Ternyata Ini Alasan Halal Bihalal Dulu Diadakan

Istilah alal bahalal sudah digunakan orang Jawa Katolik pada perayaan Natal 1927 di Surakarta. Mereka meminjam istilah itu dari orang-orang Islam. Pada perayaan Lebaran, April 1927, masyarakat Islam di Surakarta mengadakan alal bihalal di Habiprojo Societat.
Kemunculannya memang memiliki beragam penyebutan. Ada yang menyebut alal bahalal, alal behalal, ada pula yang menyebut alal bihalal. Pada 1939, WJS Poerwadarminta mencatat ada penyebutan baru, yaitu halal bahalal dan halal balal.
Kendati begitu, kalangan pergerakan Indonesia belum menyebut pertemuan untuk saling memaafkan dalam suasana Lebaran itu sebagai alal bahalal ataupun alal bihalal. MH Thamrin, bersama rekan-rekannya mengadakan halal bihalal, tetapi dengan nama Pertemuan Lebaran, agar tak perlu saling berkunjung.
Panitianya disebut Komite Pertemuan Lebaran. Anggotanya ada MH THamrin (Kaum Betawi), Sartono (PNI), Soewandi (Budi Utomo), Mokoginta (Perserikatan Minahasa), dokter Kajadoe (Sarikat Ambon), dokter Sjaaf (Sarikat Sumatra), Mononutu (Perguruan Rakjat), dan Otto Koesoemasoebrata, Iskandarbrata, Prawiradinata (Pasundan).
Kepanitiaan dibentuk untuk menyelenggarakan malam resepsi umum pada Ahad malam, 1-Maret 1930. Senin, 2 Maret 1930 adalah hari Lebaran 1 Syawal. Acara itu diadakan untuk menggantikan kunjungan ke rumah-rumah, yang padat dan menyita waktu selama Lebaran. Demikian Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan.
Koran-koran Belanda menyebut acara Pertemuan Lebaran itu dengan nama Resepsi Lebaran (Lebaran Receptie). Ada juga koran yang menyebutnya Openbare Lebaran Receptie.
Istilah Lebaran Receptie sudah digunakan oleh koran Preangerbode pada Juni 1920. Iklan dari Bupati Garut Raden Toemenggoeng Rangga Soeria Karta Legawa di koran itu menyebutkan, Bupati dan Istri menyatakan tak bisa mengadakan Resepsi Lebaran (Lebaran Receptie) seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Kegiatan halal bihalal di Batavia ini kemudian diadakan juga di Semarang. “Mencontoh Batavia, Semarang juga akan berupaya merayakan Lebaran tidak lagi dengan seringnya bertamu, tetapi dengan menyelenggarakan pertemuan di suatu gedung khusus,” tulis Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie pada Januari 1932.
Dalam pertemuan itu, para sahabat dan kenalan bisa saling memberi ucapan selamat dan menikmati jamuan. “Panitia Lebaran sudah dibentuk di Semarang. Komite itu dipimpin oleh Tuan Saroehoem,” lanjut koran itu.
Majalah milik Muhammadiyah, Soeara Moehammadijah, ditengarai menjadi yang pertama menyebut istilah halal bihalal. Pada Mei 1924, Soeara Moehammadijah menurunkan tulisan karya Rachmad.
Dalam tulisannya berjudul "Hari Raja Iedil Fithri", Rachmad menyebut istilah chalal bil chalal. “Umumnya pada hari raya Iedil Fithri kita sama chalal bil chalal (Arab) (ngapura ingapura, Jawa), sama memakai pakaian yang indah-indah dan bau-bauan yang harum-harum,” tulis Rachmad.
Pada edisi April 1926, pengelola Soeara Moehammadijah mengeluarkan pengumuman resmi bahwa pembaca bisa bersilaturahim antarpembaca menyambut Lebaran, dengan membayar biaya: 0,5 gulden. Pengumuman itu diberi judul "Alal Bahalal".
Priyantono Oemar
