Pitan

Ada yang Menjengkelkan dan Menggelikan dari Bahasa Media Massa Daring, FBMM Membahasnya

Bahasa di media massa daring didiskusikan. Agus Sri Danardana (kiri) dan Willy Pramudya (tengah) menjadi pembicara. Uksu Suhardi, ketua umum FBMM, menjadi moderator.

Saat ini terjasi pembunuhan jurnalisme. Demikian Willy Pramudya, anggota Komisi Etik Aliansi Jurnalis Independen, dalam diskusi di PDS HB Jassin, TIM, Jakarta, Kamis (19/10/2023) sore.

Diskusi diadakan oleh Forum Bahasa Media Massa (FBMM) dan PDS HB Jassin. Tema yang dibahas adalah “Bahasa Media Massa Darin g Kita”.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Willy yang juga merupakan editor itu menyebut, media massa daring begitu banyak jumlahnya. Menurut Dewan Pers, kata dia, mencapai 43 ribu. Namun, baru ratusan yang mendapat verifikasi.

Oohya! Baca juga ya:

Menjadi Bupati Grobogan Selama 24 Tahun, Soenarto Mendapat Pangkat Pangeran dan Penghargaan Songsong Emas

Fenomena itu muncul denan adanya jaringan media massa daring. “Bikin media selama satu tahun, berita apa saja, boleh nyolong, yang penting satu hari ada sekian berita. Nyolong sana nyolong sini. Bahasa ngawur, terjemahan juga ngawur,” kata Willy.

Praktik media seperti ini menunjukkan bahwa rekrutmen tidak dibarengi dengan pendidikan yang intensif. Pendidikan itu mencakup pendidikan jurnalistik dan pendidikan bahasa.

Menurut Willy, berita adalah informasi yang diolah memakai ilmu jurnalistik. Namun, hal itu tidak penting lagi bagi banyak pengelola media massa daring yang mengandalkan konten demi mendapatkan penghasilan dari Google AdSense.

Oohya! Baca juga ya:

WR Supratman Terbirit-birit Lapor Bos di Loteng, Gembira Lagu ‘Indonesia Raya’ Diterima di Kongres Pemuda

Munculnya banyak media daring, menurut Willy, memiliki dua alasan. Pertama, karena ingin mendapatkan penghasilan dari Google AdSense; Kedua, karena ingin menyampaikan ekspresi diri dan komunitasnya.

Dengan rendahnya pelatihan jurnalistik dan bahasa Indonesia itu, membuat berita-berita di media massa daring membuat orang tertawa tetapi sekaligus jengkel. Bahasanya kacau, tetapi bisa membuat orang tertawa geli.

Agus Sri Danardana, peneliti ahli madya bahasa BRIN, menyebut banyak kelucuan di dalam bahasa media massa daring. “Tewas terjepit kursi mobil, remaja ini kirim pesan haru untuk ibunya,” ujar Danardana, membacakan sebuah judul berita di media massa daring.

Judul berita itu kacau secara logika. Bagaimana mungkin sudah meninggal bisa mengirim pesan? Tapi, orang bisa tertawa setelah membacanya.

Ada lagi: “Sejak Dinikahi Atta Halilintar, Anang Hermansyah Belum Ketemu Aurel”. Hah? Atta menikahi Anang?

Lalu ia menunjukkan contoh lagi. “Edarkan sabu, polisi tangkap anggota ormas di Bali,” kata dia. Maksudnya polisi yang mengedarkan sabu?

Contoh lain yang ia bacakan: “Cowok Tambun Mati di Selokan, Identitas Nggak Ada, Ditanya Diam Aja, Polisi Jadi Sibuk Cari Pembunuhnya”.

Oohya! Baca juga ya:

Selama 80 Tahun Grobogan Dipimpin oleh Bupati dari Dinasti Mertohadinegoro, Ini Jadi Contoh Dinasti Politik

Danardana lalu menyingung prinsip keringkasan dalam bahasa jurnalistik yang dipakai di media cetak. Prinsip itu tidak ada lagi di media massa daring. Bahkan, judul di media massa daring pun sekarang adalah kalimat.

Menurut Willy, memang media tidak bisa disalahkan 100 persen. Sebab, di kampus pun banyak doktor juga tidak peduli bahasa. Mahasiswa yang mereka ajar setelah lulus terjun ke dunia media.

Menurut Danardana, perlu silaturahmi lalu menunjukkan secara baik-baik kekeliruan dalam berbahasa. Ia kurang setuju dengan sebutan polisi bahasa untuk orang-orang yang menunjukkan kesalahan berbahasa di media massa daring. Sebab, kata Danardana, polisi dikesankan menakutkan. 

Ma Roejan

Berita Terkait

Image

Siapa Budak yang Jadi Pahlawan Nasional di Indonesia?

Image

Cerita Badi

Image

Begini Cara Cegah Barang Cina tidak Standar Masuk Indonesia