Kendeng

Pembuatan Kapal di Rembang Diwarnai Korupsi, Kayu Jati pun Dicari Hingga Grobogan Saat Hutan Jatinya Habis

Sapi sarad sedang menyarad (menyeret) kayu jati dari hutan.

Syahbandar di Banten, Kiai Ngabehi Kaytsu, harus merakit kapal di Rembang untuk memperlancar perdagangannya. Hutan jati di Rembang menjadi sumber bahan baku pembuatan kapal-kapal Kompeni.

Kompeni membangun galangan kapal di rembang pada 1677. Orang-orang Kalang dipekerjakan di galangan ini sehingga tidak direcoki oleh pangeran-pangeran Mataram.

Saat itu, orang-orang Kalang yang hidup nomaden dipekerjakan secara paksa oleh Mataram. Karena tidak mendapatkan upah, maka mereka sering membangkang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Asal Mula Orang-Orang Cina Bisa Menjadi Pedagang di Indonesia dan Menguasai Perekonomian

Kompeni kemudian merangkul mereka dengan pemberian upah, meski rendah. Kompeni meminta izin kepada Mataram untuk mempekerjakan mereka.

Hidup nomaden, mereka tinggal di hutan-hutan untuk menebang kayu dan menjualnya. Kompeni pun merekrut orang-orang Kalang yang tinggal di hutan Rembang untuk bekerja di galangan kapal.

Kapal yang dibuat dari kayu jati ternyata lebih awet dibandingkan dengan kapal yang dibuat dari kayu ek. Kapal-kapal yang dibuat di Belanda menggunakan kayu ek.

Oohya! Baca juga ya: Pemuda Jawa Timur Ini Bersedia Menikahi Putri Juliana Asal Diberi Mas Kawin Kemerdekaan Indonesia

Sebelum Kompeni mendapat izin dari Mataram untuk membangun galangan kapal, Kompeni membeli kapal dari orang Jawa dan orang Cina. Orang Jawa dan orang Cina itu membuat kapal pesanan di bawah pengawasan orang Belanda.

Kompeni membeli kapal dari orang Jawa dan Cina di Rembang dan Lasem ini seharga 1.700 gulden. Ketika Kompeni memiliki kapal sendiri, orang Jawa-Cina berganti menjadi pemasok kayu jatinya.

Usaha pembuatan kapal oleh orang Jawa dan Cina menjadi terhambat karena Kompeni yang semakin kuat posisinya mengeluarkan aturan-aturan atas nama pelestarian hutan. Pada 1756, pembuatan kapal oleh swasta dilarang sama sekali.

Oohya! Baca juga ya: Banteng Terluka akan Ngamuk Kata Ganjar, tapi Tangan Kosong Ki Ageng Selo Bikin Banteng Mati tak Sempat Ngamuk

Tentu saja, galangan kapal Kompeni tetap berproduksi hingga lhujan jati di Rembang pun habis. Kayu jati pun dicari tidak hanya dari kabupaten di wilayah Karesidenan Rembang, tetapi juga dari Karesidenan Semarang.

Kompeni bisa menguasai hutan di Jawa setelah mendapat kontrak dari Pakubuwono II pada 1733. Sebanyak 8.500 balok kayu jati harus diserahkan Mataram kepada Kompeni setiap tahunnya.

Hutan Jati di Blora yang masih berada di kekuasaan Mataram, tak bisa dijangkau oleh Kompeni kendati Blora masuk wilayah Karesidenan Rembang. Beruntung, ada dua orang Cina yang menyewa desa di Blora dari Mataram.

Dengan sistem sewa ini mereka bisa dengan leluasa menebang kayu jati di hutan yang ada di desa itu. Maka, kompeni memberi izin kepada mereka berdua untuk membuat kapal.

Orang Jawa hanya diizinkan membuat bahtera untuk keperluan diri sendiri. Tidak boleh dijual.

Pada awal abad ke-19, Rembang masih memproduksi kapal dan bahtera. Setiap tahun diproduksi delapan kapal dan 700 bahtera.

Oohya! Baca juga ya: Anies Baswedan Kunjungi Museum Hatta di Bukit Tinggi, Komunitas Jejak Republik Punya Cerita

Kayu jati pun dicari dari luar Karesidenan Rembang. Dibeli juga dari Karesidenan Semarang yang meliputi hutan-hutan juati di Demak dan Grobogan

Namun, kebutuhan kayu jati yang berkualitas baik mengalami kesulitan ketika cadangan pohon jati yang besar-besar sudah habis. Penjual kayu jati pun membuat siasat.

Orang-orang Cina yang menjual kayu jati berlaku curang. Kayu jati untuk tiang kapal, jika kayu itu berlubang, lubangnya disumbat dengan sampah. Atas praktik seperti ini, maka Residen Jepara memberi tahu Kompeni agar tidak membeli kayu jati dari oang-orang Cina.

Oohya! Baca juga ya: Asal Usul Bangsawan Banjar yang Berani Melawan Belanda, Lambung Mangkurat yang Memintanya ke Raja Majapahit

Daerahnya dijadikan sebagai tempat galangan kapal, membuat Residen Rembang bertindak tidak jujur. Ia memberi upah murah kepada para penebang kayu.

Lalu ia menjualnya ke galangan kapal dengan harga yang tinggi, sehingga ia mendapat untung besar. Gubernur Jawa Tengah, Harting, melaporkan pada 1761, Residen Rembang “tiba-tiba menjadi kaya”.

Atas tindak-tindak penyelewengan ini, maka pada 1779 dimulai upaya pemberantasan segala tindak penyelewengan.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Sejarah Kehutanan Indonesia karya Departemen Kehutanan (1986)

 

Berita Terkait

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam