Demi Karier di Grobogan, Salah Tangkap Kecu Hal Biasa

Di pengadilan, seorang mantan lurah di Grobogan bersaksi mengenai perbuatan jahat demi menjaga karier. Perbuatan jahat itu dilakukan ketika tidak bisa dengan cepat menangkap kecu (perampok).
Yang dilakukan kemudian adalah menetapkan orang lain sebagai tersangka perampokan demi atasan merasa puas. “Semua lurah bertindak seperti itu,” kata mantan lurah itu di pengadilan, seperti dilaporkan De Locomotief pada 14 Oktober 1896.
Orang yang dijadikan sasaran sebagai tersangka baisanya sudah memiliki catatan buruk di mata lurah. “Saya harus melakukan itu karena jika keadaan tidak menjadi terang, maka Wedono tidak puas dan saya dipecat karena dianggap tidak layak,” lanjut lurah itu.
Grobogan menjadi salah satu pusat kecu (perampok) di Jawa Tengah pada masa lalu. Hutan di Pegunungan Kendeng, Grobogan, menjadi tempat persembunyian mereka.
Sasaran para kecu adalah orang-orang Belanda dan orang-orang Cina. Pejabat pribumi yang tidak disukai rakyatnya juga akan menjadi sasaran para kecu.
Para kecu dari Grobogan akan melakukan perampokan di wilayah Sukowati dan Semarang, selain di wilayah Grobogan tentu saja. Ketika ada perampokan atau pencurian, maka kentongan akan dipukul bertalu-talu.
Suara kentongan itu akan disahut oleh suara kentongan dari desa lain, hingga sampai di desa-desa perbatana Grobogan-Semarang, Grobogan-Sukowati, Grobogan-Madiun. Maka, jalan pelarian para kecu itu menjadi terhalang, sehingga mereka akan meninggalkan begitu sapi-sapi curian dan bersembunyi di hutan.
“Keesokan harinya kita melihat Wedana, yang selalu keluar sendiri, kembali dengan ternak curian itu,” tulis Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 1 November 1912.
Pada 1901, menurut laporan De Locomotief edisi 22 Maret 1901, perampokan terjadi di Goprak, lokasi pembangunan rel kereta di Grobogan, yaitu antara Gundih dan Sumberlawang. Maka, polisi pun segera melakukan penjagaan ketat rumah-rumah orang Eropa di wilayah itu, setelah menangkap empat perampok.
Pak Rido dari Tumpuk, Wirosari, Grobogan, menjadi salah satu korban tangan kotor lurah. Menurut laporan De Locomotief edisi 14 Oktober 1896, ia divonis mati atas kesaksian palsu para saksi atas perintah lurah. Pak Rido dituduh telah melakukan perampokan dengan pembunuhan.
Adanya kesaksian palsu atas perintah lurah itu baru ketahuan belakangan, ketika muncul lagi kasus perampokan. Kali ini menimpa Wiryodipuro, juga warga Tumpuk. Salah seorang saksi yang mendapat perintah lurah untuk memberikan kesaksian palsu berkata jujur.
