Kendeng

Bencana Kelaparan Membuat Penduduk Grobogan Tinggal 9.000 Jiwa, Ini yang Dilakukan Gubernur Jenderal

Kemarau panjang membuat tanah sawah mengering dan retak. Nela, kata orang Jawa. Para petani harus bersabar, karena musim hujan baru mulai pada November 2023.

Akibat bencana kelaparan, penduduk Grobogan yang semula ada 98.500 pada 1848, tinggal 9.000 pada 1850. Sedangkan di Demak, dari 336 ribu penduduk pada 1848, tinggal 120 ribu pada 1850.

Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Jan Jacob Rochussen lamban bertindak karena pada awalnya ia mencoba hanya percaya pada laporan mencoba Residen Semarang. Ia menampik laporan dari pihak lain mengenai bencana kelaparan yang tengah menimpa Demak dan Grobogan.

Rochussen menjabat pada 1845-1851. Begitu tiba di Batavia, Rochussen mengeluarkan surat edaran. Surat edaran itu menyatakan, kelalaian tidak akan ditoleransi, tetapi akan dihukum berat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Kemarau Panjang Tanah Retak Bisa Didongkel, Hati Bangsa yang Retak Hendak Diapakan?

Dengan surat edarannya itu, Rochussen terus-menerus mendorong para pejabat aktif dan peduli kepada penduduk. Apakah surat edaran itu dipatuhi oleh Residen Semarang, Bupati Demak, dan Rangga Grobogan?

Pada November 1849, Rochussen menerima laporan dari pengawas budi daya pertanian dan direktur pertanian. Mereka memberikan laporan lisan dan tertulis bahwa kondisi di Demak dan Grobogan begitu mengerikan.

Namun, Rochussen belum mengambil tindakan. Ia menyerahkan laporan itu kepada Residen Semarang, yang seharusnya menjadi pihak pertama yang melaporkan kepadanya.

Oohya! Baca juga ya: Seharusnya Menyesal Jika Belum Sempat Berkunjung ke Air Terjun di Teluk Nusalasi yang Ada di Fakfak Ini

Ia meminta Residen Semarang mengecek kebenaran laporan pengawas budi daya tanaman itu. Pada 8 Januari 1850, Residen Semarang menyerahkan laporannya yang berbeda dengan laporan pengawas dan direktur.

Maka, Rochussen menyebut laporan pengawas dan direktur sebagai laporan bohong. Pada 13 Januari 1850, ia menyetujui laporan Residen Semarang.

Pada 4 Maret 1850, anggota parlemen Sloet menyampaikan laporan pribadi di Tweede Kamer di Belanda. Ia menyebut, di Demak dan Grobogan, penduduk tidak lagi makan nasi. Mereka makan akar-akaran, dedaunan, rebung, dan sebagainya.

Oohya! Baca juga ya: Daerah Tempat Anak Raja Majapahit Dibuang Batal Dikunjungi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Ada Apa Ya?

Ia juga menyebut kondisi itu akan segera memunculkan epidemi, seperti yang sudah terjadi di Tegal dalam enam bulan terakhir. Sudah ada 13 ribu – 25 ribu penduduk Demak dan Grobogan yang meninggal karena kelaparan.

Di paseban Rangga Grobogan memang dilakukan pembaguan beras, tetapi kata Sloet, penduduk sudah tidak kuat menyeret tubuhnya untuk ke paseban. Mereka pingsan di jalan.

Pemberian beras atau bahan pangan yang murah menjadi tidak ada gunanya lagi. Penduduk sudah tidak lagi mempunyai apa pun yang bisa digunakan untuk membeli.

Menurut Sloet, sudah banyak penduduk Demak dan Grobogan yang mencari makan ke luar daerah, sehingga di khawatirkan mereka akan mati di jalan. Jika ada banyak mayat di jalan, pasti kondisinya akan mengerikan.

Tapi pemerintah tidak menggubris laporan Sloet. Pemerintah hanya percaya pada laporan resmi dari Hindia-Belanda.

Di Batavia, Rochussen juga belum mendapatkan mahamai kondisi yang sebenarnya terjadi di Demak dan Grobogan. Koran-koran menurunkan laporan mengenai kondisi yang mengenaskan.

Oohya! Baca juga ya: Begini Pidato yang tak Terucap dari Bupati Grobogan Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Batal Berkunjung

De Locomotief, seperti dikutip Bataviaasch Handelsblad, melaporkan banyaknya penduduk Demak yang pergi ke Semarang. Mereka nyaris tak mampu membawa tubuhnya yang kurus.

Jumlah mereka terus meningkat. Para perempuan menawarkan anak merekakepada orang lain dengan tujuan anaknya akan mendapat perawatan yang baik.

Bahkan, pada 1901, De Locomotief membuat laporan kondidi 1849 itu dengan lebih menyayat hati: “Kumpulan makhluk-makhluk kurus kering, yang lebih mirip kerangka daripada manusia hidup, kemudian berkeliaran, memakan rumput dan dedaunan. Para ibu membunuh anak-anak mereka agar tidak mendengar rintihan mereka.”

Oohya! Baca juga ya: Begini Suasana di Grobogan Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Datang Berkunjung

Di sepanjang jalan, mayat bisa dengan mudah ditemukan. Maka, ketika Residen Semarang melihat hal ini, ia segera membuat laporan.

Fakta-fakta di lapangan pun mulai membuka mata Rochussen. Ia pun membuat edaran agar para kepala daerah rutin melaporkan kondisi daerahnya dan memastikan penduduk mendapat pekerjaan yang layak.

Puncaknya terjadi 4 Mei 1850. Rochussen memecat Residen Semarang yang ia anggap telah lalai dalam menjalankan tugas.

Oohya! Baca juga ya: Baru Dua Pemimpin Ini yang ke Grobogan, Punya Leluhur di Grobogan tetapi Sukarno Belum Pernah ke Grobogan

Apa sebenarnya yang membuat terjadinya kelaparan di Demak dan Grobogan? Menurut laporan Rochussen, karena bencana alam.

Pada masa Gubernur Jenderal Daendels, Bupati Demak membuka sawah baru seluas 30 ribu hektare. Lahan yang dijadikan sawah semula adalah rawa. Parit digali untuk mengeringkan rawa.

Tapi, pembuatannya tidak direncanakan dengan baik. Jika musim hujan, sawah tersebut terendam banjir, dan ketika kemarau akan menjadi kering.

Ketika penduduk bekerja dalam kerja paksa, mereka tidak sempat menggarap lahan sendiri. Hari-hari mereka dihabiskan untuk kerja paksa menebang kayu di hutan, mengangkut tebu dan kayu bakar.

Tempat kerja mereka berpindah-pindah. Pada 1841 tercatat ada 2.000 warga Demak dan Gobogan yang bekerja di daerah lain. Mereka dipekerjakan di banyak tempat.

“Kecuali di hutan belantara, masyarakat Jawa tidak lagi mempunyai tempat berlindung dari kerja paksa, pemerasan, dan pencekikan,” tulis GH van Soest pada 1869.

Oohya! Baca juga ya: Kakeknya Dulu Wedana Grobogan, Pengusaha Orde Baru Ini Kini Berseteru dengan Pemerintah dalam Kasus Hotel

Bencana kelaparan di Grobogan dan Demak pada 1849 bermula setelah musim panen berakhir. Hasil panen ternyata tidak mencukupi karena kekeringan yang melanda. 

Bataviaasch Handelsblad menulis, pada November dan Desember kebutuhan meningkat dan mencapai puncaknya. Di Demak dan Grobogan, ribuan orang kurus berkeliaran. Mereka bahkan mengembara sampai ke Surabaya untuk mencari makan.

Menurut De Locomotief, setelah Rochussen memecat Residen Semarang, Bupati Demak, dan Rangga Grobogan pada 1850 karena kelalaian tugas yang memalukan, isu irigasi dari Kali Lusi di Grobogan berulang kali dibahas.

Oohya! Baca juga ya: Panas di Istana Negara dan Istana Merdeka, Keturunan Raja Majapahit pun Naik ke Langit-langit Istana

Pembahasannya, sesuai dengan sampai-tidaknya teriakan penduduk Grobogan yang kelaparan di telinga Gubernur Jenderal di Bogor. Maka, saluran irigasi baru mulai terwujud pada 1893.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Bataviaasch Handelsblad, 11 Februari 1873
- De Locomotief, 8 Oktober 1901
- Geschiedenis van het Kultuurstelsel karya GH van Soest (1869)
- Nieuw Amsterdamsch Handels- en Effectenblad, 16 Desember 1857

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam