Kakek Sultan Agung Syaratkan Berhenti Rebut Istri Orang kepada Ayah Angkatnya, Sultan Pajang
Sultan Pajang memberi tiga perintah kepada Adipati Mataram Ngabehi Senopati, kelak menjadi Panembahan Senopati. Hal itu ia lakukan setelah mendengar perilaku anak angkatnya itu sudah di luar batas untuk ukuran adipati bawahan Pajang.
Senopati yang kelak menjadi kakek Sultan Agung itu bersedia menenuhi salah satu perintah itu tetapi dengan syarat. Syaratnya: Sultan Hadiwijoyo harus berhenti dari kebiasaannya merebut istri orang.
Kelak, kebiasaan Sultan Pajang itu ternyata juga dilakukan oleh keturunan Senopati. Cucu Sultan Agung bahkan sudah melakukannya pada usia 18, jauh sebelum menjadi raja dengan gelar Amangkurat I.
Oohya! Baca juga ya:
Sebab Pati Memberontak Sultan Agung dan Panembahan Senopati, Dua Raja Mataram
Sutowijoyo diangkat menjadi adipati Mataram setelah ayahnya, Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pemanahan), meninggal pada 1584. Ia diangkat di Pajang disaksikan oleh orang-orang Pajang dalam suasana damai.
Penunjukan oleh Sultan Pajang itu sesuai dengan wasiat ayahnya. Sebelum meninggal, Ki Ageng Pemanahan meminta saudara sepupuya, Ki Juru Martani, agar mengangkat Sutowijoyo sebagai penggantinya.
Oleh Hadiwijoyo, Sutowijoyo diberi nama Ngabehi Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama untuk menjalankan pemerintahan di Mataram. Ia diberi keleluasaan selama setahun pertama untuk tidak perlu menghadap ke Pajang.
Selama setahun itu ia sibuk bekerja untuk Mataram. Ia perintahkan penduduk membuat batu bata untuk mrmbangun tembok.
Oohya! Baca juga ya:
Kenapa Kakek Sultan Agung tak Pakai Gelar Sultan Meski Jadi Penerus Sultan Pajang?
Ia sambut tamu-tamu yang datang dengan jamuan-jamuan makan. Ia biarkan rambut tumbuh panjang.
Setahun telah terlewati. Senopati belum juga menghadap ke Pajang.
Pamxn sepupunya, Ki Juru Martani, yang telah ia angkat menjadi patih dengan nama Adipati Mandaraka, mengingatkannya. Bahkan sempat memarahinya karena Senopati tidak mengindahkannya.
Karena Senopati tak juga kunjung menghadap karena sibuk membangun dan menjamu tamu, Sultan Pajang mengirim utusan. Utusan itu membawa tiga perintah.
Senopati tidak menerima utusan itu secara resmi. Ia sedang berkuda di Lipuro, utusan menyusulnya ke sana.
Utusan menyampaikan perintah raja dan Senopati tetap berada di atas kuda. Senopati diperintah melakukan tiga hal: Tidak boleh sering mengadakan jamuan, harus potong rambut, dan harus menghadap ke Pajang.
Oohya! Baca juga ya:
Hari Nelayan, Kiara: Nelayan Kecil dan Tradisional Masih Terancam Keberadaannya
Senopati menjawabnya dengan nada tinggi kepada utusan. Ia menolak dua perintah, yaitu menghentikan jamuan dan potong rambut.
Ia pun menyatakan alasannya. Jamuan makan sudah ia jadikan sebagai jamuan politik, untuk menyenangkan tamu-tamunya, para oenguasa di negeri-negeri lain.
Dengan cara itu, kakek Sultan Agung itu ingin terlihat lebih tinggi posisinya dari para penguasa negeri lain. Ia bahkan berani memberi nama-nama baru kepada tamu-tamunya.
Nama baru itu adalah nama negeri kekuasaan mereka. Misalnya, penguasa Singosari ia beri nama Pangeran Singosari. Menurut Dr HJ de Graaf, pemberian nama baru berdasarkan nama negeri bisa diartikan sebagai pernyataan hak Senopati atas negeri-negeri itu.
Untuk potong rambut, ia menganggap sebagai pekerjaan sia-sia. Sebab, setelah dipotong, rambut itu akan tumbuh lagi.
Oohya! Baca juga ya:
Pernah tak Puasa, Sultan Agung Rayakan Lebaran dengan Garebek Syawal (Grebeg Syawal)
Kakek Sultan Agung itu menyatakan hanya bersedia mematuhi satu perintah: bersedia menghadap ke Pajang. Itu pun dengan syarat.
Ia bersedia menghadap ke Pajang jika ayah angkatnya itu sudah berhenti merebut istri orang dan anak perempuan orang yang menjadi bawahan. Pun jika Sultan Pajang sudah berhenti menikahi dua perempuan kakak beradik.
Mendengar jawaban dari kakek Sultan Agung itu, utusan tidak berani menyampaikannya kepada Sultan Pajang. Yang ia sampaikan, kakek Sultan Agung itu akan mematuhi semua perintah Sultan Pajang.
Tapi Sultan Pajang sudah merasakan bahwa anak angkatnya itu memiliki hasrat menjadi raja. Perilaku kakek Sultan Agung itu sudah menperlihatkannya.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)
- Babad Tanah Jawi, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]