Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini
Pada 10 Maret 1830, dua hari setelah Diponegoro tiba di Magelang, terjadi gerhana rembulan. Bisik-bisik pun berkembang di lingkungan pengikut Diponegoro bahwa akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.
Tapi hingga tiba Lebaran hari pertama semua berjalan lancar. Dari waktu sahur hingga tiba waktu Tarawih, tidak terjadi sesuatu.
Tapi di hari Lebaran kedua, nelangsa amat hati Diponegoro. Ia tidak merasakan kebahagiaan di hari penuh berkah itu.
Oohya! Baca juga ya:
Kapan Lebaran Idul Fitri Pernah Berbeda?
Letnan Jenderal De Kock yang begitu ramah selama bulan puasa, mebjadi tidak bersahabat sama sekali. Salah satu keramahan De Kock adalah menyediakan lima ekor kerbau per hari untuk keperluan lauk makan sahur dan berbuka.
Pada hari pertama Lebaran, Diponegoro berlebaran di pesanggrahan. Baru pada hari kedua, 28 Maret 1830, Diponegoro melakukan silaturahim ke Letnan Jenderal De Kock.
Karena tujuannya untuk silturahim Lebaran, Diponegoto hanya mengenakan pakaian santai. Tidak mengenakan pakaian kebesarannya.
Salah satu panglimanya mengusulkan dikawal oleh banyak prajurit, tapi Diponegoto menolaknya. Ia hanya diiringi beberapa orang.
Oohya! Baca juga ya:
Lebaran Banyak Orang Datangi Meriam Si Jagur di Batavia, untuk Apa?
Tapi rupanya, De Kock sudah melsngkah jauh di depan Diponegoro. Ia sudah menunggu-,nunggu pertemuannya dengxn Diponegoro usai puasa.
Sejak jauh hari ia membuat rencana tipu daya untuk menyambut Diponegoro pada hari kedua Lebaran itu. Ia siapkan tentara untuk berjaga di pesanggarah yang ditinggal Diponegoro dan di tempat pertemuan Diponegoro-De Kock.
Pada waktu yang tepat, prajurit Belanda melucuti senjata para pengikut Diponegoro di pesanggrahan. Pengawal Diponegoro di tempat pertemuan juga diringkus.
Diponegoro menjadi marah ketika ia tak boleh pulang setelah bersilaturahim. Letjen Hendrik Markus de Kock melarangnya pulang karena harus menyelesaikan urusan hari itu juga.
Berkali-kali Diponegoro mengaku tidak siap untuk berunding. Ia meminta waktu perundingan ditentukan di lain hari, tetapi De Kock tak peduli.
Ia memang tak ada rencana untuk berunding dengan Diponegoro. Karena perintah dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah menangkap Diponegoro.
Oohya! Baca juga ya:
Saat Kakek Sultan Agung Meninggal Terjadi Gerhana Matahari Total, Apa Artinya?
Diponegoro sempat memaki-maki De Kock yang tidak ramah lagi. Ia bahkan sempat memberi kode kepada panglimanya, Basah Martonegoro, tetapi Haji Isa Badarudin mengingatkannya.
Maka niat membunuh De Kock pun ia urungkan. Ia memilih menerima nasib.
Di hari-hari terakhir sebelum ia bersedia berangkat ke Magelang, ia berpindah-pindah di hutan hanya ditemani seorang punakawan. Oa sedang terserang malaria pula.
Orang-,orang dekatnya sudah banyak yang menyerah. Hal itu membuat Diponegoro merasa telah kehilangan pengikut.
Tapi ketika ia berangkat ke Magelang, para prngikutnya berbondong-bondong hatang untuk mengiring. Harga diri Diponegoro sebagai Sultan Ngabdulkamid terangkat kembali.
Oohya! Baca juga ya:
Kakek Sultan Agung Syaratkan Berhenti Rebut Istri Orang kepada Ayah Angkatnya, Sultan Pajang
Tapi begitu De Kock berencana menangkapnya perasaannya terpuruk lagi. Ia merasa seperti emas yang mengambang terbawa arus air sungai.
Nelangsa amat hati Diponegoro di hari Lebaran kedua kali ini. Niat baik bersilaturahim kepada Do Kock yang lebih tua darinya berakhir tidak sesuai keinginannya.
Ia merasa tidak dihargai sama sekali. Pada pertemuan pertama dengan De Kock pada 8 Maret 1830, Diponegoro juga merasa tidak dihargai karena De Kock tidak menyapanya dengan panggildn sultan.
De Kock lalu mengirim Diponegoro ke Semarang hari itu juga menggunakan kereta kuda yang juga sudah disiapkan jauh hari.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)
- Pembalasan Dendam Diponegoro, karta Martin Bossenbroek (2023)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]