Begini Pidato yang tak Terucap dari Bupati Grobogan Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Batal Berkunjung
Persiapan di Grobogan sudah matang. Rombongan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer sudah ada di Semarang.
Ribuan warga sudah bersiap memadati Purwodadi, Jono, dan Bleduk Kuwu pada Sabtu, 18 Maret 1939. Mereka antusias menyambut tamu agung yang belum pernah datang sebelumnya.
Belum pernah ada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang berkunjung ke Grobogan. Padahal, keputusan yang diambilnya juga berpengaruh besar pada kehidupan penduduk Grobogan.
Oohya! Baca juga ya: Pemimpin Koreri Ini Orang Asli Papua tetapi Bernama Bin Damai, Mengapa Belanda Tangkap Dia?
Maka, ketika Gubernur Jenderal Tjarda berencana berkunjung, persiapan pun dilakukan dengan gegap gempita. Gerbang kehormatan dibangun khusus di pintu masuk kabupaten untuk menyambut Gubernur Jenderal.
Gapura itu dihias dengan berbagai tanaman hijau, produk pertanian, dan bendera. Tentu saja disertai aneka ragam dekorasi.
Di Wirosari di persimpangan jalan ke arah Kuwu dipasang mahkota besar. Posisi persimpangan ini sekitar lima kilometer sebelum mencapai Bleduk Kuwu.
Oohya! Baca juga ya: Papua Selatan, Mengapa tidak Memakai Nama Irian Selatan yang Memiliki Makna Bagus dalam Bahasa Marind?
Pada Sabtu pagi, anak-anak sekolah sudah berbaris menyambut kedatangan Gubernur Jenderal. Masyarakat luas juga dikerahkan untuk memadati pinggir-pinggir jalan yang akan dilalui Gubernur Jenderal.
Mereka juga sudah bersiap di Bleduk Kuwu dan Jono. Namun, mereka harus memendam kecewa.
Sabtu dini hari, kota Purwodadi dilanda banjir. Banjir mulai datang pukul 03.00. Pukul 06.00, banjir sudah setinggi 60 sentimeter.
Oohya! Baca juga ya: Membahas Usulan Nama Lokal untuk Nederlandsch Nieuw Guinea, Belanda Tolak Nama Irian
Kabar pun segera dikirim ke Semarang untuk memberi tahu Gubernur Jenderal. Karena Purwodadi banjir, maka Gubernur Jenderal batal mampir Grobogan.
Untuk bisa mencapai Jono dan Kuwu, dari Semarang Gubernur Jenderal harus masuk ke Purwodadi dulu. Lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Dari Semarang Gubernur Jenderal langsung berangkat ke Cepu. Dari Cepu sebenarnya bisa balik ke barat menuju Kuwu. Namun, Gubernur Jenderal tidak memilih rencana ini.
Agenda kunjungan ke Grobogan diundur. Padahal, Bupati Grobogan sudah menyiapkan pidato mengenai produksi garam darat Grobogan di Jono dan Kuwu.
Di awal abad ke-20, produksi garam darat di Grobogan dibatasi hanya 34 pikul per tahun. Pada 1911 diperbolehkan mencapai 40 pikul. Satu pikul setara dengan 60 kilogram.
Ada 10 desa yang memproduksi garam darat di Grobogan. Pada 1938, produksinya mencapai 458.539 kilogram. Jumlah itu lebih rendah dari produksi 1937 yang mencapai 476.179 kilogram.
Oohya! Baca juga ya: Beda Musim Tanam Padi Masyarakat Dayak dan Jawa
Akibat kunjungan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang batal itu, koran berbahasa Belanda melaporkan betapa kecewanya masyarakat Purwodadi-Grobogan. Mereka telah lama menunggu kunjungan Gubernur Jenderal.
Karena tidak jadi membacakan pidato, Bupati Grobogan RAA Soekarman lantas mencetak pidatonya itu. Ia menyebut, produksi garam darat sudah terjadi sejak abad ke-6. Ia mengutip pendapat para sejarawan yang mengutip buku-buku Cina yang terbit di abad ke-6 dan ke-7.
Di Bleduk Kuwu, garamdibuat dari air asin yang keluar bersama lumpur yang meletup. Di Jono dan desa lainnya, garam dibuat dari air asin yang keluar dari sumur.
Oohya! Baca juga ya: Puan Maharani Tanam Padi dengan Berjalan Maju, Masyarakat Dayak Iban Pun Begitu. Apa Bedanya?
Air asin dijemur di wadah dari bilah bambu. Disebut klakah. Jika sudah menjadi garam, kulit kelapa dipakai untuk mengeriknya.
Garam hasil kerikan diwadahi kukusan yang ditaruh di atas kuali. Dengan cara ini uap airnya menetes ke kuali. Pemerintah menarik pajak sebesar 1,5 gulden dari setiap petani.
Menurut Soekarman ada 4.600 petani yang menggantungkan kehidupannya dari produksi garam. Di luar keluarga mereka, ada keluarga lain yang juga mendapat keuntungan dari prloduksi garam darat ini.
Oohya! Baca juga ya: Di Sulawesi, Kopi Disangrai Dicampur dengan Jahe. Ini Alasannya
Ada penjual kulit kelapa, yaitu alat untuk mengerik garam dari klakah. Tentu saja ada pemilik bambu dan penjual bambu, karena bambu dibutuhkan untuk klakah.
Menurut Bupati, ada penjualan ribuan bambu setiap tahunnya untuk digunakan sebagai rak-rak pengeringan. Ada pula tukang gerobak yang harus mengangkut produksi garam mereka.
“Yang Mulia, dinas terkait telah berupaya berkali-kali untuk menghentikan penambangan garam yang sudah berlangsung lama ini. Namun, untungnya, tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang,” ujar Bupati Soekarman.
Penghapusan hak penambangan garam ini, menurut Bupati, akan memperbesar angka kemiskinan. Akhirnya, bisa mengganggu kehidupan perkonomian kabupaten.
“Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Urusan Ekonomi, penduduk desa-desa garam ini akan menderita karena kehilangan pendapatan lebih dari 172 ribu gulden per tahun jika hak penambangan mereka dicabut,” kata Soekarman.
Oohya! Baca juga ya: Dari 5,5 Juta Hektare Hutan Sagu, Apakah Semua Ada di Papua dan Maluku?
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda baru bisa berkunjung ke Grobogan pada 25 Juni 1941. Dari menghadiri acara Konferensi Bupati di Surabaya, ia mampir ke Grobogan untuk melihat produksi garam darat Grobogan di Bleduk Kuwu dan Banjarsari.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Bataviaasch Nieuwsblad, 1 Juli 1941
Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie, 14 Februari 1939, 20 Maret 1939
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]