Lincak

Diserbu Sultan Agung, Penguasa Pasuruan Meratapi Nasi Kering yang Berceceran

Foto adegan film Sultan Agung. Sultan Agung melakukan ekspansi. Pasuruan ia serbu, penguasa Pasuruan pun meratapi bekal nasi kering yang berceceran saat terjatuh dalam pelariannya.

Prajurit Mataram berangkat ke Pasuruan. Sultan Agung memerintahkan mereka bersiaga di selatan dan tenggara kota, menunggu hari Jumat untuk menyerang Pasuruan.

Setelah mendapat kepungan dari prajurit Mataram, penguasa Pasuruan Tumenggung Kapulungan melarikan diri bersama istrinya. Istrinya membawa bekal nasi, Kapulungan membawa bekal nasi kering dengan lalap cabai merah, garam, dan terasi, untuk berjaga-jaga jika mereka terpisah.

Adipati Pajang juga ikut dalam ekspedisi menaklukkan Pasuruan ini. Panembahan Puruboyo, Panembahan Juminah, juga ikut dalam ekspedisi ini selain para adipati lainnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Tiga Tokoh Grobogan Keturunan Raja Majapahit Ini Bantu Joko Tingkir di Keraton Pajang

Sultan Agung juga mengirim mata-mata untuk mengawasi prajurit yang patuh dan yang mbalelo. Ki Joyosuponto, mata-mata itu, diberi tugas untuk menjaga jalan lintas. Ia diperintahkan untuk melarang orang lain melintas.

“Jika ada yang berani menerjang laranganmu dan tidak jujur mengabdi padaku, segera laporkan,” kata Sultan Agung kepada Joyosuponto.

Di Jurang Perahu, Joyosuponto membuat pagar. Hal ini membuat para adipati merasa heran. Tetapi Panembahan Puruboyo menduga Joyosuponto sedang menjalankan perintah Sultan Agung.

Adipati Manduro marah besar dengan tindakan Joyosuponto memagari jalan. Ia sudah hendak menerjang pagar itu, tetapi dicegah oleh Panembahan Puruboyo.

Di Pasuruan, pada hari yang telah ditentukan, yaitu malam Jumat, pasukan Mataram mengepung keraton. Malam Jumat itu pula, Tumenggung Kapulungan mengumpulkan prajuritnya untuk bersiap perang hingga titik darah penghabisan.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Diponegoro tak Jadi Membunuh Jenderal Belanda Sebelum Ia Ditangkap oleh Jenderal Itu?

Meski berapi-api mengobarkan semangat perang melawan Mataram, dalam hati Kapulungan merasa ciut juga. “Bagaimana nasibku nanti kalau terjadi perang? Aku pasti dikejar dan tidak mungkin menang,” kata Kapulungan.

Sebelumnya, Kapulungan pernah melawan Mataram. Dengan jumlah prajurit yang besar, Kapulungan melawan Mataram yang berprajurit sedikit, tetap saja kalah.

“Di sepanjang jalan amat sakit perutku,” kata Kapulungan mengenang perang melawan Mataram di Pasiwalan.

Maka, ia memutuskan untuk melarikan diri. Ia meminta istrinya segera menyiapkan diri, membawa pakaian seadanya, membawa nasi dan air minum. Tak lupa ia minta disiapkan pula karak, yaitu nasi kering, beserta lalapnya, yaitu cabai merah, garam dan terasi.

Ia sendiri yang akan membawa karak itu, untuk berjaga-jaga jika di perjalanan nanti mereka terpisah. Berdua naik kuda, istri Kapulungan membawa gendongan bekal yang berat.

Ia lalu memberi aba-aba kepada para prajuritnya untuk menyambut pasukan Mataram. Tapi, kuda Kapulungan tidak menuju ke arah posisi prajurit Mataram, melainkan berbelok ke arah Surabaya.

Oohya! Baca juga ya:

Menurut Bilal, Ini Alasan Nabi Muhammad tidak Menumpuk Harta

Melihat hal itu, prajurit Pasuruan pun mengumpat tumenggungnya. “Majikan gila. Berhentilah, nanti kupenggal.”

Prajurit Mataram mengejar Tumenggung Kapulungan. Ia segera memacu kudanya kencang-kencang hingga terjatuh. Bekal nasi kering berceceran, alat untuk memadat juga hilang.

Kapulungan mencoba merangkak bangun, untuk berlari mencari persembunyian. Istrinya ia tinggalkan begitu saja.

Berlari kepayahan, ia meratapi nasib. “Celakanya diriku ini. Karak habis berceceran, kuda hilang, istri pun hilang. Nasi tak ada, apa lagi yang akan dimakan?”

Saat itu ia pun sakau. Ingin madat, tetapi alatnya pun hilang.

Oohya! Baca juga ya:

Sahabat Nabi yang Masih Kanak Ini Menyelamatkan Unta-Unta Nabi dari Perampokan

Esok harinya, Jumat, pasukan Mataram berhasil merebut Pasuruan. Perempuan-perempuan yang masih tinggal, diboyong ke Mataram bersama barang-barang hasil jarahan.

Tindakan Adipati Manduro yang hendak menerjang pagar yang dibuat Joyosuponto dilaporkan kepada Sultan Agung. Tapi Sultan Agung meminta agar masalah Adipati Manduro tidak usah diperpanjang, karena ia sedang ingin memuaskan hatinya setelah berhasil merebut Pasuruan.

Di hari lain, Sultan Agung menerima laporan bahwa Adipati Pajang berbesanan dengan Adipati Tuban. “Apa maksudnya akan membangkang?” tanya Sultan Agung.

Joyosuponto pun melaporkan tindakan Adipati Manduro hendak menerjang pagar saat penyerbuan Pasuruan. “Apa memang begitu? Apa Si Paman Manduro demikian juga? Ia orang tua, apa mungkin ia akan membangkang?

Di kemudian hari, Adipati Manduro berkirim surat kepada Adipati Pajang. “Bersama ini, Adinda, saya ingin membicarakan maksud Adinda untuk berbalik melawan Mataram.

Waktunya sudah tepat. Kalau nanti perang melawan Raja, saya akan berada di belakang. Percayalah, serahkan pada saya kalau terjadi perang,” kata Manduro di dalam suratnya.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku I, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sodakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]