Legenda Grobogan, Aji Saka dan Aksara Jawa Ciptaannya yang Membuat Pribumi Dipenjara oleh Belanda
Tak hanya cerita legenda Jaka Tarub yang dimiliki masyakarat Grobogan. Ternyata, masyarakat Grobogan juga memiliki cerita legenda Aji Saka yang memperkenalkan aksara Jawa yang di masa penjajahan Belanda, dipakai untuk bahasa sandi melawan Belanda.
Jaka Tarub merupakan pemuda yang beristrikan bidadari lalu menjadi mertua Bondan Kejawan. Bondan Kejawan adalah anak Raja Majapahit Brawijaya V, yang dibuang ke Grobogan.
Sedangkan Aji Saka adalah pangeran dari India yang datang ke Grobogan bersama dua pembantunya, Sembada dan Dora. Ketika tiba di Pegunungan Kendeng, Aji Saka berkata kepada pembantunya Sembada agar Sembada tinggal dan menjaga belati milik Aji Saka.
Oohya! Baca juga ya: Begini Suasana Pembukaan Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Ada Interupsi dari Polisi
Aji Saka berpesan, jangan pernah memberikan belati itu kepada siapa pun, selain kepada dirinya. Lalu ia pergi bersama pembantu satunya, Dora.
Pada 1913, koran De Expres menulis cerita legenda Aji Saka ini di halaman dua. Di halaman depan ditulis nama pemimpin redaksi De Expres: EFE Douwes Dekker. Ditulis pula nama redaktur: Tjipto Mangoenkoesomo.
Oohya! Baca juga ya: Mengapa Relawan Projo Memilih Deklarasi Dukung Prabowo di Pinggir Jalan?
Aji Saka bukan orang sembarangan. Ia kemudian dikenal sebagai penguasa Jawa dan pencipta huruf Jawa. Huruf Jawa itu, pada 1923, sepuluh tahun setelah cerita legenda Aji Saka dimuat di De Expres, dipakai untuk mengobarkan perlawanan kepada Belanda.
Adalah Tamil Boedi Mandoejono yang menggunakan huruf Jawa sebagai sandi untuk mengobarkan perlawanan kepada Belanda. Ia menuliskan pesan dengan urutan aksara Jawa yang terbalik.
Aksara Jawa memiliki 20 huruf. Huruf pertama Ha, huruf terakhir Nga. Untuk menulis pesan, ia menggunakan urutan huruf Nga sebagai huruf pertama dan huruf Ha sebagai huruf terakhir.
Oohya! Baca juga ya: Disukai Anak Senja tetapi Belum Ada di KBBI, Orang Sumba Menyebutnya Ninu, Apa Itu?
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pesan tersembunyi itu, saya lanjutkan dulu cerita mengenai Aji Saka ya. Cerita singkatnya, Aji Saka dan Dora melanjutkan perjalanan ke Istana Kerajaan Medang Kamulan.
Tujuannya ingin mengabdi kepada Kerajaan Medang Kamulan. Namun ia mendapat informasi, jika ia berani menemui Raja Medang Kamulan, ia akan menjadi santapan empuk.
Raja Medang Kamulan suka memakan daging manusia. Banyak rakyat yang pergi agar terhindar jadi santapan Raja Medang.
Aji Saka justru bersyukur. Ia kemudian mengubah diri menjadi anak kecil dan pergi mengikuti jalan yang ditunjuk oleh penduduk desa. Kelak Aji Saka mengenalkan aksara Jawa, yang di masa penjajahan Belanda digunakan sebagai bahasa sandi untuk melawan Belanda.
Di Istana Medang, wilayah yang sekarang ada di Grobogan, ia meminta Patih Medang agar mempersembahkan Aji Saka sebagai santapan Raja Medang. Tangan Sang Raja yang sudah memegang Aji Saka kecil segera mengarahkannya ke mulut.
Sang Patih merasa heran ada anak kecil yang mengajukan diri jadi santapan Raja. Karena itu, ia lalu mengingkatkan Aji Saka jika sampai disantap Raja, berarti Aji Saka akan mati.
Oohya! Baca juga ya: Dalam Setahun Penduduk Grobogan Berkurang 90,9 Persen, Asisten Residen yang Perbaiki Keadaan Justru Dimutasi
Aji Saka justru menjawab, itulah yang ia inginkan. Namun, jika ternyata ia tidak mati, Aji Saka meminta Sang Patih agar bersedia memberi sedang tanah. Sang Patih pun menyanggupi.
Sang Raja senang mendapat persembahan santapan anak kecil. Segera ia pegang dan segera ia masukkan ke mulut. Pada saat hendak masuk mulut itulah, Aji Saka berubah wujud menjadi orang dewasa lagi.
Oohya! Baca juga ya: Suhu Politik Memanas, Puluhan Ribu Orang Berdemo dan Tank-Tank Tentara Dihadapkan ke Istana Merdeka, Ada Apa?
Tangan yang satu memegang bibir atas Sang Raja dan tangan satunya lagi memerang bibir bawah Sang Raja. Maka, robeklah mulut Sang Raja setelah ditarik kuat-kuat oleh Aji Saka, Sang Raja tewas dengan mulut ternganga.
Aji Saka kemudian berubah wujud lagi menjadi anak kecil untuk memenui Patih Medang Kamulan. Sang Patih heran, karena Aji Saka masih hidup dan menagih janji tanah seluas ikat kepala yang ia pakai.
Sang Patih pun segera meminta Aji Saka melepas ikat kepalanya untuk mengukur luas tanah yang akan diberikan kepada Aji Saka. Maka, Aji Saka pun segera membentangkan ikat kepalanya.
Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan
Ibu kota Medang Kamulan tertutup oleh ikat kepala Aji Saka. Bahkan, Pulau Jawa pun tertutup oleh ikat kepala Aji Saka.
Maka, Aji Saka pun menguasai Tanah Jawa, menjadi Raja Medang Kamulan yang ada di Grobogan. Suatu hari, ia teringat pada Sembada, ia suruhlah Dora mengambil belati yang dijaga oleh Sembada.
Oohya! Baca juga ya: Minum Teh Sore di Indonesia, Tradisi dari Negara Manakah?
Sembada menjaga betul amanah Aji Saka, maka ia tidak berani memberikan kepada Dora. Dora juga menjaga amanah Aji Saka untuk bisa membawa belati itu. Keduanya berkelahi hingga meninggal semua.
Tak juga ada kabar mengenai Dora dan Sembada, Aji Saka dari Keraton Medang --yang sekarang termasuk wilayah Grobogan-- pun pergi ke tempat Sembada ia tinggal. Mendapati kedua pembantunya sudah meninggal, Aji Saka tentu saja terkejut, tetapi ia harus bisa menerima takdir.
“Kemalangan ini menjadi awal mula pembuatan aksara Jawa saya,” ujar Aji Saka kepada dirinya sendiri. Di masa penjajahan Belanda, aksara Jawa digunakan sebagai sandi untuk melawan Belanda.
Hana caraka (Ada utusan)
Data sawala (Mereka bertengkar)
Padha jayanya (Sama-sama kuat)
Maga bathanga (Sama-sama mati)
Oohya! Baca juga ya: Permintaan Irigasi Belum Terealisasi, Penduduk Grobogan Ditinggal Pergi Bupatinya
Dengan menggunakan sandi dari huruf Jawa ini, pada 1923 Tamil Boedi Mandoejono mengirim pemberontakan. Ia menulis:
"Ngeh j j. agilin! j.j. djasjradan! j.j. lanweja wan p.p. da. Tjarikantanah leroenjoengan mija mepak?
O, tjangdja! tjangdja! pingatpah tadjit ngiwoepkoe djamagang. Kamin paka kamin djamlik kamin jerwedjak, kamin jerodjap wan kamin genwahpab kerjatjat tjang djamoe.
Djemagang mija jadak mala njah mija tjidja jerpelas wagi tjepanwa? Sapan tang katamah mija tjidja walet kerwema? Alamah widjiti tanji aman wajens ngoegoe ngaga?
Djata njamoet! japongpah! jopongsama! sahan djamlik mija sawi mortjan lerboeka."
Oohya! Baca juga ya: Ada Orang Grobogan yang Menjadi Orang Penting di Kereta Api Cepat dan Transportasi Jakarta
Sandi itu terbaca sebagai berikut:
"Heh, t.t. (Tuan-tuan) Ngaripin (Arifin)! t.t. Sastrawan ! t.t. Pandeta dan l.l.nya (lain-lainnya). Bagimanatah peruntungan kita kelak?
O, bangsa! bangsa! Lihatlah nasib hidupku sakarang. Makin lama makin sampik makin terdesak, makin tegosal dan makin rendahlah mertabat bangsaku.
Sekarang kita tanjak: kapantah kita bisa terlepas dari Belanda? Jalan yang manakah kita bisa dapat merdeka? Ngapaka (Apakah) disini jadi ngakan (aken) dateng huru-hara?
Saya takut! Tolonglah! Tolong djaga! Jangan sampik kita jadi korban percuma."
Tamil Boedi Mandoejono yang menggunakan bahasa sandi dari aksara Jawa itu kemudian ditangkap Belanda. Lalu diadili dan dijatuhi hukuman. Di pengadilan Bandung ia dikukum tujuh bulan penjara, di pengadilan Yogyakarta ia dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara.
Di dalam penjara, ia membuat petisi minta dihukum buang ke Belanda. tentu petisinya tidak lagi menggunakan bahasa sandi dengan aksara Jawa ciptaan Aji Saka, raja Medang yang wilayahnya sekarang ada di wilayah Grobogan.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- De Expres, 24 April 1913
- Bataviaasch Nieuwsblad, 11 Oktober 1923
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]