Lincak

Kenapa Kakek Sultan Agung tak Pakai Gelar Sultan Meski Jadi Penerus Sultan Pajang?

Kakek Sultan Agung tidak menggunakan gelar sultan meski ia mewarisi tahta dari Sultan Pajang. Mengapa ia memakai gelar Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama?

Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal, Danang Sutowijoyo --yang kelak menjadi kakek Sultan Agung-- meneruskan kekuasaan di Mataram. Ia menjadi adipati di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang.

Ketika ayah angkatnya, Sultan Pajang Hadiwijoyo meninggal, ia harus membantu adik angkatnya Pangeran Benowo. Tahta Pajang telah diambil menantu Sultan Hadiwijoyo, Adipati Demak Aryo Pangiri, dan

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Benowo harus merebut tahta dari kakak iparnya, karena telah mengecewakan orang-orang Pajang setelah merebut tahta darinya. Benowo kemudian menyerahkan tahta Pajang kepada Sutowijoyo, tetapi mengapa kakek Sultan Agung itu tidak memakai gelar sultan?

Oohya! Baca juga ya:

Begini Awal Mula Kakek Sultan Agung Merebut Pajang Bersama Adik Angkatnya

Kakak ipar Benowo adalah Adipati Demak Aryo Pangiri. Ia menjadi raja Pajang atas keinginan Sunan Kudus.

Pangiri mengganti hukum Pajang peninggalan Sultan Hadiwijoyo, dan membawa orang-orang Demak. Mereka dijadikan pejavat di Pajang dengan pangkat lebih tinggi dari orang-orang Pajang.

Pangiri juga mengambil sepertiga tanah orang-orang Pajang. Tanah-tanah itu diberikan kepada orang-orang Demak.

Itulah yang membuat Benowo marah. Ia meminta bantuan kepada kakak angkatnya, Sutowijoyo.

Oohya! Baca juga ya:

3 Sahabat Nabi tak Ikut Perang Tabuk, Kenapa Dikucilkan 50 Hari?

Awalnya Sutowijoyo nenolak. Tetapi Benowo mengatakan lebih baik mati jika Pajang tetap dipinpin Pangiri. 

Maka Benoeo berjanji menyerahkan Pajang kepada Sutowijoyo jika Sutowijoyo bersedia mrmbantu. Kakek Sultan Agung itu pun akhir bersedia membantu merebut Pajang dari Pangiri.

Benowo sempat memimpin Pajang selama setahun setelah Pangiri kalah. Ia kemudian memilih mundur dari dunia politik.

Ia memilih jalur dakwah di luar keraton. Ia pun kemudian menyerahkan Pajang kepada Sutowijoyo.

Kakek Sultan Agung itu menerimanya. Namun ia tak ingin berkeraton di Pajang. Ia memerintah dari Mataram, dan Mataram ditingkatkan statusnya sebagai kerajaan.

Maka, Pajang yang berada di bawah Mataram, dipimpin oleh seorang adipati. Posisi jabarannya diserahkan kepada Pangeran Gagakbening, adik Sutowijoyo.

Oohya! Baca juga ya:

27 Maret Soeharto Jadi Presiden, Ini Nasib Istana Kepresidenan

Gagakbening nenjabat mulai tahun 1588. Ia tidak mau tinggal di keraton lama, dan memperluas keraton, temboknya digeser  ke sebelah timur.

Pada 1591 Gagakbening meninggal. Posisi adipati diberikan kepada Raden Sidowini, anak Pangeran Benowo.

Sidowini menjadi adipati Pajang pada 1591-1617. Ia memakai nama ayahnya, menjadi Benowo II.

Lalu apa nama Sutowijoyo yang telah menjadi raja Mataram. Ia tidak meneruskan pemakaian gelar sultan seperti yang dipakai oleh pendiri Pajang Sultan Hadiwijoyo.

Kakek Sultan Agung itu menjadi raja Mataram pertama. Ia memakai nama Panembahan Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama.

Oohya! Baca juga ya:

Apa yang Dilakukan Nabi Muhammad Saat Terjadi Gerhana Matahari, Sehingga Para Sahabat Nabi Mencarinya?

Pulang dari Pajang setelah menangkap Pangiri dan Benowo sudah menjadi raja, orang-orang Mataram mengangkatnya sebagai panembahan. Sutowijoyo dipanggil dengan nama Panembahan Senopati.

"Senopati juga hampir memakai gelar raja Pajang, yakin Sultan. Tetapi kita tahu bahwa ia mungkin tidak pernah dinamakan sultan, sehingga akan sulitlah pula bagi Senopati untuk membanggakan diri dengan gelar itu," kata Dr HJ de Graaf.

Kesimpulan De Graaf, Senopati tidak memakai gelar sultan karena di Pajang gelar itu tidak lebih tinggi dari pangeran adipati. Sedangkan panembahan setara dengan pangeran ingalaga.

Adipati setingkat dengan posisi bupati. Panembahan setara dengan panglima perang.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]