Santri Ini Jadi Bupati Grobogan Pertama yang Bergelar Haji, Sejak Zaman Mataram Bupati Grobogan Bergelar Raden
Grobogan diperintah oleh bupati bermula pada 1749 ketika masih di bawah Mataram. Tentu saja bupati pertama ini seorang raden, yaitu Adipati Martopuro.
Sampai tahun 1864 ada sembilan bupati setelah Adipati Martopuro. Semuanya raden.
Ketika Grobogan berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, bupati pertamanya pada 1864 juga raden, yaitu Mertohadinegoro. Sampai 1954 ada sembilan bupati setelah Bupati Mertohadinegoro, semuanya juga raden.
Oohya! Baca juga ya:
Baru pada 1955, ada bupati Grobogan yang bukan dari kalangan raden. Ia santri NU, dari Sulawesi Selatan, sudah haji.
Namanya Andi Patoppoi. Ada yang menulis H Andi Patoppoi, ada yang menulis KH Andi Patoppoi.
Dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah sebagai bupati Grobogan pada Maret 1955. Tepatnya Rabu, 2 Maret 1955. Andi Patoppoi kemudian menjadi ketua Partai NU Grobogan.
Oohya! Baca juga ya:
Papeda Jadi Google Doodle, Ternyata di Masa Lalu Orang Jawa Juga Makan Papeda dengan Garang Asem
Sebelum menjadi bupati Grobogan, Andi Patoppoi sudah terlibat dalam penanganan masalah kusta di Jawa Tengah. Ia adalah ketua Jajasan Penolong Pemberantasan Kusta.
Andi Patoppoi pernah menjadi ketua Dewan Daerah Sulawesi Selatan. Namanya ada yang menulis Patoppoi (p dobel), ada juga yang menulis Pattopoi (t dobel). Ia adalah kakek dari Andi Mallarangeng dan Rizal Mallarangeng.
Saat Andi Patoppoi memimpin Grobogan, jumlah penduduknya mencapai 163.385 jiwa. Luas sawahnya 120.385 hektare.
Oohya! Baca juga ya:
Artinya, setiap penduduk hanya memiliki 0,213 hektare sawah. Penghasilannya Rp 48 ribu per tahun. Daerah yang sangat minus.
T Wedy Utomo, penulis buku Ki Ageng Selo, di pengantar buku itu menyinggung soal kondisi minus Grobogan. Kata dia, “Sebelum ada Pelita, bertahun-tahun lamanya daerah Kabupaten Grobogan yang beribu kota Purwodadi terkenal sebagai daerah ‘Kelas Kambing di Jawa Tengah.”
Pelita adalah Pembangunan Lima Tahun program pembangunan yang dicanangkan oleh Orde Baru. T Wedy Utomo pun menjelaskan penyebab Grobogan disebut sebagai daerah kelas kambing itu.
Oohya! Baca juga ya:
Ada yang Menjengkelkan dan Menggelikan dari Bahasa Media Massa Daring, FBMM Membahasnya
“Kalau kebetulan musim kemarau datang, kota Purwodadi dan sekitarnya kekeringan. Sebaliknya ketika musim hujan, daerahn tersebut selalu menderita kebanjiran,” lanjut T Wedy Utomo.
Maka, Grobogan hanya menjadi pembicaraan publik jika ada bencana di Grobogan. Namun setelah ada Pelita, berangsur-angsur Grobigana membaik kondisinya, tidak kelas kambing lagi.
Masyarakat Grobogan pun memiliki kebanggaan terhadap daerahnya. Hal itu, kata T Wedy Utomo, digambarkan lewat pantun: Purwodadi kotane, sing dadi nyatane. Maksudnya adalah, kendati sebutan daerah kambng masih melekat, tetapi kenyataannya tidaklah demikian.
Oohya! Baca juga ya:
Pada saat T Wedy Utomo menyusun buku Ki Ageng Selo, Grobogan saat itu dipimpin oleh Bupati Sugiri (1974-1986). Dia adalah bupati ketiga yang bergelar haji, tetapi dari kalangan militer. Bukan dari kalangan santri.
Sebelum Sugiri ada enam bupati setelah Patoppoi. Ada tiga yang bergelar raden, ada satu yang bergelar haji.
Bupati yang satu lagi, menjabat pada 1974-1967, tidak raden tidak haji.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- De Locomotief, 10 Agustus 1955
- Indische Courant voor Nederland, 5 Maret 1955
- Ki Ageng Selo karya T Wedy Utomo (1983)
- Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Grobogan (1990/1991)