Di Atas Angin dan Di Bawah Angin

Oleh Abdullah Muzi Marpaung, dosen Teknologi Pangan Universitas Swiss German, narasumber Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk penyusunan istilah Ilmu dan Teknologi Pangan.
Sebagai bangsa pelaut, orang Melayu akrab dengan berbagai unsur alam yang memengaruhi pelayaran, seperti angin. Mereka mengembangkan puluhan istilah yang menyertakan kata angin, seperti bara angin, cakap angin, kepala angin, main angin, pokok angin, dan tahi angin. Sebagian istilah tersebut masih bertahan hingga sekarang, sebagian lainnya tak lagi digunakan.
Sepasang istilah yang menarik untuk diceritakan ialah di atas angin dan di bawah angin. Kedua istilah tersebut muncul pada banyak kamus lama, baik kamus Melayu-Inggris (Marsden 1812; Crawfurd 1852; Wilkinson 1901), Melayu-Belanda (Werndly 1736; Van Eysinga 1855; Pijnappel 1863; Von de Wall 1877); Klinkert 1902; ), maupun Melayu-Perancis (1873).
Pada umumnya di atas angin dipadankan dengan windward dalam bahasa Inggris dan loef dalam bahasa Belanda yang berarti sisi (kapal atau perahu) yang menghadap ke arah datangnya angin dan sisi atau arah asal angin bertiup. Sebaliknya, di bawah angin diartikan dengan leeward dalam bahasa Inggris dan liij dalam bahasa Belanda yang berarti sisi yang terlindung dari angin atau sisi yang berlawanan dengan arah datangnya angin.
Dalam konteks perarian yang biasa diarungi orang Melayu, biasanya di atas angin adalah sisi barat dan di bawah angin adalah sisi timur dari kapal. Oleh karena itu, dalam beberapa kamus – contohnya kamus Crawfurd (1852) dan Richard (1873) – di atas angin juga diartikan sebagai barat, sedangkan di bawah angin diartikan sebagai timur.
Kedua istilah tersebut juga memiliki makna geografis. Di atas angin dalam kamus Crawfurd (1852) diartikan pula sebagai negeri yang berada di sebelah barat Semenanjung Melayu, seperti India, Persia, dan Arabia. Di bawah angin merujuk kepada negeri-negeri yang berada di sebelah timur ujung Aceh, semenanjung Melayu dan pulau-pulau di sekitarnya.
Istilah geografis yang digunakan pada kamus Eysinga (1855) ialah tanah di atas angin dan tanah di bawah angin. Pada kamus Klinkert (1901, 1916) semua wilayah di sebelah barat Sumatra disebut dengan di atas angin, sedangkan yang berada di sebelah timur disebut dengan di bawah angin.
Istilah di atas angin dengan arti barat atau sisi asal angin bertiup dan di bawah angin dengan arti timur atau sisi yang berlawanan dengan arah datangnya angin tak lagi dijumpai pada kamus bahasa Indonesia. Paling tidak sejak kamus Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1954).
Yang kini terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbaru ialah negeri atas angin yang berarti negeri-negeri yang dipandang sebagai asal angin (India, Iran, Arab, dan Eropa); bawah angin yang berarti sebutan untuk negeri-negeri yang tidak termasuk di dalam kawasan negeri atas angin, merujuk ke wilayah Sumatra sampai Maluku pada masa perdagangan kuno di Nusantara; dan negeri bawah angin yang berarti kepulauan Indonesia. Ketiganya disebutkan sebagai ragam klasik atau kata yang digunakan dalam kesusastraan Melayu klasik.
Keterangan pada KBBI ini tidak dapat dikatakan sama dan sebangun dengan deskripsi pada kamus-kamus lama yang dengan jelas menyebutkan Sumatra atau Semenanjung Melayu sebagai acuan untuk memisahkan wilayah di atas angin dengan wilayah di bawah angin. Karena itu, Badan Bahasa sebaiknya meninjau kembali definisi dalam KBBI agar lebih selaras dengan sumber historis dan pemakaian dalam kamus lama.
Selain ketiga istilah tersebut, KBBI juga mencantumkan di atas angin, sebuah idiom yang berarti berada dalam posisi menguntungkan, lebih baik, atau dalam keadaan berjaya. Idiom ini tergolong relatif baru dan belum tercantum setidaknya hingga KBBI edisi 2009.
