Kendeng

Selama 80 Tahun Grobogan Dipimpin oleh Bupati dari Dinasti Mertohadinegoro, Ini Jadi Contoh Dinasti Politik

Menara air minum di Smpang Lima Purwodadi. Purwodadi-Grobogan sering mengalamai kemarau panjang. Selama 80 tahun masa sulit, Grobogan dipimpin oleh lima bupati dari satu keluarga.

Selama pelaksanaan kerja paksa dan tanam paksa, masyarakat Grobogan dan Demak mengalami kesengsaraan. Masyarakat di daerah lain juga mengalami kesengsaraan, tetapi tidak separah di Grobogan dan Demak.

Di Kendal misalnya, yang meninggal akibat kelaparan dan penyakit juga ada. Ketika Soenarto diangkat menjadi camat di Weleri, Kendal, pada 1903, ia mulai mengenalkan lumbung desa.

Lumbung desa ini pula yang kemudian ia kenalkan juga di Grobogan, ketika ia diangkat menjadi Bupati Grobogan pada 1909. Ia menjadi bupati Grobogan hingga 1933, dari keluarga dinasti politik KRA Martohadinegoro.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Kisruh Batas Usia Capres-Cawapres, Bagaimana Panitia Perancang UUD Dulu Membahas Syarat Capres-Cawapres?

Grobogan semula di bawah pengawasan Kabupaten Demak, sehingga asisten rasiden yang diangkat membawahi Demak dan Grobogan. Pada 1860, Asisten Residen Demak Grobogan dimutasi tanpa alasan yang jelas, kendati memiliki prestasi bisa memperbaiki keadaan setelah bencana kelaparan.

Munculnya bencana kelaparan itu, menurut catatan Prof Gongrijp, terjadi karena kekeringan dan banjir yang selalu menggagalkan panen. Penduduk Grobogan hanya mengandalkan padi.

Kondisinya diperparah oleh kerja paksa dan tanam paksa, membuat penduduk semakin tidak memiliki penghasilan. Mereka dipaksa bekerja tanpa upah.

Penyelesaiannya bukan membuat saluran irigasi, melainkan mengadakan tanam paksa tembakau. Namun teryata juga gagal panen tambakau.

“Gagal panen yang parah mengakibatkan kelaparan di Demak dan Grobogan,” tulis Gongrijp seperti dikutip De Locomotief.

Oohya! Baca juga ya:

Panas Terik, Para Murid SD di Sumba Timur Ini Harus Berjalan Kaki 20-30 Menit tanpa Payung Naik Turun Bukit

Pada saat itu, koran-koran mendesak agar Grobogan dipisahkan menjadi wilayah administrasi sendiri. Desakan itu diwujudkan oleh pemerintah kolonial.

Pada 1864 Grobogan menjadi wilayah kabupaten, dengan hanya empat kecamatan: Purwodadi, Grobogan, Wirosari, Kradenan. Bupatinya adalah Mertohadinegoro.

Pada 1 Juli 1928, bertambah dua kecamatan. Yaitu Kecamatan Manggar dan Singenikidul yang semula masuk wilayah Kabupaten Demak.

Pada September 1933 bertambah lagi dengan Kecamatan Klambu. Klambu semula masuk wilayah Kabupaten Kudus.

Pada 1933 itu, Grobogan menjadi kabupaten yang memiliki wilayah terluas kedua di Jawa Tengah. Kabupaten terluas pertama adalah Cilacap.

Di Karesidenan Semarang ada empat kabupaten: Semarang, Demak, Grobogan, dan Kendal. Yang terluas adalah Grobogan. Bagaimana urusan bupati Grobogan yang berasal dari dinasti politik?

Oohya! Baca juga ya:

Menjadi Santri di Grobogan, Santri Ki Ageng Selo Ini di Kemudian Hari Sukses Menjadi Sultan

Setelah dikuasai Belanda, Grobogan bukan lagi wilayah kerajaan. Bupatinya ditunjuk oleh Gubernur Jenderal, tetapi bupati yang ditunjuk selalu berasal dari satu dinasti. Yaitu dinasti politik keluarga Mertohadinegoro.

Itu berlangsung selama 80 tahun sejak 1864. Dari 1864 sampai 1944, tepatnya 80 tahun, bupati Grobogan adalah:

- KRA Mertohadinegoro dari tahun 1864 hingga 1875

- KRA Joedonegoro dari tahun 1875 hingga 1901

- KRAA Hardjokoesoemo pada tahun 1901 hingga 1909

- KPA Soenarto pada tahun 1909 sampai tahun 1933

- KRT Ario Soekarman dari tahun 1933 sampai tahun 1944

Oohya! Baca juga ya:

Ke Grobogan Diiringi Dua Santri, Anak Sunan Giri Bertemu dengan Anak Raja Majapahit yang Dibuangkah?

Para bupati ini selama kariernya selalu mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial. Selain kenaikan pangkat, juga ada yang diberi hak menggunakan songsong emas (payung berlapis emas).

Bahkan ada bupati yang diangkat menjadi perwira Ordo Oranye Nassau. Membela kepentingan penduduk Grobogan, tetapi mendapat penghargaan dari pemeringah kolonial?

Itu menutup kesempatan bagi mereka untuk menjadi pahlawan bagi bangsa Indonesia. Begitulah nasib dinasti politik Grobogan.

Pantas saja, dalam rapat Panitia Perancang UUD BPUPKI dulu, ada yang usul aneh. Pemimpin negara dipilih untuk kurun waktu tertentu, tetapi bisa diangkat menjadi raja selama dia bersahaja, sangat berjasa, dan sangat dicintai rakyat.

Oohya! Baca juga ya:

Mas Marco dari Wilayah Pegunungan Kendeng yang Dibuang ke Boven Digoel

Kini, lagi ribut soal batas usia capres-cawapres demi orang-orang tertentu dari dinasti tertentu bisa ikut Pilpres. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan batas usia capres-cawapres.

Tetapi MK memutuskan pejabat daerah atau yang pernah menjadi pejabat daerah bisa menjadi capres-cawapres tanpa pandang usia. Keputusan yang kemudian mfmunculksn tudingan nepotisme.

Sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, berarti sudah tidak ada peluang untuk menggugat lagi.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- De Locomotief, 4 Januari 1933, 5 Januari 1933, 13 Juni 1933, 11 Oktober 1938
- Eindverslag Over het Desa-Autonomie-Onderzoek op Java en Madoera karya FAE Laceulle (1929)
- Sejarah Hari Jadi Kabupaten Grobogan (1990/1991)

Oohya! Baca juga ya:

Membahas Usulan Nama Lokal untuk Nederlandsch Nieuw Guinea, Belanda Tolak Nama Irian

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Bupati Grobogan dan Orang-Orang Cina Serang Belanda, Begini Triknya

Image

Bupati Grobogan dan Orang-Orang Cina Serang Belanda, Begini Triknya

Image

Orang Islam Miskin Jadi Sasaran Kristenisasi di Grobogan Sejak Akhir Abad ke-19