Sekapur Sirih

27 Maret Soeharto Jadi Presiden, Ini Nasib Istana Kepresidenan

Istana Negara pada 1888. Di masa penjajahan Belanda disebut Istana Rijswijk. Ibu Negara Tien Soeharto mengindonesiakan Istana Kepresidenan peninggalan Belanda.

Nasib Jenderal Soeharto berbeda dengan nasib Jenderal Hendrik Markus de Kock. Tugas keduanya semula sama, Soeharto memulihkan keamanan dan ketertiban umum setelah peristiwa G30S/PKI; sedangkan De Kock memulihkan keamanan Jawa setelah Perang Diponegoro meletus.

De Kock sempat menjadi pejabat Gubernur Jenderal, yaitu pada 1826, tetapi ia batal diangkat menjadi gubernur jenderal. Soeharto menjadi pejabat presiden pada 1967 dan pada 28 Maret 1968 diangkat menjadi presiden oleh MPRS.

Tien Soeharto tahu arti istilah pejabat presiden, MPRS bisa saja mengangkat orang lain sebagai presiden definitif. Tapi, ketika Soeharto diangkat sebagai presiden apa yang akan dilakukan oleh Tien Soeharto setelah cukup lama hidup di lingkungan prajurit? Mengurusi nasib Istana Kepresidenan?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Berubah Rupa, Guru Sultan Agung Ini Dikira Genderuwo dan Bikin Marah Para Wali

Sebagai Ibu Negara, Tien Soeharto selalu mendampingi Presiden Soeharto dalam tugas-tuags negara. Sewaktu menjadi istri pangkostrad dan pelaksana menhankam/pangad, Tien Soeharto menghabiskan waktu untuk dua organisasi yang ia prakarsai: Ikatan Keluarga Staf Hankam dan Rukun Ibu Ampera.

Setelah menjadi Ibu Negara, ia menambah kesibukan dalam kegiatan sosial. “Aktivitas sosial menjadi fokus kegiatannya, di damping perhatiannya mulai diarahkan kepada Istana Kepresidenan, yaitu Istana Merdeka dan Istana Negara,” kata Abdul Gafur.

Di luar dua istana itu, ada 4mpat istana lagi, yaitu Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Yogyakarta (Gedung Agung), dan Istana Tampak Siring di Bali. Istana Tampak Siring menjadi satu-satunya istana yang bukan peninggalan pemerintah kolonial.

“Istana Merdeka dan Istana Negara menyimpan banyak riwayat pengambilan keputusan puncak pimpinan penjajah, baik Belanda maupun Jepang yang menindas hak-hak azasi rakyat Indonesia,” kata Abdul Gafur.

De Kock mendapat tugas untuk memulihkan keamanan di Jawa setelah Perang Diponegoro meletus dari Gubernur Jenderal Van der Capellen. Surat tugas itu dikeluarkan oleh Capellen di Istana Rijswijk pada 26 Juli 1825, lima hari setelah Diponegoro memulai perang.

Oohya! Baca juga ya:

Pada 28 Maret Diponegoro Ditangkap, Penangkapnya Berpesta Sebelumnya

“Ketika Van den Bosch menjadi gubernur jenderal, istana ini menjadi saksi pengambilan keputusan Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang setelah dilaksanakan memikin rakyat Indonesia sangat menderita dan sengsara,” kata Abdul Gafur.

Tapi, pernyataan Abdul Gafur ini tentu tak sepenuhnya benar. Sebab, gubernur jenderal Hindia Belanda sering mengambil keputusan di Istana Bogor, tempat tinggalnya. Pelantikan Sultan Hamengkubuwono II menjadi raja Yogyakarta lagi, dilakukan di Istana Bogor pada 17 Agustus 1826.

Istana Rijswijk (Palaes te Rijswijk) dibangun pada 1796. Setelah Indonesia merdeka, diganti nama menjadi Istana Negara.

Sedangkan Istana Merdeka dibangun pada 1873, dikenal pula sebagai Istana Gambir. Dulu bernama Istana Koningsplein (Palaes te Koningsplien).

“Pada 27 Desember 1949, Istana Gambir (nama Istana Merdeka dulu) menjadi saksi sejarah berakhirnya penjajahan Belanda secara resmi,” uajra Abdul Gafur.

Di Amsterdam, penandatangan kesepakatan Konferensi Meja Bundar dilakukan. Bersamaa waktu dengan penandatangan itu, di Jakarta pukul 17.32, juga dilakukan upacara di Istana Merdeka.

Oohya! Baca juga ya:

Sunan Kalijaga Meninggal di Berbagai Daerah, Mengapa Sultan Demak Mengurung Diri?

“Dalam ruang resepsi Istana Gambir, pada pukul 17.32, protokol penyerahan pemerintahan di Indonesia ditandatangani oleh Wakil Tinggi Mahkota Belanda, AHJ Lovink, dan Ketua Delegasi Republik Indonesia Serikat Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Setelah itu, diadakan upacara di halaman Istana Merdeka. Bendera Merah Putih Biru diturunkan dari puncak atap istana, diiringi lagu kebangsaan Belanda.

Lalu dinaikkan bendera Merah Putih. Lagu Indonesia juga dinyanyikan untuk mengiringi pengerekan Merah Putih.

“Sebagian rakyat Jakarta ikut memadati halaman depan di luar pagar Istana Gambir tidak dapat lagi menahan emosi. Bahagia, terharu, bercampur baur jadi satu sehingga meledaklah sorak sorai pekikan ‘merdeka!’ merdeka!’, padahal Merah Putih masih dikerek dan lagi kebangsaan masih berkumandang,” kata Abdul Gafur.

Setelah Soeharto menjadi presiden, ia dan keluarga tidka tinggal di Istana Merdeka. Bagaimana nasib Istana Merdeka? Tien Soeharto memiliki keinginan kuat menambah kecantikan Istana Merdeka dengan khazanah budaya Nusantara.

Oohya! Baca juga ya:

Beringin dan Istana Emas di IKN, Ini Kata Serat Kaca Wirangi

“Sehingga dapat lebih memancarkan wajah budaya bangsa. Dengan kat alain, Ibu Tien Soeharto menghendaki pengindonesiaan istana,” kata Abdul Gafur.

“Istana Presiden itu adalah peninggalan zaman belanda. Bangunannya sudah kuno, oleh karena itu saya berusaha agar isinya tampak lebih mencolok corak keindonesiannya,” kata Tien Soeharto.

Ada ruangan yang diberi nama Ruang Jepara, diisi dengan ukir-ukiran Jepara. Mebel berukir Jepara, dinding dihias kayu ukir Jepara dengan kisah Ramayana.

Dua pilar di dalam istana juga diselubungi kayu jati berukir Jepara. “Demikian pula di ruang makan, pintu-pintunya diberikan ukiran sehingga tampak lebih serasi,” ujar Tien Soeharto.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Kuasa Ramalan, karya Peter Carey (2012)
- Siti Hartinah Soeharto, Ibu Negara Indonesia, Karya Abdul Gafur (1992)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]