Daerah Tempat Anak Raja Majapahit Dibuang Batal Dikunjungi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Ada Apa Ya?
Suhu politik di Batavia dan beberapa kota besar di Jawa sedang naik pada 1938-1939. Fraksi Nasional Volksraad menggunakan bahasa Indonesia dalam menyampaikan pemandangan umum di sidang Volksraad pada Juli 1938.
Wakil Indonesia di dewan-dewan kota/kabupaten di beberapa daerah juga melakukan hal yang sama pada 1938-1939 itu. Menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang, kendati mereka harus menghadapi pelarangan.
Sebelumnya, pada Juni 1938, diadakan Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Solo. Kongres ini telah membuat udara Hindia-Belanda juga terasa gerah.
Oohya! Baca juga ya: Begini Pidato yang tak Terucap dari Bupati Grobogan Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Batal Berkunjung
Tidak hanya di Batavia, melainkan juga di kota-kota lain. Pemberitaan kongres itu memenuhi halaman-halaman koran di berbagai kota.
Lewat Kongres Bahasa Indonesia itu, bangsa Indonesia dianggap ingin memiliki bahasa nasional sendiri. Tujuannya untuk bisa memisahkan diri dari Belanda.
Lalu, upaya pembentukan Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pun terus dimatangkan. Pada Mei 1939 pun terbentuk.
Oohya! Baca juga mya: Begini Suasana di Grobogan Ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Datang Berkunjung
Kasus penghinaan terhadap Islam juga menghangat. Kasus ini mendapat tanggapan dari kaum pergerakan dan koran-koran.
Para pemuda pun terus melakukan konsolidasi dengan anjuran Indonesia Bersatu. Mereka menyiapkan Pergabungan Pemuda (Perda) di berbagai kota, tercatat ada 14 Perda pada 1939.
Serikat pekerja juga aktif berkonsolidasi. Pada kongres Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) di Solo pada 1937, mereka mengeluarkan dua mosi.
Oohya! Baca juga ya: Baru Dua Pemimpin Ini yang ke Grobogan, Punya Leluhur di Grobogan tetapi Sukarno Belum Pernah ke Grobogan
Pertama, menolak peraturan baru yang dianggap diskriminatif karena mengutamakan guru kulit putih. Kedua, mendesak pencabutan peraturan mengenai buruh bulanan dan pekerja biasa yang dikategorikan sebagai bukan pekerja tetap.
Tapi, suhu politik yang panas itu sepertinya tidak membuat gerah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Ia masih santai melakukan kunjungan ke berbagai daerah di Jawa.
Atau itu sebagai cara dia menghindari udara politik yang panas di Jakarta? Entahlah.
Pada September 1937 ia melakukan kunjungan ke Jawa Tengah. Lalu pada Maret 1939 ia juga melakukan kunjungan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada September 1937 itu. dari Semarang Tjarda hendak melanjutkan perjalanan ke Solo. Ia naik kereta dari Stasiun Tawang. Gubernur Jawa Tengah dan Bupati Grobogan sengaja menyiapkan diri di Stasiun Gundih, Kabupaten Grobogan.
Ada sambutan kecil di Stasiun Gundih, Gubernur Semarang dan Bupati Grobogan kemudian bergabung dalam rombongan Tjarda menuju Solo.
Oohya! Baca juga ya: Kemarau Panjang Petani Grobogan Masih Bisa Panen Jagung, Bupati Grobogan Pimpin Panen Raya
Pada Maret 1939, Tjarda juga ada di Semarang untuk menghadiri konferensi bupati. Ia juga merencanakan kunjungan ke beberapa daerah: Muria, Grobogan, Cepu.
Sehabis melakukan kunjungan ke Muria, jadwal kunjungan berikutnya adalah ke Grobogan. Grobogan merupakan daerah tampat Bondan Kejawan, anak Raja Majapahit Brawijaya V dibuang pada abad ke-15.
Bondan Kejawan tinggal di Desa Tarub, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Tawangharjo, menjadi menanti Jaka Tarub. Tidak jauh dari Desa Tarub ada Desa Selo, yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Selo, cucu Bondan Kejawan.
Oohya! Baca juga ya: Kakeknya Dulu Wedana Grobogan, Pengusaha Orde Baru Ini Kini Berseteru dengan Pemerintah dalam Kasus Hotel
Tidak jauh dari Desa Selo ada Desa Jono. Di desa ini ada sumur air asin yang digunakan untuk penduduk untuk membuat garam darat.
Dalam rencana kunjungannya ke Grobogan pada Maret 1939 itu, Tjarda hendak mengunjungi Desa Jono dan Bleduk Kuwu. Ia ingin melihat proses pembuatan garam darat. Bleduk Kuwu juga sentra pembuatan garam darat dari air asin yang keluar dari letupan lumpur.
Jadwal Tjarda melakukan kunjungan ke Grobogan jatuh pada Sabtu, 18 Maret 1939. Namun, rencana itu mendadak dibatalkan karena banjir menutup jalan menuju kota Purwodadi. Tingginya mencapai 60 sentimeter.
Oohya! Baca juga ya: Pemkab Grobogan Terima Prasidatama Sebagai Lembaga Pemerintah Pengguna Bahasa Terbaik Jawa Tengah
Alun-alun Purwodadi akan menjadi persinggahan pertama Tjarda dalam rencana kunjungannya di Grobogan. Penduduk juga sudah dikerahkan untuk datang di alun-alun pada Sabtu pagi.
Gapura kehormatan yang dibangun khusus untuk penyambutan sudah berdiri di pintu masuk wilayah Grobogan. Penduduk dan anak sekolah sudah dikerahkan untuk datang menyambut. Bendera Merah Putih Biru juga dikibarkan di berbagai tempat.
Tjarda memilih langsung ke Cepu melalui Demak, Kudus, Rembang, Blora. Tentu saja tidak ada penyambutan di sepanjang jalan menuju ke kota-kota yang dilalui ini.
Setibanya di Rembang mereka berbelok ke kanan menuju Blora. Tiba setengah jam lebih awal dari rencana.
Dari Blora mereka mengarah Cepu. "Kota minyak di Jawa Tengah, tempat masyarakat sudah mempersiapkan diri untuk hari besar ini beberapa hari sebelumnya,” tulis wartawan De Locomotief yang mengikuti rombongan.
Oohya! Baca juga ya: Membahas Usulan Nama Lokal untuk Nederlandsch Nieuw Guinea, Belanda Tolak Nama Irian
Tjarda sempat memikirkan untuk mencapai Purwodadi melalui Blora. “Untuk sesaat, perjalanan ke Purwodadi melalui Kudus, Pati, Rembang, dan Blora dianggap sebagai jalan memutar yang sangat jauh, sehingga rencana ini harus dibatalkan,” lanjut wartawan De Locomotief.
Dari Cepu, Tjarda melanjutkan perjalanan kunjungannya ke Madiun dan Ngawi.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
- Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 1 Maret 1939
- De Locomotief, 20 Maret 1939
- RHO Djoenaidi, Pejuang Pengusaha dan Perintis Pers karya Badruzzaman Busyairi (1982)
- Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia karya AK Pringgodigdo (1980)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]