Kendeng

Ada Bupati Grobogan Keturunan Mertohadinegoro yang Hidupnya Berakhir Tragis Setelah Indonesia Merdeka

Bupati Grobogan (1933-1944) Soekarman Mertohadinegoro beserta istri pada 1936. Setelah Indonesia merdeka mengalami nasib tragis setelah diculik para pemuda.

Dari 1864 hingga 1944 ada lima bupati yang memimpin Grobogan, semuanya dari garis keturunan Mertohadinegoro. Soekarman, bupati terakhir dari keturunan Mertohadinegoro itu, hidupnya berakhir tragis.

Pada 1864, pemerintah kolonial meningkatnya status Grobogan menjadi kabupaten, pusat pemerintahan dipindah ke Purwodadi. Mertohadinegoro menjadi bupati selama 11 tahun, pada 1864-1875.

Oohya! Baca juga ya:

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Papeda Jadi Google Doodle, Ternyata di Masa Lalu Orang Jawa Juga Makan Papeda dengan Garang Asem

Joedonegoro yang merupakan menantu Mertohadinegoro ditunjuk menggantikannya selama 26 tahun, pada 1895-1901. Anak sulung Joedonegoro dianggap masih terlalu muda sehingga tidak ditunjuk untuk menggantikan ayahnya.

Pemerintah kolonial lalu menunjuk menantu Joedonegoro, Hardjokoesoemo, sejak Januari 1902. Menjadi bupati Grobogan hingga 1909, Hardjokoesoemo digantikan oleh keponakannya, yaitu Soenarto pada Maret 1909.

Oohya! Baca juga ya:

Begini Pidato yang tak Terucap dari Bupati Grobogan Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Batal Berkunjung

Pada Juli 1933, Soenarto digantikan oleh Soekarman, yang masih sepupu Soenarto. Soekarman memakai nama lengkap, Soekarman Mertohadinegoro. Ia menjadi bupati hingga 1944.

Soekarman juga dipuji pers sebagai bupati yang cakap memimpin Grobogan. Pada masa kepemimpinannya, ada gubernur jenderal yang berkunjung ke Grobogan.

Sepanjang sejarah Grobogan, baru pada 1941 ada seorang gubernur jenderal Hindia Belanda mengunjungi Grobogan. Gubernur Jenderal Tjarda mengunjungi pusat pembuatan garam darat Grobogan di Bleduk Kuwu dan Banjarsari.

Oohya! Baca juga ya:

Begini Suasana di Grobogan Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Datang Berkunjung

Keluarga besar Mertonegoro memang dikenal sebagai keluarga amtenar. Tidak hanya bertugas di Grobogan, melainkan juga di daerah lain.

Pun tidak semua menjadi bupati. Ada juga hanya hanya sampai wedana kariernya.

Reksohadiprodjo, anak Mertohadinegoro, menjadi patih di Demak. Anak Reksohadiprodjo, Rawoeh Reksohadiprodjo, diangkat oleh Jepang menjadi bupati Pekalongan, lalu pada 1948 menjadi bupati Demak.

Soenarto menjadi bupati yang mencapai puncak karier tertinggi dibandingkan dengan yang lainnya. Ia diberi pangkat tertinggi, pangeran (sebelumnya mendapat adipati). Ia lalu diberi hak menggunakan songsong emas (payung kebesaran berlapis emas).

Oohya! Baca juga ya:

Dua Pasangan Capres-Cawapres Sudah Daftar ke KPU, Ini Makna Motif Kain Tenun yang Dikalungkan kepada Mereka

Pada 1933 ia mengundurkan diri, lalu menikmati hari tua di Salatiga. Namun pada 1936 ia mengalami strok dan meninggal pada Selasa 21 Januari 1936 pagi (26 Syawal 1354 H). Dikuburkan di Desa Ngembak, Purwodadi.

Hardjokoesoemo juga meninggal karena strok. Pada Jumat 11 Februari 1909 malam mengalami strok, Hardjokoesoemo meninggal pada Sabtu 12 Februari 1909 malam. Dikuburkan di TPU Bergota, Semarang.

Bagaimana dengan Soekarman? Ia selesai tugas di Grobogan pada 1944, lalu ditugasi menjadi bupati Semarang.

Oohya! Baca juga ya:

Menjadi Bupati Grobogan Selama 24 Tahun, Soenarto Mendapat Pangkat Pangeran dan Penghargaan Songsong Emas

“Baik di masa Jepang maupun masa Republik, para bupati mengalami banyak penghinaan dan menanggung segala sesuatu dengan pasrah. Hanya motif untuk mengabdi kepada rakyatlah yang menghalangi banyak bupati untuk meninggalkan jabatannya,” tulis pembaca De Locomotief yang menggunakan nama samara Indonesisch Lezer.

Setelah memberikan pernyataan itu, ia lalu menggugah perhatian pembaca untuk memperhatikan nasib tragis yang dialami bupati. Ia lalu menyinggung nasib Bupati Semarang dan anaknya yang diculik para pemuda di zaman yang disebut Belanda sebagai Masa Bersiap.

 

“Dalam konteks ini, saya ingin menarik perhatian khusus atas meninggalnya secara tragis Bupati Semarang yang terakhir, RAA Soekarman Mertohadinegoro yang diculik oleh "para pemuda" pada masa Bersiap bersamaan dengan putranya. Sejauh ini belum diketahui nasib bupati tersebut dan diduga dibunuh. Putranya kini menetap di Yogyakarta selama menyelesaikan studinya,” tulis Indonesisch Lezer (Pembaca Indonesia).

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- De Koerier, 22 Januari 1936
- De Locomotief, 11 Juli 1933, 27 Desember 1947
- De Nieuwe Vorstenlanden, 26 September 1902
- Koloniaal Verslag 1908

Berita Terkait

Image

Bahasa dan Dasar Kebangsaan Indonesia

Image

Gara-gara Yamin, Peserta Kongres Pemuda Dikira dari Seluruh Indonesia

Image

Apakah Peserta Kongres Pemuda Indonesia Datang dari Seluruh Indonesia?