Sekapur Sirih

Mudik Lebaran Menjadi Terasing di Jalan Tol, Apalagi Jika Susah Mendapati Pengasoan

Perjalanan mudik Lebaran lewat jalan tol terasa nglangut. Sepi, jauh dari kehidupan sosial. Menjadi terasing.

Sebelum Lebaran kami sempat mudik. Keponakan ingin menikmati suasana jalur pantura yang semasa kecil sering mereka lewati.

Tapi karena perhitungan tiba di tujuan pukul 22.00 WIB, maka kami putuskan masuk tol lagi setibanya di Cirebon, agar bisa tiba di tujuan pukul 19.00 WIB meski harus merasa terasing selama perjalanan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pada kesempatan mudik Lebaran, saat kembali ke Jakarta kami mencoba jalur pantura setelah ada urusan di Pemalang. Menikmati sedikit pemandangan laut, kami merayakan kehidupan jalur pantura sampai Cirebon, kehidupan yang tidak ada di sepanjang jalan tol, terliebih jika tak ada pengasoan (rest area).

Oohya! Baca juga ya: Alibi Amangkurat I Ketika 7.000 Ulama-Santri Mataram Jadi Korban Pembantaian

Perjalanan di tol itu memang membosankan. Sepi. Nglangut.

Jalan tol mengasingkan kita dari kehidupan sosial. Kanan kiri jalan begitu gelap pada malam hari.

Apalagi di ruas-ruas yang tidak ada lampu penerang. Penerangan hanya mengandalkan lampu mobil, kanan kiri gelap.

Kadang memang ada kerlip lampu di kejauhan, pertanda ada perkampungan. Tetapi kerlip lampu di kejauhan itu malah membuat hati semakin nglangut.

Kerlip-kerlip tidak bisa mengisi kekosongan hati. Berbeda dengan jalur pantura yang ada banyak rumah di kanan kiri jalan.

Mudik Lebaran lewat jalan tol berasa terasing. Jauh dari kehidupan ketika di kanan kiri jalan tidak ada rumah-rumah penduduk.

Oohya! Baca juga ya: Jadi Putra Mahkota Culik Istri Orang, Jadi Raja Calon Istri Diculik Putra Mahkota

Kehadiran lampu-lampu dan rumah itu begitu dekat dengan posisibl kota sebagsi pemudik yang sedang melintas di jalur pantura. Ada perasaan nyaman bahwa petjalanannya tetap berada di tengah-tengah kehidupan sosial.

Perjalanan mudik Lebaran lewat pantura itu tidak membuat kita menjadi terasing. Ada kehidupan sosial di kanan kiri jalan yang terhubung dengan kehadiran kita.

Kalaupun di kanan kiri jalur pantura adalah sawah, ada pemudik bersepeda motor yang berteduh di bawah kerindangan pohon di pinggir sawah. Ada banyak pedagang di sepanjang sisi jalan.

Mudik Lebaran lewat jalur pantura, membuat kita bisa melihat kegelisahan orang-orang yang sedang menunggu kedatangan bus ekonomi. Bisa melihat orang-orang berboncengan membawa sangkar burung.

Bisa melihat penjual es doger mendorong gerobak. Bisa mengenali pemudik sepeda motor lewat kardus-kardus di boncengan.

Saat balik, kita bisa mengenali mereka lewat karung beras di boncengan sepeda motor. Mengenali mereka lewat kerupuk di dalam plastik transparan yang ditalikan di pegangan jok belakang, sehingga berkibar-kibar di tiup angin.

Oohya! Baca juga ya: Calon Istri Diculik, Anak Sultan Agung Ini Membunuh 60 Orang Termasuk Mertua

Kita bisa pula melihat banyak ruas putar balik yang dipagari bambu. Sepertinya swadaya warga untuk mencegah kemacetan di wilayah mereka akibat putar balik

Bagi warga pantura, kemacetan membuat mereka sengsara. Saat diberlakukan kebijakan satu arah di jalan tol, kendaraan dari arah berkawanan lalu dilimpahkan ke jalur pantura, maka pada jam-jam tertentu membuat gelisah warga pantura akibat macet yang tercipta.

Mudik Lebaran lewat jalan tol membuat kita tak mungkin mendapati pemudik militan. Mereka mudik dengan bajaj yang kecepatannya terbatas, atau mudik dengan mobil bak yang ditutup terpal.

Mereka duduk berjejal di dalam mobil bak berpenutup terpal itu. Ada lubang sedikit untuk angin masuk, musik disetel kencang sebagai hiburan mereka.

Lewat jalur pantura, kita akan mendapati beragam spanduk ucapan Idul Fitri, beragam papan penanda seperti "jual beli besi tua", "warung nganu 5 km lagi", dll.

Mendapati pula warga yang pegang sapu di pinggir jalan di timur Pamanukan pagi-pagi buta. Mendapati pula beragam kubah masjid, beragam wajah rumah.

Mudik Lebaran lewat jalur pantura menjadi tidak terasing. Tak mungkin mendapati pemudik militan dengan mobil bak di jalan tol.

Oohya! Baca juga ya: Saat Bangun Keraton, Anak Sultan Agung Tarik Pajak Gila-gilaan dan Terapkan Larangan Bepergian

Masih ada bukti-bukti kehidupan sosial ekonomi di jalur pantura meski sudah tidak ada lagi posko mudik di pantura. Hal yang susah didapati sepanjang jalan tol yang isinya nyaris melulu papan peringatan soal kecepatan laju kendaraan.

Ada kehidupan sosial ekonomi di jalan tol, yaitu di pengasoan. Tapi itu hanya semacam oase setelah menempuh perjalanan di gurun pasir yang sepi. Kita dibuat terasing selama perjalanan di jalan tol.

Di jalur pantura kita bisa berhenti di mana saja semau kita, tanpa harus menunggu adanya pengasoan. Di sepanjang jalan tol, pada ruas-ruas tertentu, kita dibuat sengsara karena susah menemukan pengasoan, merasa terasing.

Di ruas jalan tol Pemalang-Semarang, misalnya, sama sekali tak ada pangasoan. Pada masa uji coba, dulu ada pengasoan darurat di dekat pintu tol Kalikangkung.

Saat itu kami baru bisa shalat Subuh hampir pukul 06.00 di pengasoan darurat di dekat Kalikangkung itu. Saat waktu Shubuh tiba,  tidak menemukan pengasoan di sepanjang jalan tol.

Kami dibuat waswas pas mudik Lebaran kemarin. Hujan turun deras disertai angin, kami sangat ingin berhenti di pengasoan untuk menunggu hujan angin itu reda.

Oohya! Baca juga ya: Anak Sultan Agung Bangun Keraton Baru Ada Pejabat Dijemur, Kenapa Terjadi Kekurangan Beras?

Namun sudah tak ada pengasoan di dekat Kalikangkung. Kami baru bisa beristirahat setelah masuk Semarang, menunggu hingga hujan angin itu reda.

Perjalanan mudik Lebaran di tol bisa membuat para pemudik tidak terasing ketika ada kemacetan panjang. Kami pernah mengalaminya beberapa tahun lalu, masih di jalur tol Cikampek.

Kendaraan benar-benar berhenti. Para pemudik keluar dari tol menggelar alas di sisi tol untuk bercengkerama.

Tapi pemerintah tak ingin ada kemacetan di jalan tol. Kemacetan di jalan tol pernah memunculkan masalah.

Pagi-pagi terlihat banyak kotoran manusia di kanan kiri jalan tol. Banyak pemudik yang kebelet buang hajat, tapi tidak ada tempat buang hajat.

Masuk pengasoan pun sudah tidak bisa. Alhasil, buang hajat di pinggir jalan tol pun jadi.

Mudik lewat jalur pantura bisa menemukan kehidupan sosial di sepanjang perjalanan. Menjadi tidak terasing seperti jika lewat jalan tol.

Oohya! Baca juga ya: Juru Taman Sultan Agung; Jin Penolong Raja-Raja Mataram, Benarkah Orang Italia?

Saat macet parah di kesempatan mudik dulu itu, kami baru bisa tiba di tujuan setelah menempuh perjalanan 23 jam. Biasanya, sembilan jam sudah tiba.

Kini, setelah ada jalan tol, enam jam sudah bisa tiba di tujuan. Pemerintah mengupayakan agar tidak ada kemacetan di jalan tol dengan memberlakukan sistem satu arah.

Pemudik memacu kecepatan, lewat jalur kiri pun tak mengapa. Akibatnya ada mobil yang menyalip dari jalur kiri ke jalur lambat secara mendadak.

Mobil di jalur lambat yang disalip mengerem, mobil di belakangnya yang tak sempat mengerem langsung menabraknya. Mobil yang ditabrak masih melaju, hanya luka sedikit di bagian belakang.

Tapi mobil itu berpenumpang anak-anak. Mereka menangis.

Mobil yang menabrak dan langsung berhenti itu mengalami luka di bagian depan dan belakang. Luka belakang akibat tertabrak oleh mobil kami.

Oohya! Baca juga ya: Sultan Agung Meninggal, Kenapa Pejabat Penting Ditahan di Keraton?

Pagar bambu penutup ruas putar balik. Kehidupan sosial di pantura terlihat dari inisiatif warga menggunakan bambu pembatas itu, membuat orang yang mudik tak terasing seperti jika lewat jalan tol.

Mobil kami lebih hancur lagi. Luka parah karena menabtak mobil yang sedang berhenti mendadak, sehingga tak bisa berjalan sama sekali.

Para pengemudi dan penumpang oada turun, terlibat interaksi. Kehidupan sosial macam apa ini yang tercipta setelah ada tabrakan di jalan tol?

Mudik Lebaran yang benar-benar terasing di perjalanan sepanjang jalan tol yang jauh dari pengasoan.

Priyantono Oemar