Anak Sultan Agung Bangun Keraton Baru Ada Pejabat Dijemur, Kenapa Terjadi Kekurangan Beras?
Keraton yang dibangun kakek Sultan Agung di Kerto sepertinya tidak tahan lama. Sedangkan keraton baru yang dibangun anak Sultan Agung mulai 1648, pada 1826 masih bisa digunakan sebagai benteng pertahanan yang baik.
Kakek Sultan Agung, Senopati, menggunakan batu bata untuk membangun tembok. Utusan Kompeni, Jan Vos, pada 1624 mencatat, keraton Mataram di Kerto sebagian besar menggunakan kayu, masih digunakan oleh cucu Senopati, Sultan Agung.
Namun, pada masa Mataram dipimpin oleh anak Sultan Agung, Amangkurat I, dibangun keraton baru di Plered sejak 1648, menggunakan batu bata. Ada pejabat dijemur karena menentang pembangunan keraton, tapi mengapa terjadi dua kali kekurangan beras pada masa pembangunan keraton itu?
Oohya! Baca juga ya:
Juru Taman Sultan Agung; Jin Penolong Raja-Raja Mataram, Benarkah Orang Italia?
Pada Juni 1648, utusan Kompeni Van Goens sudah melihat tembok keliling dengan pintu gerbang di alun-alun utara dan di selatan. Plered dan Kerto, keduanya dapat dilihat oleh Van Goens dalam sehari. Artinya, jarak istana baru di Plered dan istana lama di Kerto tidak jauh.
Tujuh tahun kemudian, pembangunan keraton di Plered itu belum juga selesai. Pada 1655 Amangkurat I masih disibukkan oleh pembangunan keraton Plered, sehingga tidak menerima utusan Kompeni yang tiba.
Pembangunan keraton ini dilakukan secara bertahap. Setelah pembangunan tembok setinggi lima depa dengan tebal dua depa selesai, pada 1650 mulai dibangun Sitinggil.
Bagian bawah Sitinggil dibangun dengan batu bata. Di bagian atasnya dibangun apilan.
Apilan menggunakan papan-papan kayu yang tebal. Pada 1651 dimulai pembuatan anjungan di Sitinggil.
Oohya! Baca juga ya:
Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....
Pembangunan istana raja, Prabayasa, juga dimulai, tetapi sumber Jawa menyebut perbedaan waktu. Ada yang menyebut dimulai tahun 1650, ada juga yang menyebut dimulai 1654.
Pada 1653 mulai dibangun kediaman untuk putra mahkota. Tahun 1662 mulai dibangun bangsal di lapangan Srimanganti.
Sebelum keraton baru dibangun oleh Amangkurat I, Sultan Agung telah membuat plered (bendungan air) di Kali Opak, pada 1643. Plered inilah yang kemudian dipakai sebagai nama lokasi keraton baru itu.
Mulai 1651, Amangkurat I melanjutkan penggalian plered. Penggalian diperluas, sehingga menjadi danau yang besar dan ia beri nama Segarayasa.
“Untuk kepentingan pembangunan keraton, dibuatlah sebuah bendungan yang tidak hanya mengendalikan air danau, melainkan juga berfungsi melindungi keraton di sebelah selatan dan timur dari banjir,” kata Dr HJ de Graaf.
Pembangunan keraton baru ini memang tidak berjalan mulus. Ada pejabat yang menentangnya, tetapi anak Sultan Agung ini bertangan besi.
Oohya! Baca juga ya:
“Beberapa pejabat tinggi yang tidak mau turut membantu dalam pekerjaan itu disuruhnya ... ikat dan dibaringkan di paseban, dijemur dalam panas matahari,” ujar Dr HJ de Graaf, mengutip catatan Belanda.
Pejabat dijemur itu tentu untuk memuluskan pelaksanaan pembangunan keraton. Pada 1658, pembangunan Segarayasa dilanjutkan lagi.
Amangkurat I mendatangkan orang-orang dari Karawang untuk memperluas Segarayasa. Gara-gara orang Kerawang dikerahkan untuk perluasan Segarayasa, mereka tidak menanam padi. Alhasil timbul kekurangan beras.
Pada 1661, perluasan Segarayasa belum juga selesai, sehingga dikerahkan 300 ribu orang. Pekerjaan ini dilakukan karena pada bendungan air itu jebol pada musim hujan 1661.
Bendungan besar disapu banjir. sawah-sawah juga diterjang banjir. Lagi-lagi, terjadi kekurangan beras.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini
Pengerjaan bendungan dilakukan lagi setelah jebol itu. Rupanya, anak Sultan Agung ini menginginkan istana yang dikelilingi laut buatan, sehingga ia bisa bermain perahu di danau itu.
Pada 1663 dilakukan penggalian lagi. Setelah jadi, danau itu selain dipakai untuk hiburan bermain perahu, juga berguna untuk pertahanan.
Ada jembatan di atas danau yang mengeleilingi keraton itu. Jembatan itu menghubungkan wilayah luar dengan keraton.
Pada 1666, istana raja (Prabayasa) dikompleks keraton baru di Plered yang dibangun anak Sultan Agung itu terbakar. Maka, dilakukan pembangunan ulang.
Tak ada cerita masih ada pejabat dijemur lagi atau tidak di masa pembangunan ulang ini. Juga tak ada cerita kekurangan pangan lagi.
Pada 1889, sisa-sisa bangunan keraton Plered digunakan untuk membangun pabrik gula oleh Rouffaer. Bahan dasar keraton Plered itu masih dikenali: batu bata disisipi batu alam putih di sana-sini.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]