Menjadi Santri di Grobogan, Santri Ki Ageng Selo Ini di Kemudian Hari Sukses Menjadi Sultan
Joko Tingkir lahir di Pengging, Boyolali. Nama kecilnya adalah Mas Karebet, nama yang diberikan oleh Ki Ageng Tingkir.
Ki Ageng Tingkir merupakan kakak seperguruan Ki Ageng Pengging, ayah Joko Tingkir. Saat Joko Tingkir lahir, Ki Ageng Tingkir menengoknya.
Saat itu di Desa Pengging sedang ada pergelaran wayang beber. Hujan turun lebat, membuat pergelaran itu dihentikan. Hujan reda, muncul pelangi.
Oohya! Baca juga ya: Ke Grobogan Diiringi Dua Santri, Anak Sunan Giri Bertemu dengan Anak Raja Majapahit yang Dibuangkah?
Menyaksikan hal itu, Ki Ageng Tingkir yang sedang memangku anak dari Ki Ageng Pengging lalu memberi nama bayi itu: Mas Kerebet. Karena lahir saat pergelaran wayang beber dan tampan wajahnya.
“Anak ini kelak akan menjadi orang yang tinggi derajatnya, wajahnya bersinar bagaikan pelangi,” kata Ki Ageng Tingkir.
Setelah 10 hari tinggal di Pengging, Ki Ageng Tingkir pulang ke Desa Tingkir. Namun, tak lama kemudian ia meninggal dunia.
Oohya! Baca juga ya: Santri NU Grobogan Berziarah ke Makam Cucu Raja Majapahit di Kuripan Purwodadi-Grobogan
Karena Ki Ageng Pengging berkonflik dengan Keraton Demak, Mas Karebet akhirnya juga kehilangan orang tuanya. Menjadi yatim piatu, Mas Karebet kemudian diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir, janda Ki Ageng Tingkir. Maka, di kemudian hari Mas Kerebet dikenal sebagai Joko Tingkir.
Setelah remaja, Joko Tngkir sering pergi ke gunung. Nyi AgengTingkir pun menasihatinya, agar jangan sering mencari ilmu di gunung, karena yang diajarkan di gunung masih ajaran kafir.
Ia pun kemudian pergi berkelana. Serang tujuan pertamanya, desa di perbatasan Sragen-Grobogan.
Oohya! Baca juga ya: Penyelenggara Frankfurt Book Fair (FBF) Dukung Israel Serang Palestina, Ini Pernyataan Ikapi tentang FBF 2023
Desa Serang ini kelak menjadi tempat lahir Nyi Ageng Serang, yang masih memliki garis keturunan dengan Sunan Kalijaga. Di masa Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang memimpin pasukan di wilayah Grobogan.
Di Serang, Joko Tingkir hanya betah tinggal seminggu. Ia melanjutkan perjalanan ke timur laut, menuju Desa Selo di Grobogan.
Di Selo menjadi santri Ki Ageng Selo cukup lama. Pembawaannya yang sopan dan pikirannya yang cemerlang membuat Ki Ageng Selo menyayanginya.
Dianggap sebagai cucu, Joko Tingkir sering diajak Ki Ageng Selo bepergian untuk syiar Islam. Suatu hari, pada Jumat malam, ia mengajak Joko Tingkir menyepi di gubuk.
Saat tidur, Ki Ageng Selo bermimpi bertemu Joko Tingkir di hutan. Dalam mimpinya, Ki Ageng Selo pergi ke hutan hendak menebang pohon beringin, tetapi ia melihat pohon beringin itu sudah tumbang. Joko Tingkir yang menebangnya.
Ki Ageng Selo terkejut melihat kemampuan Joko Tingkir menebang pohon beringin yang besar. Saat terkejut itu, ia pun terbangun dari tidur.
Oohya! Baca juga ya: Semangat Baru di Halte Transjakarta Bundaran HI Astra Bersama Seniman Bali Selama Sebulan
Ki Ageng Selo membangunkan Joko Tingkir yang masih tidur di sampingnya. “Apakah selama aku tidur kamu tidak pergi ke mana-mana?” tanya Ki Ageng Selo.
Joko Tingkir menjawab ia tidak pergi ke mana-mana. Ki Ageng Selo pun tercenung. Selama ini ia selalu berdoa agar memiliki keturunan yang memimpin Tanah Jawa, tetapi belum dikabulkan. Sementara anak remaja yang menjadi santrinya tidak berdoa apa-apa, tetapi diberi tanda akan menjadi pemimpin.
Ia pun meminta Joko Tingki rmembuat perapian. Api menyala, mereka lalu berbincang. Menurut Ki Ageng Selo, itu malam baik untuk merenung.
Oohya! Baca juga ya: Perlawanan Perempuan yang Paling Ampuh Itu adalah Solidaritas Persaudaraan
“Cucuku, sebelum berada di Selo, apakah dahulu pernah bermimpi? Mimpi apa saja,” kata Ki Ageng Selo.
“Dulu hamba sering pergi ke tempat para sepuh. Menuruni jurang, menaiki gunung,” ujar Joko Tingkir.
Ki Ageng Selo serius mendengarkannya. Ia tak mau menyela, Ia biarkan Joko Tingkir terus bercerita.
Oohya! Baca juga ya: Disukai Anak Senja tetapi Belum Ada di KBBI, Orang Sumba Menyebutnya Ninu, Apa Itu?
“Di Gunung Telomoyo di sebelah timur laut Ngandong, hamba mengabdi ajaran adirasa. Suatu malam hamba bermimpi kejatuhan bulan. Kemudian hamba makan bulan itu, rasanya empuk seperti biji kelapa,” ujar Joko Tingkir.
Ki Ageng Selo tetap berdiam diri. Serius menyimak.
“Setelah bulan itu habis dimakan, Gunung Telomoyo bergetar dan mengeluarkan suaranya gemuruh. Hamba tidak memberitahukan hal ini kepada siapa pun, baru kali ini karena ditanya,” kata Joko Tingkir.
Ki Ageng Selo pun menjawab agar Joko Tingkir tidak menceritakan kisah itu kepada siapa pun selain dirinya. Ia pun mengatakan jika laku tirakatnya selama ini dilimpahkan untuk masa depan Joko Tingkir juga.
“Mimpimu itu bagus sekali, aku turut berdoa agar kelak kau mendapatkan semua yang baik,” kata Ki Ageng Selo.
Mendapat jawaban itu, Joko Tingkir penasaran. Ia pun menanyakan arti mimpinya.
Oohya! Baca juga ya: Dalam Setahun Penduduk Grobogan Berkurang 90,9 Persen, Asisten Residen yang Perbaiki Keadaan Justru Dimutasi
Ki Ageng Selo tak mau menjelaskannya. Ia hanya menyebut jika mimpi Joko Tingkir itu adalah mahkota dari segala mimpi.
Ia pun menganjurkan Joko Tingkir untuk pergi ke Demak Bintoro, mengabdi kepada Sultan Patah. Ki Ageng Selo berpesan, jika kelak menjadi pemimpin di Jawa, hendaknya bersedia menyambung kekuasaan dengan anak-cucu kandung Ki Ageng Selo.
Setelah mengabdi di Keraton Demak Bintoro, Joko Tingkir pun bisa mendirikan Keraton Pajang pada 1568. Santri dari Grobogan kelahiran Boyolali itu lantas dikenal sebagai Sultan Hadiwjoyo.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku I, penerjemah Amir Rochyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Oohya! Baca juga ya: Suhu Politik Memanas, Puluhan Ribu Orang Berdemo dan Tank-Tank Tentara Dihadapkan ke Istana Merdeka, Ada Apa?
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com