Ke Grobogan Diiringi Dua Santri, Anak Sunan Giri Bertemu dengan Anak Raja Majapahit yang Dibuangkah?
Suatu hari, Amongrogo, anak Sunan Giri, pergi bersama dua santrinya yang berasal dari Cirebon, Gathak dan Gathuk. Setelah melihat sisa-sisa Istana Majapahit, mereka melanjutkan perjalanan ke barat dan tiba di sebuah hutan di wilayah Grobogan.
Untuk bisa sampai di hutan di daerah Grobogan ini, mereka telah menyeberangi lima sungai besar. Karena hari sudah sore, tidak mungkin mereka melanjutkan perjalanan.
Berjumpa dengan penduduk yang sedang memikul bambu nira, mereka bertanya. Pemikul bambu nira itu menjawab, mereka sedang berada di wilayah Kesongo di Grobogan.
Ooha! Baca juga ya: Penyelenggara Frankfurt Book Fair (FBF) Dukung Israel Serang Palestina, Ini Pernyataan Ikapi tentang FBF 2023
Pemikul bambu nira itu mengajak mereka mampir di desanya. Setiba di rumah pemikul bambu nira itu, mereka minta ditunjukkan tempat air untuk wudhu, tapi dijawab air di sekitar rumahnya tak ada yang suci karena sudah dipakai berkubang babi hutan.
Lalu pemikul bambu nira itu mencari dahan sebuah pohon, dia potong, mengucurlah air deras. Di situ mereka bisa berwudhu.
Selesai dipakai berwudhu, air itu berhenti mengucur. Amongrogo dan kedua santrinya pun menganggap pemikul bambu nira itu orang sakti.
Malam itu, setelah makan malam seadanya, mereka berbincang. Pemikul bambu nira memperkenalkan dirinya sebagai Jatipitutur, berasal dari Desa Selo yang ditugasi menjadi juru kunci Kesongo.
Oohya! Baca juga ya: Santri NU Grobogan Berziarah ke Makam Cucu Raja Majapahit di Kuripan Purwodadi-Grobogan
Di Kesongo ini ada sumur yang sering menyemburkan lumpur, tetapi tidak membawa air asin. Berbeda dengan sumur lumpur di Bleduk Kuwu yang mengalirkan air asin atau sumur-sumur di Crewek, Mendikil, Ramesan, yang mengeluarkan air asin.
Mendapat penjelasan itu Amongrogo penasaran. Bagaimana di wilayah yang jauh dari laut, ada sumur berair asin?
Jatipitutur pun berkisah, semampu yang ia ingat, sehingga ia menyatakan ceritanya akan tidak runtut. Ia pun menyebut Prabu Aji Saka yang menjadi raja Medang Kamulan dan memiliki anak seekor ular naga.
Oohya! Baca juga ya: Legenda Grobogan tentang Aji Saka dan Sumur Garam di Buku Ini Sedikit Berbeda dengan yang Ditulis De Expres
Ular naga ini mendapat tugas mengalahkan Prabu Dewatacengkar, raja Medang Kamulan sebelumnya, yang sekarang telah menjelma menjadi buaya putih di laut selatan. Ia berhasil mengalahkan buaya putih.
Ratu Anginangin yang menguasai laut selatan senang melihat hal itu. Ia memanggil si ular naga karena pernah bernazar jika ada yang bisa mengalahkan buaya putih akan dia beri posisi sebagai pemimpin laut selatan, menggantikannya sementara waktu.
Si ular naga menjawab, ia belum selesai menjalankan tugas ayahnya. Setelah mengalahkan buaya putih, ia masih harus mencari tunangan ayahnya yang belum ditemukan.
Ratu Anginangin menjawab, dirinyalah yang menjadi tunangan Aji Saka. Ia berpesan kepada si ular naga agar ayahnya tidak menikah selain dengan Ratu Anginangin.
Ratu Anginangin kemudian memberi nama si ular naga sebagai Linglung Tunggulwulung. Ia pun pulang melalui bawah tanah, tetapi sering linglung karena gelap, sehingga ia sering muncul ke permukaan untuk melihat arah.
Lubang-lubang bekas ia muncul ke permukaan, menjadi sumur. Ada di Crewek, Mendikil, Kuwu, dan sebagainya. Air dari laut selatan mengalir lewat jalur yang dilalui si ular naga dan menggenang di lubang tempat ia muncul ke permukaan.
Oohya! Baca juga ya: Legenda Grobogan, Aji Saka dan Aksara Jawa Ciptaannya yang Membuat Pribumi Dipenjara oleh Belanda
Tiba di Medang Kamulan, ia dihadiahi mahkota oleh Aji Saka. Ekor, gigi, dan taringnya dibungkus emas. Sisiknya dilapisi emas pula.
Di ekornya, ia simpan cupu astagina, air bertuah yang juga hadiah dari Aji Saka. Jika ada ular mati, ditetesi air cupu itu akan hidup kembali.
Ia pun kemudian diangkat menjadi pangeran adipati, ditempatkan di Tunggulwulung. Setahun tinggal di Tunggulwulung, unggas habis dia makan.
Oohya! Baca juga ya: Dalam Setahun Penduduk Grobogan Berkurang 90,9 Persen, Asisten Residen yang Perbaiki Keadaan Justru Dimutasi
Maka, ia mendapat hukuman dari Aji Saka, diasingkan di sebuah hutan tanpa makanan. Hanya boleh makan jika ada yang masuk ke mulutnya. Maka di pengasingan itu, mulutnya di buka lebar-lebar.
Suatu hari, ada sembilan penggembala yang harus mencari tempat berteduh karena hari sedang hujan. Masuklah mereka ke sebuah gua. Tapi, satu orang dihalang-halangi oleh teman-temannya untuk masuk gua.
Di luar gua, tak ada tempat berteduh, ia melihat sebatang kayu, lalu ia tetak dengan parangnya. Saat itulah gua itu mengatup menelan delapan penggemaba itu. Yang disangka batang kayu itu ternyata ekor si ular Linglung. Lubang yang dikira gua itu adalah mulut si ular Linglung.
Oohya! Baca juga ya: Ada Orang Grobogan yang Menjadi Orang Penting di Kereta Api Cepat dan Transportasi Jakarta
Jadilah lokasi tempat si ular Linglung menelan penggembala itu disebut Kesongo. Wilayah tempat Amongrogo dan dua santrinya bercengkerama bersama Jatipitutur.
Esok harinya, mereka meneruskan perjalanan ke barat, melihat pembuatan garam di sumur air asin, Crewek, Mendikil, Bleduk Kuwu, dan sebagainya. Hingga satu hari, mereka tiba di Desa Selo.
"Ketahuilah Nak, ini desa besar Selo, termasuk wilayah Mataram. Akulah ya g menjaga leluhur raja bernama Ki Ageng Selo yang dimakamkan di sini. Aku bernama Ki Pariworo, cicit Ki Ageng Getas Pendowo,” ujar penduduk yang mereka temui di Desa Selo itu.
Amongrogo dan dua santrinya, Gathak Gathik, bertemu penduduk yang mengaku sebagai cicit Ki Ageng Getas Pendowo, yang menjaga makam Ki Ageng Selo. Artinya, saat mereka tiba di Selo, Bondan Kejawan tentu sudah meninggal.
Oohya! Baca juga ya: Lima Perbedaan Kongres Pemuda Indonesia Pertama dan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Apa Saja?
Artinya pula, mereka tidak bertemu dengan Bondan Kejawan, anak Raja Majapahit Brawijaya V yang dibuang ke Grobogan. Bondan Kejawan merupakan ayah dari Ki Getas Pendowo, dan kakek dari Ki Ageng Selo.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Serat Centhini Jilid 1 karya Ngabei Ranggasutrasna, dkk, koordinator penyunting Darusuprapta (1991)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]