Pitan

3 Sahabat Nabi tak Ikut Perang Tabuk, Kenapa Dikucilkan 50 Hari?

Tiga sahabat Nabi tidak ikut Perang Tabuk karena menunggu panen kurma dan berkumpul dengan kerabat yang pulang dari merantau. Mengapa meerka kemudian dikucilkan selama 50 hari?

Musuh yang akan dihadapi cukup besar. Cuaca juga sangat panas dan jarak begitu jauh, tapi para sahabat Nabi tetap menyiapkan perlengkapan perang.

Kali ini Nabi Muhammad memberi tahu tujuan pasukan akan melakukan Perang Tabuk kepada para sahabat Nabi. Dalam perang-perang lain, Nabi tidak eksplisit menyebut daerah tujuan, agar rencana tidak bocor ke musuh.

Kendati begitu, ada tiga sahabat Nabi yang tidak ikut berangkat ke Perang Tabuk. Mengapa mereka dikucilkan 50 hari?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Agung Tumpas Pemberontakan, Pajang Tertipu Janji Adipati Manduro

Setelah Nabi dan pasukan berangkat ke Tabuk, mereka menyadari bahwa yang tidak ikut perang hanyalah para orang tua yang sudah uzur dan orang-orang munafik. Sebelum Nabi berangkat, orang-orang munafik ini bahkan telah membujuk orang-orang Muslim agar tidak berangkat perang karena cuaca panas.

“Allah SWT menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya yang artinya: “Api neraka jahanam lebih oanas lagi.” kata Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi mengutip Alquran Surah At-Taubah ayat 81.

Ketiga sahabat yang tidak ikut perang itu ialah: Ka’ab bin Malik RA, Hilal bin Umayyah RA, dan Murarah bin Rabi’ RA.Mereka memiliki alasan masing-masing tetapi intinya karena tergoda oleh kenikmatan harta.

Saat persiapan perang dilakukan, Murarah bin Rabi’ sedang menunggu masa panen kebun kurma yang terlihat bagus. Baginya, jika ia ikut perang, kurma yang ditunggu-tunggu itu akan mubazir karena tidak dipanen.

Ia belum pernah absen perang. Maka, jika kali ini ia memilih memanen kebun daripada perang, ia merasa pastilah akan dimaklumi oleh Nabi.

Oohya! Baca juga ya:

Bagaimana Firaun yang Mati Saat Mengejar Musa Bisa Ditemukan?

Sedangkan Hilal bin Umayyah tidak ikut berangkat perang karena keluarga besarnya yang telah lama merantau sedang berkumpul di Madinah. Ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Hilal juga belum pernah absen perang. Maka, jika kali ini ia memilih berkumpul dengan keluarga pastilah Nabi akan memaklumi.

Sedangkan Ka’ab bin Malik, saat Nabi memperiapkan perang, ia sedang memiliki dua ekor unta. Tak pernah ia memiliki unta sampai dua ekor.

Ia berniat ikut perang, tetapi tak segera menyiapkan alat-alat perangnya. Kesibukannya memelihara dua ekor unta itu dan persiapan panen kurma membuat ia menunda-nunda persiapan perang.

Pikirnya, menyiapkan peralatan perang cukuplah satu-dua hari. Sehingga, ia bisa segera menyusul rombongan Nabi.

Selain itu, Ka’ab juga sedang menunggu masa panen kurma, jika ia tinggalkan tentu sayang kurma-kurma itu dibiarkan tak dipanen. Toh, jika pun ia kemudian tidak bisa ikut perang, yang ikut perang juga sudah banyak, sehingga jika ia tidak ikut pun tak akan diketahui oleh Nabi.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Diponegoro tak Jadi Membunuh Jenderal Belanda Sebelum Ia Ditangkap oleh Jenderal Itu?

“Saat itu aku telah berusaha, namun ternyata perlengkapan belum siap juga. Ketika kuperhatikan keadaan sekeliling Madinah Thayyibah, ternyata yang kulihat hanyalah orang-orang yang sudah dikenal kemunafikannya dan orang-oran yang uzur,” kata Ka’ab bin Malik.

Ketika Nabi dan pasukan telah kembali ke Madinah, tiga sahabat yang tak ikut perang ini menjadi gelisah. Jika Nabi mengetahuinya, apa alasan yang akan mereka ajukan kepada Nabi?

Jika mereka berbohong dan kemudian Nabi memakluminya, tentu masih ada Allah yang akan murka terhadap mereka. Maka, ketiganya memilih berkata jujur kepada Nabi.

Seperti biasa, setiap pulang dari perjalanan atau perang, Nabi akan masuk masjid untuk menunaikan Shalat Tahiyyatul Masjid. Setelah itu, Nabi akan memberi kesempatan kepada orang-orang yang ingin menemuinya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Ka’ab, Murarah, dan Hilal juga menemui Nabi. Saat berada di Tabuk, Nabi sempat menanyakan keberadaan Ka’ab yang tidak terlihat batang hidungnya.

Oohya! Baca juga ya:

Tiga Tokoh Grobogan Keturunan Raja Majapahit Ini Bantu Joko Tingkir di Keraton Pajang

“Ya Rasulullah, harta dan kesejahteraannya telah memikat dirinya,” jawab seorang sahabat.

“Itu tidak benar. Selama ini kita mengenal Ka’ab seorang yang baik,” sahut Mu’adz RA.

Saat Ka’ab hendak menemui Nabi di masjid, Nabi melihat kedatangannya. Tapi, saat ia memberi salam, Nabi memalingkan muka, sebagai tanda marah.

“Ya Rasulullah, engkau berpaling dariku. Aku bersumpah, aku bukan munafik dan tidak ada keraguan sedikit pun dalam keimananku,” kata Ka’ab.

Sebelum Ka’ab mendapat waktu untuk menemui Nabi, orang-orang munafik telah menemui Nabi untuk menyampaikan berbagai macam alasan yang membuat mereka tidak bisa ikut perang. Kata Ka’ab, secara lahir Nabi menerima alasan mereka, tetapi secara batin Nabi menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.

Dengan kepandaiannya berbicara, Ka’ab bisa saja berbohong seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik itu, tetapi ia tidak melakukannya. “Berdirilah, nanti Allah SWT sendiri yang akan memutuskan masalahmu,” kata Nabi setelah mengakui Ka’ab berkata jujur.

Oohya! Baca juga ya:

Untuk Apa Kakek Sultan Agung Minta Perhiasan Kerajaan Pajang?

Setelah pulang, Ka’ab dimarahi oleh banyak orang di kaumnya karena memilih jujur sehingga akan mendapat hukuman dari Allah. Mereka menyesalkan Ka’ab tidak memohon ampun kepada Nabi, yang pasti akan mengampuninya.

“Adakah orang lain yang diperlakukan sepertiku?” tanya Ka’ab merespons orang-orang dari kaumnya itu.

Mereka menjawab ada Murarah dan Hilal. Ka’ab kenal dengan dua sahabat Nabi ini, yang ternyata juga tidak ikut perang dengan alasan yang sama. Mereka juga jujur mengenai alasannya tidak ikut berperang.

“Kemudian Baginda Nabi SAW melarang orang-orang untuk berbicara dengan kami bertiga,” kata Ka’ab.

Hilal dan Murarah memilih mengurung diri di rumah, menangis meratapi nasib. Ka’ab masih pergi ke pasar, shalat berjamaah di masjid, dan menghadiri majelis Nabi seperti biasa.

Oohya! Baca juga ya:

Diserbu Sultan Agung, Penguasa Pasuruan Meratapi Nasi Kering yang Berceceran

Tetapi orang-orang Muslim Madinah benar-benar mematuhi Nabi untuk menghindari mereka. Salam yang ia ucapkan tidak dibalas oleh mereka, bahkan oleh kerabatnya sendiri.

“Suatu ketika, setelah shalat berjamaah, aku berdiri shalat sunah didekat beliau. Aku melirik apakah beliau melihatku atau tidak. Ternyata ketika aku sibuk dengan shalatku, beliau memandangku, tetapi ketika aku memandang beliau, beliau memalingkan wajah,” kata Ka’ab.

Dunia menjadi sempit dan berat bagi Ka’ab. Ia bahkan sampai berpikir jika ia meninggal sebelum mendapat ampunan, akan adakah yang akan menshalatinya?

Lebih-lebih jika Nabi meninggal terlebih dulu sebelum memberi ampunan kepadanya. Bagaimana hidupnya yang dikucilkan hingga akhir hayat.

Di hari keempat puluh, datang utusan Nabi, meminta Ka’ab menemui Nabi. Kepada Nabi, Ka’ab pun mengadu.

“Ya Rasulullah, karena Engkau berpaling, orang-orang kafir pun menghendaki diriku memasuki agama mereka,” kataKa'ab.

 

Oohya! Baca juga ya:

Beringin dan Istana Emas di IKN, Ini Kata Serat Kaca Wirangi

Suatu hari, Ka’ab pernah didatangi orang kafir yang mendegar dirinya sedang dikucilkan oleh Muslim Madinah. Ia menawarkan pertolongan bergabung dengan mereka sehingga sehingga mendapat komunitas baru yang tidak menyia-nyiakan keberadaannya.

Lalu Nabi meminta Ka’ab untuk berpisah sementara dengan istrinya. Hal serupa ternyata juga diperintahkan kepada Hilal dan Murarah, tapi istri Hilal meminta kepada Nabi dibolehkan tetap bersama Hilal karena Hilal sudah tua.

Nabi mengizinkan istri Hilal merawat Hilal. Namun, melarang mereka berhubungan suami-istri.

“Ya Rasulullah, ia sudah tidak memiliki keinginan lagi semenjak peristiwa ini menimpanya. Ia menghabiskan waktunya dengan menangis sampai sekarang,” jawab istri Hilal.

Oohya! Baca juga ya:

Joko Tingkir, Cucu Raja Majapahit yang Menurunkan Presiden Indonesia

Ka’ab mendapat saran untuk mengikuti jejak istri Hilal. Tapi ia tak akan meminta istrinya melakukan hal itu karena ia masih muda.

Ka’ab berpisah dengan istrinya selama 10 hari. Nabi Muhammad mengampuninya, demikian juga terhadap Hilal dan Murarah.

Hilal kemudian menyedekahkan seluruh kebunnya di jalan Allah. Kebunnya itu telah membuatnya tidak ikut berperang.

Murarah memutuskan hubungan dengan keluarga besarnya. Keluarga besarnya itu yang menyebabkan ia tidak ikut bereprang.

Kepada Nabi, Ka’ab menyatakan akan menyedekahkan semua hartanya di jalan Allah. Nabi mencegahnya.

Nabi meminta Ka'ab menyisakan harta agar ia bisa meneruskan hidup. Ka’ab hanya menyisakan harta rampasan yang ia perolah dari Perang Khaibar.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Kitab Fadhilah Amal, karya Syekh Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]