Kendeng

Bisa Tangkap Petir Berwujud Naga di Grobogan, Ki Ageng Selo Jatuh Gara-gara Kainnya Tersangkut Tanaman Waluh

Ukiran kepala petir berwujud naga di lawang bledhek (pintu petir) tiruan yang dipasang di Masjid Baitul Makmur Purwodadi-Grobogan.

Dalam mitologi Jawa, naga Jawa menguasai dunia bawah, penyangga bumi, sehingga digambarkan tidak bisa terbang. Namun, Ki Ageng Selo mengukir ‘wajah’ petir yang ia tangkap memiliki wajah naga, melayang dari langit menuju bumi.

Biar tidak terbang lagi ke langit, petir berwujud naga itu kemudian ia ikat di pohon gandri. Petir itu kemudian dibawa ke Demak, dipersembahkan kepada Sultan Demak.

Sultan Demak memerintahkan agar petir itu dikurung di kerangkeng besi dan tidak boleh ada yang memberinya minum. Lalu diperintahkannya pelukis istana untuk menggambar wujud petir itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Pengadilan Membuktikan Hatta dan Kawan-Kawan tidak Bersalah, Berbagai Perhimpunan Menyambut Gembira

Wujudnya selalu berubah-ubah. Di hadapan Sultan Demak, ia berwujud kakek-kakek. Yang digambar oleh pelukis istana adalah seekor naga.

Ki Ageng Selo kemudian mengukir kepala naga itu, eh, kepala petir itu, di pintu. Di atas kepala petir diukir mahkota. Lidah api di ukir di berbagai bidang di sekitar kepala petir dan mahkota.

Pintu itu kemudian dipasang di Masjid Demak. Dikenal sebagai lawang bledhek. Pintu petir.
Masjid Baitul Makmur Purwodadi-Grobogan memasang lawang bledhek tiruan. Eh, pintu tiruan berukir kepala naga eh petir itu.

Oohya! Baca juga ya: Grobogan Punya Naga, tetapi Baru Bisa Terbang Setelah Menjelma Sebagai Pemuda Perkasa

“Bukan bledhek sebenarnya, melainkan bledhek dalam arti sebagai lukisan ‘hawa angkara murka’ manusia,” tulis T Wedy Utomo.

Ki Ageng Selo, menurut T Wedy Utomo, mengajarkan agar anak cucunya untuk bisa mengendalikan hawa angkara murka. “Dengan demikian barulah dikatakan bahwa anak cucu dapat memiliki ilmu ‘mengendalikan diri’ yang hal tersebut sangat penting bagi setiap orang yang mengaku dirinya pemimpin,” tulis T Wedy Utomo.

Petir yang dikurung di kerangkeng besi menjadi tontonan warga. Meski berkali-kali petir itu meminta minum, tak ada yang berani memberikannya karena mematuhi larangan Sultan Demak.

Oohya! Baca juga ya: Sampaikan Solidaritas untuk Perempuan Palestina, WMW Indonesia Desak Pemimpin Dunia Setop Tekanan ke Palestina

Tapi ternyata datang petir perempuan yang menyamar menjadi nenek-nenek. Ia datang menonton membawa air, lalu ia berikan kepada petir yang ada di kerangkeng. Maka, setelah terdengar suara gelegar, petir itu melesat ke langit meninggalkan kerangkengnya.

Alkisah, Ki Ageng Selo sudah pulang ke desanya, di Desa Selo, Grobogan. Suatu hari, ia sedang menggendong anaknya sambil merawat tanaman waluh di sawah.

Dari sawah terdengar suara rebut-ribut, rupanya ada orang yang mengamuk hendak membunuh Ki Ageng Selo. Warga sudah menghalang-halangi, tetapi orang itu bis amencapai lokasi Ki Ageng Selo.

Berkali-kali orang itu menusuk badan Ki Ageng Selo, tetapi tidak terluka. Ki Ageng Selo yang mencoba meringkus orang itu malah terjatuh.

Rupanya kain yang ia kenakan tersangkut di tanaman waluh. Hal itu menghalangi gerak Ki Ageng Selo.

Karena tidak bisa menjaga keseimbangan, lalu Ki Ageng Selo terjatuh. Bangun, ia menurunkan anaknya dari gendongan, lalu membaringkannya.

Oohya! Baca juga ya: Gugatan Ditolak, Tim Kuasa Hukum Masyarakat Adat Awyu akan Lakukan Upaya Hukum Evaluasi Hakim PTUN Jayapura

Gambar Ki Ageng Selo sedang menangkap petir berwujud naga.

Ia pun segera melawan orang yang menyerangnya. Sekali pukul, orang yang menyerangnya langsung roboh.

Ia pun kemudian mengeluarkan larangan agar anak cucu tidak menanam waluh dan tidak mengenakan kain.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Babad Tanah Jawi Buku I penerjemah Amir Rochyatmo dkk, penunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Ki Ageng Selo karya T Wedy Utomo (1983)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Ini Syarat Gelar Pahlawan Nasional, Bupati Grobogan Ini Memenuhi?

Image

Bikin Trilogi Pedesaan, Layakkah Bupati Grobogan Ini Jadi Pahlawan Nasional?

Image

Siapa yang Layak Jadi Pahlawan Nasional dari Grobogan?