Sejak Kapan Kita Mengenal Benang Merah?

Oleh Abdullah Muzi Marpaung, dosen teknologi pangan Universitas Swiss German yang memiliki minat yang tinggi terhadap bahasa dan sastra Indonesia dan merupakan narasumber Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk penyusunan istilah Ilmu dan Teknologi Pangan
Kita seperti akrab dengan istilah benang merah. Ia kerap digunakan untuk menggambarkan gagasan utama atau pola yang menghubungkan berbagai peristiwa.
Definisi bakunya di KBBI ialah sesuatu yang menghubungkan beberapa hal (faktor) sehingga menjadi satu kesatuan. Sejak kapan istilah ini kita gunakan dan dari mana asalnya?
Ternyata, istilah benang merah jarang ditemukan dalam pustaka lama. Hanya tiga sumber yang berhasil dilacak: pertama, artikel "Wedjangan-Wedjangan Revolusi" di majalah Warta Perdagangan (1965); kedua, buku Negara dan Revolusi (1961); dan yang tertua, laporan seminar sejarah di Yogyakarta (1958).
Sementara itu, pencarian dalam kamus-kamus lama—baik Melayu-Belanda maupun Melayu-Inggris—tak membuahkan hasil. Tak satu pun kamus mencantumkan benang merah. Bahkan Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta (1954), rujukan utama kamus modern Indonesia, pun tidak memuatnya.
Dalam sebuah artikel di platform blog dan media komunitas, benang merah disebut berasal dari istilah Belanda de rode draad. Idiom ini banyak dijumpai dalam pustaka-pustaka Belanda dan diartikan sebagai tema yang terus muncul kembali (dalam sebuah cerita), sebuah garis yang menghubungkan segalanya, atau bagian penting dari alur atau jalan cerita dalam sebuah buku, film, atau serial televisi.
Salah satu kemunculan paling awal dari de rode draad ialah pada artikel di harian yang terbit di Semarang, De Locomotief , Senin 29 April 1878. Akan tetapi, istilah ini pun bukan berasal dari bahasa Belanda.
Woordenboek der Nederlandsche Taal (WNT) tahun 1916 mencatat bahwa istilah de rode draad berasal dari tali kapal Angkatan Laut Inggris, yang dijalin dengan benang berwarna (merah, putih, dan biru) sebagai tanda kepemilikan. Boleh jadi karena itu di tahun 1950, pakar bahasa Belanda Karel Cornelis Ter Laan mengatakan bahwa istilah ini berasal dari bahasa Inggris.
Namun, tidak ditemukan red thread dalam bahasa Inggris, melainkan red tape, yang merujuk pada pita merah yang digunakan dalam administrasi publik untuk mengarsipkan dokumen. Pita merah ini menandai dokumen yang akan diarsipkan dalam tahun berjalan. Istilah red-tapism, yang menggambarkan birokrasi, kemudian dipopulerkan oleh Dickens dan Carlyle.
Menurut Grebe dalam Duden Etymologie (1963), Goethe – sastrawan dan filsuf Jerman – adalah orang pertama yang memperkenalkan konsep benang merah dalam bagian kedua novelnya Die Wahlverwandtschaften (1809). Kemudian diterjemahkan menjadi de rode draad dalam bahasa Belanda.
Dalam novel tersebut, Goethe menggambarkan bagaimana suatu gagasan utama dapat menjadi penghubung dalam serangkaian pemikiran atau peristiwa. Ia menulis bahwa dalam Angkatan Laut Inggris, semua tali-temali dibuat dengan benang merah (ein roter faden) yang tidak dapat dihilangkan tanpa merusak tali tersebut, sehingga tetap dapat diidentifikasi sebagai milik kerajaan.
Namun, tidak ada bukti historis yang mendukung pernyataan Goethe mengenai penggunaan tali dengan benang merah dalam Angkatan Laut Inggris. Goethe sendiri tidak pernah melihatnya secara langsung, melainkan hanya mendengar cerita tersebut. Meski demikian, konsep ini berkembang menjadi metafora yang kuat untuk tema utama yang menghubungkan berbagai elemen dalam suatu narasi atau pemikiran.
Ungkapan ini kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia, diperkirakan sejak awal kemerdekaan, namun tampaknya lebih banyak digunakan dalam bahasa percakapan. Hal ini didukung oleh minimnya kemunculan istilah benang merah dalam dokumen berbahasa Indonesia.
Hingga setidaknya tahun 2008, istilah ini belum diakui sebagai kosakata baku dalam bahasa Indonesia.
