sehat. Kalimat TMS tidak keberatan dengan pencabutan, wah dia sudah menjadi seperti PR-nya TMS. Ini pejabat atau apa? Pejabat public harusnya bertanggung jawab kepada rakyat. Sangihe bukan milik dia. Kami marah dengan pejabat seperti itu,” kata Juli Takaliuang dari SSI.

Oohya! Baca juga ya: Nama-Nama Lama yang Pernah Dimiliki oleh Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua

Juli mengaku heran, pejabat ESDM seakan-akan melihat Pulau Sangihe sebagai pulau kosong. Pada izin yang diminat dibatalkan oleh MA, lahan yang diberikan melebih batas yang ditetapkan UU Minerba, yaitu 25 ribu hektare. Pun berlaku 34 tahun, padahal UU MIneba menetapkan hanya 20 tahun.

“Ini penindasan bagi orang Sangihe. Kami tidak terima kami akan melawan,” ujar Juli mengenai rencana pemberian izin bau penambangan.

Jika ESDM memberikan izin baru, kata Harrimuddin, dari Indonesia Ocean Justice Initiative, masyarakat Sangihe tenru akan menggugat lagi. Menurut dia, ESDM tidak bisa melihat Pulau Sangihe dari sisi ESDM saja. Harus dilihat pula UU Pengelolaan Wilayah Pesisirm dan Pulau-pulau kecil, sebab Sangihe adalah pulau kecil.

Afdillah dari Greenpeace menyatakan, ada perubahan drastis yang dialami Sangihe akibat pertambangan. Selama proses hukum berlanjut, tidka diperolehkan adanya aktivitas penambangan. Namun nyatanya, aktivitas penambangan ters dilakukan. Gunung sudah dibuka, sedimentasi makin luas, pesisir tercemar oleh bahan-bahan untuk penambangan.

“Tanggal 8 September 2023 izin dicabut, tapi dampak sudah masif. Siapa yang bertanggung jawab? Kita harus menuntut ini. Mangronve rusak, padang lamun rusak, perikanan budi daya jadi tidak memadai,” kata Afdillah.

Harrimuddin menyatakan, masyarakat harus diutmakan dalam kepastian hukum. “Saat ini, masyarakat seperti kehilangan tempat untuk mengadu. Maka, pilihannya adalah menggugat,” kaya Harrimuddin.

Menurut Harrimudin, Sangihe tidak sendirian. Ada pulau-pulau lain yang mengalami nasib serupa. Ada Pulau Wawonii dan Pulau Rempang di Batam. “Negara membiarkan masyarakat berjuang sendirian. Padahal masyarakat ada lebih dulu. Pemerintah yang hadir belakangan untuk memberikan pelayanan, malah tanya mana sertifikatmu?” kata Harrimuddin menyinggung kasus Pulau Rempang.

Oohya! Baca juga ya: Inilah Perbedaan Kelautan, Maritim, dan Bahari

Ia meminta kepada pemerintah untuk memberi rasa aman kepada rakyat. “Lalu berikan kepastian hukum. Kita tidak anti-investasi, tapi ber investasilah ditempat yang benar. Investasi harus ramah terhadap lingkungan dan terhadap masyarakat. Jangan investasi itu jadi ancaman bagi masyarakat setempat,” kata Harrimuddin.

Muhammad Jamil dai Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menyebut kasus Sangihe sudah salah dari awal. Izin kontrak karya sudah dihapus sejak 2009, tapi dihidupkan lagi pada 2020. Jamil juga mempersoalkan izin yang tidak memperhatikan sector lain. “Pertambangan dilarang di area yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang sektor lain, dilarang apabila timbulkan konflik sosial dan merusak lingkungan,” kata Jamil.

Ma Roejan