Egek

Papeda Jadi Google Doodle, Ternyata di Masa Lalu Orang Jawa Juga Makan Papeda dengan Garang Asem

Mencicip papeda di pantai Manokwari dengan pemandangan Pulau Mansinam.

Papeda menjadi makanan buruk di mata orang-orang Belanda. Pemuda-pemuda Ambon yang direkrut menjadi tentara Belanda, mereka makan papeda, tetapi dianggap tidak cukup gizi oleh orang Belanda.

Pada tahun 1950-an, orang-orang Ambon yang tinggal di Belanda juga masih mengonsumsi papeda. Namun, orang-orang Ambon dianggap kekurangan kalsium dan vitamin C.

Penyebabnya karena tidak mau meninggalkan papeda sebagai makanan pokok. Tentu saja, bukan karena itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Pernah Ada Lomba Menulis tentang Sagu, Satu Pohon Sagu Cukup untuk Makan Setahun

Melainkan karena mereka tidak minum susu dan makan kentang. Ini dianggap sebagai kelemahan orang Ambon di Belanda.

Tepung sagu tidak hanya diolah sebagai papeda. Bisa juga dibuat bagea asin dan bagea manis. Bisa juga dibuat sagu mutiara.

Untuk menyantapnya, bisa diberi santan. Atau beri gula aren. Atau beri kuah ikan kering, sejenis sup.

Oohya! Baca juga ya:

Dua Pasangan Capres-Cawapres Sudah Daftar ke KPU, Ini Makna Motif Kain Tenun yang Dikalungkan kepada Mereka

Sagu juga bisa dipakai untuk camilan ataupaun sarapan. “Tepungnya dicampur dengan parutan kelapa atau potongan isang mas matang atau pisang raja matang. Saat dipanggang, diolesi gula aren. Dan seseorang memiliki makanan yang tidak bisa dibenci,” tulis De Nieuwe Vorstenlanden, koran yang terbit di Solo.

Namun, yang paling sederhana cara pembuatannya adalah papeda. “Cara menyiapkannya cukup dengan menuangkan air panas ke tepung sagu. Terus diaduk hingga menjadi pasta bening,” tulis koran itu.

Oohya! Baca juga ya:

Papeda Jadi Google Doodle, Apa Kata Anak-Anak Muda Adat Tanah Papua?

Papeda yang menjadi makanan pokok orang Ambon dan Papua ini ternyata dikonsumsi juga oleh orang Jawa. Koran yang terbit di Solo itu, pada 1919 menulis resep papeda yang dikonsumsi orang Jawa.

Bagaimana orang Jawa menyantapnya? “Di Jawa bisa dimakan dengan garang asem,” kata koran itu.

Ketika di Minahasasi terjadi kekurangan pangan pada 1910-an, orang Minahasa disarankan makan papeda sebagai pengganti nasi beras. Namun, orang Minahasa masih enggan makan papeda. Mereka juga tidak mau makan ubi.

Oohya! Baca juga ya:

Menjadi Bupati Grobogan Selama 24 Tahun, Soenarto Mendapat Pangkat Pangeran dan Penghargaan Songsong Emas

Mereka menyebut umbi-umbian adalah makanan babi. Mereka tetap mengupayakan nasi, tetapi dikonsumsi secara irit. Tapi kini, di bubur manado selalu ada sayur-sayuran dan umbi-umbian.

Caranya, mereka mencampur nasi beras dengan nasi jagung. Jika beras sudah habis, baru mereka hanya makan nasi jagung, tanpa dicampur nasi beras tentunya.

Jika jagung habis, baru mereka beralih ke papeda. Tapi kenyataannya, mereka tetap makan nasi jagung karena persediaannya masih ada.

Oohya! Baca juga ya:

WR Supratman Terbirit-birit Lapor Bos di Loteng, Gembira Lagu ‘Indonesia Raya’ Diterima di Kongres Pemuda

Nasi beras dicampur nasi jagung, dinilai lebih bergizi dan murah. “Lebih bergizi dibandingkan nasi beras saja, apalagi jika dikukus dalam kukusan diberi sedikit santan,” tulis koran itu.

Penulis di koran itu mengetahui hal itu karena ia telah terjadi bencana kelaparan di Minahasa. Maka praktik ini juga diusulkan diberlakukan di Jawa jika terjadi paceklik.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- De Locomotief, 28 Maret 1917
- De Nieuwe Vorstenlanden, 25 Januari 1919, 20 November 1919
- De Volkskrant, 9 Mei 1958