Berubah Rupa, Guru Sultan Agung Ini Dikira Genderuwo dan Bikin Marah Para Wali
Sultan Demak dihadap oleh oara wali yang baru pulang dari berkelana. Mereka ingin bertemu dengan Kaki Walaka, rakyat jelata yang tinggal di istana.
Walaka terlebih dulu berubah rupa baru kemudian menemui para wali. Ia menjadi sosok tinggi besar, bercambang-jenggot, dan berbulu dada lebat.
Sultan Demak dan para wali sempat menduganya sebagai genderuwo. Rupanya mereka tak tahu bahwa Kaki Walaka adalah Sunan Kalijaga yang kelak juga menjadi guru Suktan Agung, raja Mataram.
Oohya! Baca juga ya:
Pada 28 Maret Diponegoro Ditangkap, Penangkapnya Berpesta Sebelumnya
Kaki Walaka peenah dubunuh oleh Sunan Muryopodo. Tapi ia hidup lagi dan malah bisa tinggal di istana serta berubah wujud.
Walaka mengaku menjadi tinggi besar karena hidup enak di istana atas kemurahan hati Sultan. Sunan Muryopodo menegahnya,karena ia dan wali lain tidak bertambah grmuk, bahkan banyak yang semakin kurus.
Sunan Muryopodo lalu menuduh Kaki Walaka tidak pernah mengolah pikir, sehingga bisa tumbuh menjadi tinggi besar. Sedangkxn para wali menjadi kurus karena siang malam memikirkan negara dan rakyat.
Ucapan Sunan Muryopodo itu membuat Kaki Walaka tertawa. Ia menganggap Sunan Muryopodo telah asal bicara ketika membuat perbandingan itu.
Oohya! Baca juga ya:
Beringin dan Istana Emas di IKN, Ini Kata Serat Kaca Wirangi
Waldka segera mengajukan beberapa pertanyaan untuk menguji Sunan Muryopodo. Benarkah makanan menbuat gemuk seseorang? Benarkah yang menggunakan pikiran hanya para wali?
Benarkah para wali tidak perlu makan tidur? Benarkah yang memikul beban negara itu hanya wali?
Banyak sekali pertanyaan Kaki Walaka. Ia juga bertanya mengenai sifat-sifat Allah.
Ia juga bertanya soal para wali yang selalu berlindung di bawah kewibawaan raja. Ia pun bertanya mengensi sifat iri dengki yang kemungkinan dimiliki oleh para wali.
Sunan Muryopodo juga ditanya mengenai sifat angkara yang tidak menyukai sesama hidup. Sifat-sifat itu, menurut, Walaka adalah sifat-sifat hewan.
Jika para wali masih memiliki hal-hal yang ia tanyakan itu, menurut Walaka, ia tak akan memberi makan kepada mereka jika mereka menjadi abdinya.
Oohya! Baca juga ya:
Festival Bamasak Hai Mnahat Dukung Ketahanan Pangan Lokal di NTT
Mrmberi makan kepada orang-orang yang memiliki sifat-sifat itu, menurut Walaka adalah mubazir. Sintak Sunan Muryopodo dan Sunan Kudus tersingung.
Keduanya ingin berkrjahi dfmgan Walska, tetapi dicegah oleh Sunan Giri. Mereka disarankan untuk tidak menanggapi Walaka, karena hanya akan menurunkan harga diri.
Ketika Sunan Giri mencegah, ia sembari memberin kode. Kode yang dimaksud adalah mengeluarkan ajian panglerepan dan pangalisan.
Para wali yang mengerti kode Sunan Giri segera mengeluarkan ajian pangalisan. Tapi Sunan Panggung, Syekh Lemahabang, Sykeh Maulana Ibrahim memilih keluar, pura-pura hendak mengambil air.
Mereka menganggap para wali lain telah dikuasai oleh sifat cepat marah. Oleh karrna itu mereka tidak ikut-ikutan menyerang Walaka.
Oohya! Baca juga ya:
Joko Tingkir, Cucu Raja Majapahit yang Menurunkan Presiden Indonesia
Sedangkan para wali yang menyerang Walaka menganggap Walaka adalah genderuwo. Itulah sebabnya harus dimusnahkan.
Para wali yang keluar, termasuk Sunan Giri, sudah tahu bahwa Walaka adalah Sunan Kslijaga yang sedang menyamar. Maka merrka tidak msu ikut menyerangnya.
Sultan Demak pun akhirnya menyadari jika Walaka adalah Sunan Kalijaga. Ketika Sultan Demak akan memeluk pangkuan Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga segera menghilang.
Yang tinggal hanya seberkas cahaya yang kemudian juga sirna. Para wali pun takjub.
Guru Sultan Agung raja Mataram itu pun benar-benar hilang dari hadapan para wali.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Laku Hidup Kanjeng Sunan Kalijaga, terjemahan dari kitab kuno Serat Kaki Walaka, diterbitkan oleh Trah Kekuarga Besar Sunan Kalijaga (2007)
- Sunan Kalijaga, karya Dr Purwadi MHum dan Dra Siti Maziyah MHum (2005)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com