Pencetus Bahasa Indonesia Berdarah Santri Madura Itu Pernah Dicap Murtad oleh Kiainya
Madura, tulis M Tabrani yang semasa kecil menjadi santri di langgar itu, adalah pulau kecil padat penduduk. Maka, satu sama lain saling berdekatan turun-temurun.
Lingkungannya agamis. Sejak kecil, orang-orang Madura “menghirup udara Islam” melalui kiai, ulama, langgar, masjid, pesantren.
“Perbedaan praktis tidak kelihatan. Semua beribadah menurut keadaan dan lingkungan,” tulis Tabrani, yang pada 1926 menjadi ketua Panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama.
Oohya! Baca juga ya: Pilpres 2024 dan Serunya Permainan KIM tetapi Bukan Koalisi Indonesia Maju
Pada awal abad ke-20, ajaran Islam merata di kalangan penduduk Madura. Namun, banyak terjadi pertumpahan darah, bukan karena sebab, tetapi karena akibat.
“Apakah akibatnya bikin malu atau tidak. Jika bikin malu, berlakukan peribahasa Madura: Ango’a pote tolang klaban pote mata,” kata Tabrani. Artinya, lebih baik perang tanding daripada mendapat malu.
Misalnya, ada yang bertengkar karena uang yang kecil nilainya. Jika pertengkaran itu tidak memunculkan rasa malu, maka tidak akan memunculkan pertumpahan darah. Jika pertengkaran soal uang itu membuat malu, maka pertumpahan darah akan terjadi.
Oohya! Baca juga ya: Santri Ini Jadi Bupati Grobogan Pertama yang Bergelar Haji, Sejak Zaman Mataram Bupati Grobogan Bergelar Raden
Kalah menang, kata Tabrani, bukan soal. Yang pokok adalah tidak akan mendapat malu karena tidak berani membela kebenaran dan keadilan.
“Jenazah orang Madura akibat kalah dalam perkelahian (carok dalam bahasa Madura) dihormati oleh kerabat dan handai taulan,” kata Tabrani.
Kondisi ini kemudian mendorong Belanda membentuk Barisan Madura. Instrukturnya orang Belanda, anggotanya pemuda-pemuda Madura.
Oohya! Baca juga ya: Ada Bupati Grobogan Keturunan Mertohadinegoro yang Hidupnya Berakhir Tragis Setelah Indonesia Merdeka
Mendapat pelatihan militer tetapi tidak masuk asrama. Mereka diberi pangkat. Mayor menjadi pangkat tertinggi dari opsir Madura.
Ada kapten, letnan, sersan, kopral, prajurit. Rekrutmennya melalui keluarga. Jika bapaknya sudah masuk Barisan Madura, nanti anaknya jika sudah besar akan dimasukkan Barisan Madura juga.
Kakek Tabrani juga anggota Barisan Madura denan pangkat kapten. Dikenal dengan panggilan Kapten Sora.
Kapten Sora pernah dikirim ke Aceh untuk ikut perang Aceh. Pulang ke Madura dengan selamat. “Karena eyangmu berdarah santri dan ternyata rakyat Aceh yang diperangi Belanda juga berdarah santri,” kata ayah Tabrani.
Dari situlah Kapten Sora menyadari jika Barisan Madura hanya diperalat oleh Belanda. Maka, lanjut ayah Tabrani, sebelum wafat Kapten Sora meninggalkan wasiat.
“Keturunanku hendaknya jangan masuk Barisan Madura yang diperalat Belanda. Biarlah aku yang terakhir dari keluarga kita.” Demikian wasiat Kapten Sora.
Oohya! Baca juga ya: Untuk Menghargai Masyarakat Melayu, Kongres Bahasa Indonesia (KBI) II 1954 Diadakan di Medan
Sebagai putra sulung dari Kapten Sora, ayah Tabrani tidak masuk Barisan Madura. Namun ia menjadi pamong praja.
“Dari ayah dan ibu, saya turunan santri, tani, dan prajurit,” tulis Tabrani. Darah santri, kata Tabrani, memberikan ketenangan, sedangkan darah petani menimbulkan kepedihan.
Kondisi petani Madura sangat miskin. Tanah Madura tidak subur. Karenanya, banyak yang mengandalkan produksi garam.
Karena kewalahan mengurus Tabrani kanak yang nakal, ayah Tabrani kemudian menitipkan Tabrani kepada Kapten Sora di Pamekasan. Selama di Pamekasan, dalam seminggu ada jadwal sekali belajar membaca Alquran yang harus diikuti Tabrani.
Oohya! Baca juga ya: WR Supratman Terbirit-birit Lapor Bos di Loteng, Gembira Lagu ‘Indonesia Raya’ Diterima di Kongres Pemuda
Oleh Kapten Sora, Tabrani dididik keras, tertib, teratur, spartan. Namun, Tabrani tetap nakal. Sehabis sekolah dan makan siang, ia keluyuran.
Bermain layang-layang, mengadu jangkrik, beradu gulat, dan sebagainya. Malam hari masih saja keluyuran pergi ke ladang tetangga mencari jangkrik bersama teman-teman. Tapi, seringnya justru disangka mencuri ketimun, sehingga pemilik ladang mengejarnya.
Namun, Kapten Sora tidak tinggal diam dengan kenakalan Tabrani. Jika sudah marah, kakek Tabrani bisa melemparkan apa saja ke arah Tabrani.
Oohya! Baca juga ya: Statistik Peribahasa
Ketika Tabrani masuk MULO di Surabaya, ia berkenalan dengan KH Mansur. Tabrani mengagumi kiai satu ini dan diam-diam menjadi santrinya.
Suatu hari, ia bertanya kepada Kiai Mansur. “Apakah Tuhan itu ada?”
“Nak Tabrani tahu main umpet-umpetan? Dalam bahasa Belanda kalau tidak salah disebut verstoppertje spleen atau main kikebu,” jawab Kiai Mansur balik bertanya. Tabrani tetap menunggu jawabannya.
“Nah, kalau yang mencari tidak pandai dan ulet, apakah yang dicari itu akan diketemukan? Demikian juga dengan Tuhan. Pasti ada, tetapi orang harus mencarinya dengan sungguh-sungguh. Kapan berhasilnya, tergantung kepada pencarinya,” lanjut Kiai Mansur.
Di kesempatan lain, Tabrani juga bertanya. Kali ini mengenai ada tidaknya surga dan neraka.
Oohya! Baca juga ya: Papeda Jadi Google Doodle, Ternyata di Masa Lalu Orang Jawa Juga Makan Papeda dengan Garang Asem
“Nak Tabrani putra Madura,” kata Kiai Mansur. “Sedikit banyak mempunyai dasar Islam,” lanjut Kiai Mansur memuji Tabrani.
Tabrani menunggu. Kiai Mansur pun melanjutkan perkataannya.
“Ibaratnya Nak Tabrani mau bepergian. Dari Surabaya ke Betawi, misalnya. Untuk itu dibutuhkan bekal, sangu. Begitu juga kalau Nak Tabrani dan saya berhasrat menuju surga. Harus mempunyai bekal. Antara lain berkelakukan baik, percaya kepada Tuhan, beribadah, dan sebagainya menurut ajaran agama Islam,” kata Kiai Mansur.
Oohya! Baca juga ya: Mengapa Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I Tahun 1938 Diadakan di Solo?
Tabrani diam. Kiai Mansur melanjutkan penjelasannya.
“Bekal itu ada, risiko untuk tidak sampai ke surga dengan kehendak Tuhan praktis tidak ada. Sebaliknya, kalau hidup tidak karuan, melanggar ajaran Islam, belum tentu akan masuk surga, bahkan mungkin masuk neraka,” kata Kiai Mansur.
Kepada Tabrani, Kiai Mansur pun menegaskan keyakinannya bahwa surga dan neraka pasti ada. Ia pun kemudian berpesan kepada Tabrani.
Oohya! Baca juga ya: Lima Perbedaan Kongres Pemuda Indonesia Pertama dan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Apa Saja?
“Manusia berhak dan bebas memilih surga atau neraka. Pakailah akal dan pikiran ke jalan yang benar, yang diridai Tuhan,” kata Kiai Mansur.
Tabrani lega dengan penjelasan Kiai Mansur yang yang menyejukkan. Sewaktu ia masih tinggal di rumah kakeknya di Pamekasan, dua pertanyaan itu pernah dia ajukan kepada kiai tempat ia mengaji.
Jawab kiai itu, “Mad, kau murtad. Pertanyaan-pertanyaan demikian tidak layak dilontarkan.”
Jawaban itulah yang membuat Tabrani sering bolos mengaji. Lalu memilih sering keluyuran mencari jangkrik.
Berbekal nasihat para kiai dan ayahnya, Muhammad Tabrani terus mengejar pendidikan dan membina patriotisme. Ia tidak mau terjebak fanatisme.
Ketika menjadi anggota Jong Java, ia pun tidak mau hanya mementingkan Jawa-Madura. Ia memikirkan keindonesiaan. Memikirkan persatuan Indonesia, Indonesia Raya.
Oohya! Baca juga ya: Bukan Sin Po yang Memuat Pertama Kali Lagu 'Indonesia Raya', Melainkan Koran di Bandung
Mengenai pemikiran ini, Tabrani pun mengaku harus berkonsultasi kepada Satiman Wirjosandjojo. Satiman adalah pendiri Tri Koro Darmo, organisasi yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java.
Maka di Jong Java pun muncul kubu memperjuangkan Indonesia Raya virsus mengutamakan Jawa-Madura. Untuk memperjuangkian Indonesia Raya, Tabrani merasa perlu adanya bahasa yang dipakai oleh bangsa Indonesia, agar tidak selalu berpikir dengan bahasa Belanda.
Maka, ia pun mencetuskan nama bahasa Indonesia. Perdebatan pun muncul di koran Hindia Baroe sejak awal 1926. Banyak yang mendukung nama ini, namun ada juga yang menentangnya.
Oohya! Baca juga ya: Inilah Kronologi Munculnya Nama Bahasa Indonesia pada 1926. Tabrani Pencetusnya
Tabrani terus melangkah. Ketika Muh Yamin merumuskan naskah ikrar pemuda di Kongres Pemuda Indonesia Pertama bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Melayu, Tabrani menentangnya.
Akibatnya, ikrar pemuda yang seharusnya dibacakan di Kongres Pemuda Indonesia Pertama itu, batal dibacakan. Tidak ada kesepakatan mengenai nama bahasa persatuan.
Kesepakatannya, ikrar pemuda itu dibawa ke Kongres Pemuda Indonesia Kedua.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Anak Nakal Banyak Akal karya M Tabrani (1979)
- Hindia Baroe 1926