Pitan

Usai Lihat Pameran Koran Kuno, Keturunan Raja Majapahit Ini Bangun Gedung Perpustakaan tapi tidak di Grobogan

Gedung Perpustakaan nasional di Salemba mulai dibangun pada 1985 dan selesai pada 1988.

Keturunan Raja Majapahit itu pada suatu hari di bulan Oktober 1968 membaca berita. Beritanya mengenai pameran koran kuno di Perpustakaan Museum Pusat.

Berita kecil itu menatik perhatiannya. Ia kemudian mengunjungi pameran itu.

Kepala Perpustakaan Museum Pusat saat itu Mastini Hardjoprakoso. Mastini berasal dari Solo, dulu juga aktif di kepanduan, yang juga diikuti oleh keturunan Raja Majapahit Brawijaya V itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Mastini mulai menggeluti perpustakaan sejak 1953. Perpustakaan Museum Pusat adalah perpustakaan warisan Belanda. Perpustakaan ini juga menyimpan laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama.

Oohya! Baca juga ya: Logo KAN Dipalsukan, Segera Diberlakukan Aturan Baru Lisensi Logo KAN

Laporan kongres ditulis dalam bahasa Belanda. Dicetak dalam beberapa eksemplar, tapi rupanya disita oleh polisi Belanda.

Untungnya yang dikirim ke Perpustakaan Museum Nasional tidak disita oleh polisi Belanda. Pada 1913, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan yang mewajibkan semua penerbit mengirimkan barang cetakannya kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Lembaga ini, yang dalam bahasa Indonesia berarti Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia didirikan oleh perorangan, yaitu JCM Rademacher, pada 1778. Gubernur Jenderal Hindia-Belanda mendukungnya.

Terkumpullah enam lemari koleksi buku sumbangan dari berbagai pihak. Koleksi ini kemudian dijadikan sebagai koleksi perpusatakaan lembaga itu.

Oohya! Baca juga ya: Generasi Muda Perlu Menyeru kepada Calon Pemimpin Bangsa Mengenai Agenda Penanganan Perubahan Iklim

Dari tahun ke tahun, koleksi terus bertambah. Terbitan-terbitan ilmiah pun disumbangkan ke lembaga ini secara sukarela, hingga akhirnya diwajibkan pada 1913.

Andai Tabrani selaku ketua panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama tidak mengirimkan salinan laporan kongres ke sini, tentu generasi sekarang tidak bisa mengetahui sejarah Kongres Pemuda Indonesia Pertama secara lengkap. Pada tahun 1970-an, Tabrani mendapatkan salinan laporan itu dari Perpustakaan Museum Pusat.

Pada 1928, lembaga itu diambil alih oleh pemerintah. Namanya berubah nama menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootscap van Kunsten en Wetenschappen.

Baca Juga: Pemimpin Koreri Ini Orang Asli Papua tetapi Bernama Bin Damai, Mengapa Belanda Tangkap Dia?

Pada masa pendudukan Jepang, lembaga ini tak terurus. Bagaimana dengan kondisi koleksinya?

Beruntung, koleksi buku-bukunya tetap aman. Maka, setelah Indonesia merdeka, lembaga ini mulai beraktivitas kembali.

Seorang Belanda mengurus perpustakaannya. Pada 1950, namanya diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Husein Djajadiningrat menjadi pengelolanya.

Pada September 1962, LKI dihibahkan kepada pemerintah Indonesia. Perpustakaannya lalu digabung ke Museum Pusat yang berkantor di Medan Merdeka Barat. Pada 1980 perpustakannya dipisah dari Museum Pusat, menjadi Perpustakaan Nasional Indonesia.

Pameran surat kabar pada Oktober 1968 diadakan untuk memperingati Sumpah Pemuda. “Saya ajak teman-teman untuk mengadakan pameran surat kabar. Ini saya maksudkan untuk menarik perhatian orang,” ujar Mastini.

Oohya! Baca juga ya: Membahas Usulan Nama Lokal untuk Nederlandsch Nieuw Guinea, Belanda Tolak Nama Irian

Ia bercerita mengenai Perpustakaan Museum Nasional yang hidupnya masih kembang kempis setelah delapan tahun dikelola pemerintah. “Mau beli koran saja tidak mampu, apalagi langganan,” ujar Mastini.

Surat kabar yang dipamerkan saat itu ada 100 koran, dari koran tahun 1810 (zaman Daendels), koran tahun 1912 (zaman Raffles), koran tahun 1825 (zaman Perang Diponegoro), koran 1908 (zaman Budi Utomo), koran 1928 (zaman Sumpah Pemuda). Ada juga koran zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan.

Selama pameran, Mastini mengaku mengundang pejabat di Kementerian Pendidikan, tapi tak ada yang datang. Pejabat Pusat Lembaga Perpustakaan juga diundang, pun tak ada yang datang. Yang datang pejabat dari Kementerian Penerangan, Kementerian Luar Negeri, dan pers.

Oohya! Baca juga ya: Papua Selatan, Mengapa tidak Memakai Nama Irian Selatan yang Memiliki Makna Bagus dalam Bahasa Marind?

“Nah dari wartawan-wartawan inilah berita pameran tersebar luas,” kata Mastini. Karena berita itu pula, Mastini menerima telepon dari ajudan Ibu Tien Soeharto.

Mastini kemudian menghadap Ibu Tien. Ibu Tien menyatakan keinginannya untuk melihat pameran itu. “Boleh saya lihat ke sana? Tanya Ibu Tien kepada Mastini.

Mastini gembira bukan kepalang, tapi juga gundah mempersiapkan kedatangan Ibu Negara, karena dirinya menjadi kepada perpustakaan tanpa jabatan eselon. Ibu Tien meminta Mastini berkoordinasi dengan Kementerian Penerangan.

Menteri Penerangan Budiarjo didampingi Mastini menyambut Ibu Tien di Museum Pusat pada 8 Oktober 1968. Ibu Tien tekun memperhatikan satu per satu koran-koran kuno koleksi perpustakaan itu.

Oohya! Baca juga ya: Bahu-Membahu Mewajibkan Penggunaan Produk SNI untuk Proyek Pembangunan IKN Nusantara

Bahkan, Ibu Tien menyempatkan melihat gudang tempat penyimpanan koleksi-koleksi perpustakaan ini. Gudangnya pengap. Wah bagaimana nasib koleksinya dan apa komentar Ibu Tien? 

“Saya temui sebuah gudang besar lembab dan pengap. Sepintas tampak oleh saya segala macam terbitan dan dokumen yang telah sangat lama,” ujar Ibu Tien. Pada kesempatan kunjungan itu, Ibu Tien berpesan agar penerbit-penerbit koran mengirimkan korananya kepada perpustakaan.

Sedih melihat kondisi koleksi perpustakaan yang tidak terawatt dengan baik itu, membuat Ibu Tien putar otak. Koleksi itu harus diselamatkan agar generasi penerus bisa memanfaatkannya.

“Sekali dokumen itu hilang atau rusak, maka kita kehilangan sumber yang tidak ternilai harganya dan barangkali tidak pernah tergantikan buat selama-lamanya,” kata Ibu Tien.

Oohya! Baca juga ya: Ditata Ulang oleh Kementerian PUPR, Taman Jokowi Iriana di Kaimana untuk Memanjakan Opakarofil

Pada 1971, Ibu Tien kembali mengunjungi perpustakaan itu. Ia datang bersama Presiden Soeharto untuk melihat kembali gudang tempat koleksi perpustakaan disimpan.

“Hasil kunjungan kali ini membesarkan hati saya. Bapak Presiden merestui gagasan saya untuk membangun gedung Perpustakaan Nasional,” ujar Ibu Tien. Biaya pembangunannya Rp 10 miliar, dikerjakan oleh Yayasan Harapan Kita.

Ibu Tien adalah sosok yang diceritakan di awal tulisan ini sebagai keturunan dari Raja Majapahit Brawijaya V.  Ia diceritakan tertarik untuk melihat pameran koran kuno di Perpustakaan Museum Pusat.

Pembangunan gedung perpustakaan baru bisa dilakukan pada 1985. Ternyata tidak mudah untuk mendapatkan lahan seluas satu hektare di Jakarta saat itu. 

Oohya! Baca juga ya: Mengapa Putri Ariani dan 9 Finalis Lainnya Kalah Suara dari Anjing Bernama Hurricane?

Ibu Tien sering lewat Salemba dan terpikat gedung tua di sana yang memiliki halaman luas. Gedung itu bekas gedung Willem III School. Saat itu menjadi milik Pusat Kesehatan Angkatan Darat.

Lokasi di dapat. Gedung yang lama lalu dipugar, selesai pada 1986.

Gedung yang baru dibangun di sebelahnya, selesai pada 1988. Lalu, koleksi perpustakaan di Museum Pusat dipindah ke gedung baru di Salemba.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama di Weltevreden 1926 (1981)
Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia karya Abdul Gafur (1992)

Berita Terkait

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam