Sekapur Sirih

Menyambut Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII, Bahasa Indonesia Diciptakan Memang untuk Menjaga Kebinekaan

Kongres Bahasa Indonesia (KBI) akan diadakan pada 25-28 Oktober 2023.

Oleh Priyantono Oemar, bergiat di Komunitas Jejak Republik

Pada Kongres Bahasa Indonesia (KBI) II di Medan pada 1954, Sukarno sudah berusia 53 tahun. Tapi, masyarakat Medan masih saja tersinggung ketika dalam pidato pembukaan KBI II, Sukarno menggunakan kata sapaan “aku, kamu, engkau”.

“Kata-kata itu sempat mendapat reaksi masyarakat Sumatra Utara,” kata Syamsuddin Rasyad, peserta KBI II dari Medan, seperti dikutip Java Bode edisi 2 November 1954.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

KBI II sengaja diadakan di Medan untuk menghormati masyarakat Sumatra Utara. Menurut Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) Muh Yamin, Medan dipilih karena di sekitar Medan ini Bahasa Indonesia dipakai dengan baik dalam kalangan rumah tangga ataupun dalam masyarakat.

“Itulah sebabnja maka kota Medan dipilih sebagai tempat Kongres sebagai penghargaan kepada pemeliharaan kebudajaan dikantjah pembentukan bangsa Indonesia,” kata Yamin.

Oohya! Baca juga ya: Usai Lihat Pameran Koran Kuno, Keturunan Raja Majapahit Ini Bangun Gedung Perpustakaan tapi tidak di Grobogan

Sumatra Utara adalah salah satu pusat bertumbuhnya bahasa Melayu di abad ke-16. CA van Ophuijsen belajar bahasa Melayu di Tapanuli dan Padang Sidempuan. Pujangga Hamzah Fansuri kelahiran Barus, tumbuh di daerah ini.

Muh Yamin pada 1926 gagal mewujudkan keinginan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan karena ditentang oleh M Tabrani. Yamin kesal, tetapi kemudian memahami alasan Tabrani, sehingga pada 1928, rancangan ikrar pemuda yang dibuat Yamin pada 1926 diubah dengan menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Alasan Tabrani sederhana. Ia tak ingin ada imperialisme bahasa daerah.

Tidak boleh ada bahasa daerah menindas bahasa daerah yang lain. Bagi Tabrani, sungguh ironi dan paradoks jika memperjuangkan persatuan Indonesia dilakukan dengan cara mempraktikkan imperialisme bahasa.

Oohya! Baca juga ya: Generasi Muda Perlu Menyeru kepada Calon Pemimpin Bangsa Mengenai Agenda Penanganan Perubahan Iklim

Tabrani di Hindia Baroe edisi 11 Februari 1926 mengatakan:

Karena djika ta’ begitoe nistjajalah bangsa kita jang ta’ mempoenjai bahasa Melajoe itoe akan merasa terantjam dalam bahasanja.

Maka maksoed kita dengan pergerakan penerbitan bahasa Indonesia itoe lain tidak soepaja pergerakan persatoean anak-Indonesia akan bertambah keras dan tjepat.

Djika kita menjeboetnja bahasa itoe bahasa Melajoe salahlah kita. Karena seboetan sematjam itoe seolah2 dan mesti mengandoeng sifat imperialisme dari bahasa Melajoe terhadap kepada lain2 bahasa bangsa kita disini.

Tidak menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan adalah juga bentuk penghargaan terhadap keberagaman bahasa. Ada banyak bahasa di Indonesia. Semuanya memiliki peluang yang sama untuk memberikan sumbangan pada upaya pengembangan bahasa Indonesia.

Pentingnya keberagaman bahasa juga sudah disinggung Tjokroaminoto di Kongres Sarekat Islam Pertama di Bandung pada Juni 1916:

Sekarang tentang zelfbestuur. Apa arti perkataan ini tidak akan saya uraikan di sini, namun yang ingin saya katakan: bilamana kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya, artinya bila tanah air kita, tanah kekuasaan Negeri Belanda, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat semuanya akan menuju ke arah dan bersama-sama memelihara kepentingan kita bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa, maupun agama, dan …. seandainya kepentingan yang kita perjuangkan bersama itu sampai terancam oleh suatu pengaruh atau bahaya dari luar, maka kita akan berdiri serempak untuk berjuang menghalau bahaya yang mengancam kita.

Oohya! Baca juga ya: Cek Titik Api Dikira Lokasi Kebakaran Hutan, Petugas Polres Grobogan Pernah Kecele Saat Tiba di Lokasi

Dengan menghargai keberagaman bahasa yang ada di Hindia, Tjokroaminoto dengan Sarekat Islamnya mendukung gerakan Djawa Dipa. Gerakan ini mempropagandakan satu bahasa Jawa dalam pemahaman menyingkirkan feodalisme bahasa.

Dalam kaitan itu, Tjokroaminoto juga memandang perlunya membuang kebiasaan buruk. Kebiasaan itu ia sebut sebagai aib nasional, yaitu sembah dan jongkok.

Djawa Dipa adalah gerakan kesetaraan untuk menghilangkan tingkatan-tingkatan dalam berbahasa demi menjunjung demokratisasi bahasa Jawa. Rapat tertutup Central Sarekat Islam (CSI) telah membahas gerakan Djawa Dipa.

Harapannya, gerakan Djawa Dipa bisa memunculkan gerakan di daerah lain. Yaitu gerakan Sunda Dipa, Bugis Dipa, Batak Dipa, dan sebagainya.

Oohya! Baca juga ya: Logo KAN Dipalsukan, Segera Diberlakukan Aturan Baru Lisensi Logo KAN

Pada 1926, Tabrani tidak mengucapkannya, tetapi saya melihat pemilihan nama bahasa Indonesia juga mengandung keinginan politik. Nama Indonesia saat itu sudah dikenal sebagai nama antitesis dari nama Hindia-Belanda. Nama Indonesia menjadi semangat memiliki bangsa sendiri yang merdeka.

Oleh Belanda pemakaian nama Indonesia dianggap sebagai niat bangsa Indonesia memisahkan diri dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, bahasa Indonesia yang disumpahkan sebagai bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia Pertama, mendorong pemerintah mencegah perkembangannya.

Maka, sejak 1929, pemerintah Hindia-Belanda mewajibkan sekolah-sekolah memakai bahasa daerah masing-masing, menghapus bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan pintu masuk bagi bangsa Indonesia menguasai bahasa Indonesia.

Oohya! Baca juga ya: Membahas Usulan Nama Lokal untuk Nederlandsch Nieuw Guinea, Belanda Tolak Nama Irian

Tindakan penghapusan bahasa Melayu di sekolah itu oleh pemerintah kolonial dilakukan dengan alasan penghematan anggaran. Mengapa? Menurut penelusuran Jerome Samuel, karena krisis ekonomi mulai terasa di Hindia Belanda.

Pada tahun 1932, buku bacaan berbahasa Aceh karya L De Vries, Lhee Saboh Nang, diterbitkan. Lalu diedarkan ke sekolah-sekolah di Aceh.

Pada tahun 1932 pula diterbitkan buku bacaan berbahasa Minangkabau karya MG Emeis, Lakeh Pandai (empat jilid). Lalu juga diedarkan di sekolah-sekolah di Minangkabau.

Keduanya diterbitkan oleh penerbit JB Wolters, Den Haag – Batavia. “Tetapi guru-guru tidak mau memakai buku itu, lebih-lebih PGHB (Persatuan Guru-guru Hindia Belanda),” ujar Madong Lubis.

Kebijakan verdeel en heers (memecah dan menguasai) itu dianggap membuat keindonesiaan yang sudah muncul di daerah-daerah lewat bahasa Indonesia digunting-gunting oleh Belanda dalam keberagaman bahasa daerah. Di Aceh, seperti dilaporkan De Sumatra Post, Teuku Hasan mengumpulkan 1.000 orang pada 6 Maret 1932 di Kotaraja –sekarang Banda Aceh-- untuk memprotes kebijakan penggunaan bahasa Aceh di sekolah-sekolah.

Oohya! Baca juga ya: Pemimpin Koreri Ini Orang Asli Papua tetapi Bernama Bin Damai, Mengapa Belanda Tangkap Dia?

Pemerintah Hindia-Belanda sudah menjalankannya di Idi pada awal tahun dan mulai Juli di Sigli. Rencana protes di Kotaraja ini diinformasikan ke Fraksi Nasional Volksraad, koran Bintang Timoer di Batavia, dan Soeara Oemoem di Surabaya.

Secara umum diyakini bahwa penggunaan bahasa Aceh sebagai bahasa utama di sekolah, secara bertahap dapat mengarah pada pemisahan Aceh dari konteks 'Indonesia' (De Sumatra Post, 7 Maret 1932).

De Sumatra Post juga menulis kejadian sebelumnya di Minangkabau. Bahasa Minang ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah, juga ditentang dengan argumen ada upaya memisahkan Minangkabau dari konteks 'Indonesia'.

"Bangsa Belanda sangat takut terdesak,'' kata Sutan Takdir Alisyahbana mengomentari kebijakan itu di Soeara Oemoem, edisi 7 Maret 1932.

Sumber rujukan:
- “Bahasa Indonesia Didalam Pergaulan Sehari-hari” karya Madong Lubis dalam Kongres Bahasa Indonesia Tahun 1954 28 Oktober – 2 November di Medan, Medan Bahasa (1954)
- “Zelfbestuur, Pidato pada Kongres Nationaal Sarekat Islam I, di Bandoeng, 17-14 Juni 1916” karya OS Tjokroaminoto dalam Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok (1981)
- Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan karya Jerome Samuel (2008).
- Sarekat Islam Congres (4e Nationaal Congres) 26 Oct – 2 Nove 1919 te Soerabaja (1920)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]