Suhu Politik Memanas, Puluhan Ribu Orang Berdemo dan Tank-Tank Tentara Dihadapkan ke Istana Merdeka, Ada Apa?
Pada tahun 1952 suhu politik memanas. Saat itu DPR Sementara (DPRS) tidak dipercaya oleh publik.
Di berbagai daerah muncul aksi meminta pembubaran DPRS. Puluhan ribu orang berdemo, terutama setelah peristiwa 17 Oktobre 1952, saat tank-tank tentara diarahkan ke Istana Merdeka.
Saat itu masih ada Misi Militer Belanda(MMB). MMB ini bertugas mengawasi masuknya tentara KNIL ke dalam Angkatan Perang Indonesia (TNI).
Oohya! Baca juga ya: Kereta Api Ekspres Malang-Surabaya Itu Berangkat dari Stasiun Lawang, tapi tak Pernah Sampai di Surabaya
“Tujuan MMB untuk menghilangkan tradisi progresif TNI melalui ‘rasionalisasi militer’,” tulis koran Belanda De Waarheid edisi 16 Oktober 1965.
Apa yang disebut tradisi progresif oleh koran Belanda itu? Ternyata, tradisi progresif itu adalah kebiasaan aksi revolusioner tentara Indonesia berupa aksi gerilya selama melawan Belanda.
Saat itu, rasionalisasi di tubuh militer Indonesia merupakan konsekuensi dari kesepakatan di Konferensi Meja Bundar (KMB). Oleh karena itu, Kabinet Wilopo memutuskan untuk segera melakukan rasionalisasi militer.
Oohya! Baca juga ya: Permintaan Irigasi Belum Terealisasi, Penduduk Grobogan Ditinggal Pergi Bupatinya
Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Mayor Jendera TB SImatupang mempersiapkan rencana rasionaliasi itu. Ada hampir 40 persen tentara akan diberhentikan.
Namun, ada perwira yang tidak menyetujui rencana ini. Perwira itu juga menentang keberadaan MMB. Alasannya, Indonesia merupakan negara berdaulat.
Perwira itu, Kolonel Bambang Supeno (dari PETA), berkirim surat kepada DPRS. DPRS pun mengadakan sidang pada 26 Maret 1952 untuk membahas surat perwira itu.
Oohya! Baca juga ya: Papua Selatan, Mengapa tidak Memakai Nama Irian Selatan yang Memiliki Makna Bagus dalam Bahasa Marind?
Petinggi TNI pun memberi sanksi kepada Kolonel Bambang Supeno. Pada 16 Juli 1952, sanksi skorsing untuk Bambang Supeno itu keluar. Pada 22 Juli 1952, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyetujui sanksi skorsing untuk Bambang Supeno itu.
Usulan dari Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel AH Nasution mengenai sanksi pemecatan terhadap Bambang Supeno ditolak oleh Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan menegaskan, selama menjalankan skorsing, Bambang Supeno tetap menerima gaji dan tunjangan.
Melihat tindakan Menteri Pertahanan kepada Kolonel Bambang Supeno, DPRS pun mengeluarkan mosi tidak percaya kepada Menteri Pertahanan. Mosi semula muncul dari anggota DPRS, Zainal Baharuddin, yang kemudian dibahas oleh DPRS pada 9 Oktober 1952.
Mosi itu juga menuntut pemerintah segera melakukan reorganisasi pimpinan Angkatan Perang (TNI) dan Kementerian Pertahanan. Pimpinan TNI pun berang.
Oohya! Baca juga ya: Ini Dia Pemuda Istimewa, Satu-satunya Pemuda yang Berpidato di Dua Kongres Pemuda Indonesia
Pimpinan TNI menilai DPRS telah mencampuri urusan internal militer. Petinggi-petinggi TNI pun meminta Presiden membubarkan DPRS.
DPRS saat itu bukanlah hasil pemilu. Melainkan hasil penggabungan dari anggota parlemen RIS dan senat RIS.
Meski begitu, Presiden Sukarno menolak permintaan pembubaran DPRS. Alasannya, ia tak mau dicap sebagai diktator.
Publik mendukung tentara. Demo bermunculkan di berbagai daerah menuntut pembubaran DPRS. Mereka menginginkan lembaga parlemen yang anggotanya dipilih melalui pemilu.
Oohya! Baca juga ya: Bencana Kelaparan Membuat Penduduk Grobogan Tinggal 9.000 Jiwa, Ini yang Dilakukan Gubernur Jenderal
Pada 17 Oktober 1952, kantor berita Antara melaporkan suasana genting di Jakarta sudah muncul sejak pagi hari. Demonstrasi berlangsung di gedung DPRS dari pukul 06.00.
Di gedung DPRS, para demontran sempat merusak kursi-kursi dan gordin ruang sidang serta kaca-kaca jendela. Kerugian ditaksir mencapai sekitar Rp 15 ribu.
Jumlah demonstran diperkirakan mencapai 30 ribuan. Mereka menuntut pembubaran DPRS.
Mereka membawa poster-poster bertuliskan: “Parlemen bukan warung kopi”. “Bubar parlemen sekarang. Kamu bukan wakil rakyat”. “Percekcokan kamu membahayakan negara”.
Dari gedung DPRS, mereka pindah ke Istana. Di Lapangan Merdeka, tank-tank tentara sudah diarahkan ke Istana Merdeka.
Aksi ini, menurut KSAD AH Nasution, bukan untuk mengkudeta Presiden, melainkan untuk menunjukkan sikap tegas tentara agar Presiden bersedia membubarkan DPRS yang telah campur tangan urusna internal tentara.
Oohya! Baca juga ya: Seharusnya Menyesal Jika Belum Sempat Berkunjung ke Air Terjun di Teluk Nusalasi yang Ada di Fakfak Ini
Di depan Istana Merdeka, pada pukul 09.30 Sukarno menemui massa demosntran yang membawa beragam poster. Isinya: “Rakyat tidak kenal Baharuddin”, “Hiduplah Presiden Sukarno”, “Mana beras”, dan sebagainya.
Sukarno menolak desakan membubarkan DPRS. Ia berpidato di depan massa demonstran.
“Ketika semua berjuang berpuluh tahun untuk tercapainya negara merdeka yang adil dan makmur dan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Karena saya berdiri atas lima pokok yang dijelaskan dalam Pancasila itu, maka saya tidak menjadi diktator,” kata Presiden seperti dilaporkan Antara.
Oohya! Baca juga ya: Pejabat Berdebat Soal Irigasi di Grobogan, Apakah Penduduk Puas dengan Makan Singkong?
Pukul 10.00 demonstrasi bubar. Pukul 10.15, panglima territorial --kecuali Panglima Teritorial Indonesia Timur Kolonel Gatot Subroto-- menemui Sukarno.
Setengah jam kemudian, menurut Antara, bergabung Panglima Angkatan Perang (TNI) TB Simaupang, beserta Jatikusuma dan Daan Yahya. Bergabung juga Wapres Hatta dan Perdana Menteri Wilopo.
Usai pertemuan dengan pimpinan tentara, Presiden dan Wapres bertemu dengan Wakil Ketua DPRS AM Tambunan. Malam sebelumnya, Wapres ditemui Menteri Pertahanan --yang sebelumnya telah bertemu dengan para pimpinan TNI.
Oohya! Baca juga ya: Menyambut Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII, Bahasa Indonesia Diciptakan Memang untuk Menjaga Kebinekaan
Pada 17 Oktober malam, Jakarta diberlakukan jam malam. Seperti dilaporkan Antara 19 Oktober, gedung bioskop pun tak memutar film sama sekali. ‘
Baru pada 19 Oktober memutar film hingga puul 20.00. Jika pada 17-18 Oktober malam, di pusat keramaian seperti Senen, Jatinegara, Glodok, Sawah Besar, pukul 19.00 sudah sepi, mulai 19 Oktober malam sudah kembali ramai hingga pukul 21.30.
Keseokan harinya, beberapa koran diberedel: Merdeka, Berita Indonesia, Mingguan Merdeka. Tentara menjaga percetakan-percetakan.
Pada Desember 1952, Presiden Sukarno memberhentikan Nasution sebagai KSAD dan memberinya kesempatan belajar ke luar negeri. Sebelumnya, Merdeka edisi 26 November menurunkan laporan bahwa Nasution bersedia mundur jika pengunduran dirinya dari jabatan KSAD bisa menjernihkan keadaan.
Oohya! Baca juga ya: Ada Orang Grobogan yang Menjadi Orang Penting di Kereta Api Cepat dan Transportasi Jakarta
Setelah diberhentikan dan menolak tawaran studi ke luar negeri, seperti dikutip Merdeka, 9 Desember 1952, Nasution menolak dengan alasan: “Buat saya, moril tak akan sampai hati meninggalkan teman-teman justru dalam suasana kesulitasn seperti sekarang ini.”
Ia kemudian memanfaatkan waktu dengan menulis buku gerilya. Tiga tahun kemudian ia diangkat lagi sebagai KSAD oleh Presiden Sukarno dengan kenaikan pangkat menjadi mayor jenderal. Pada 1959 ia pun menjadi menteri pertahanan.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- De Waarheid, 16 Oktober 1965
- 17 Oktober 1952, editor Bisri Effendi (2001)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]