Lincak

Pernah tak Puasa, Sultan Agung Rayakan Lebaran dengan Garebek Syawal (Grebeg Syawal)

Garebek Syawal atau Garebek Puasa di Keraton Yogyakarta. Garebek merupakan tradisi Hindu Jawa yang kemudian disesuaikan dengan kalender Jawa Islam yang disusun Sultan Agung.

Raja Mataram ini pernah tidak melakukan puasa Ramadhan, sehingga mendapat teguran dari penghulu keraton. Kendati begitu, Raja Mataram yang memulai penggunaan kalender Jawa Islam ini merayakan Lebaran.

Perhitungan kalendar Jawa Islam dilakukan oleh Raja Mataram Sultan Agung sejak 1633. Ini kalender menggunakan perhitungan perputaran rembulan mengelilingi matahari, yang digunakan untuk menetapkan Lebaran.

Dalam perhitungan kalender Jawa Islam, Lebaran yang dirayakan dengan Garebek Syawal (Grebeg Syawal) atau Garebek Puasa, dilakukan pada hari awal bulan Syawal. Sultan Agung mengadakan Garebek Syawal di serambi masjid keraton.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

3 Sahabat Nabi tak Ikut Perang Tabuk, Kenapa Dikucilkan 50 Hari?

Karena menggunakan perhitungan rembulan, kalender Jawa Islam hanya memiliki hari sebanyak 354-355 dalam setahun. Dengan jumlah bulan 12 bulan: Suro, Sapar, Mulud, Badka Mulud, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Apit, Besar.

“Waktu ini memiliki durasi 29 hari 12 jam 44 menit, kira-kira sama dengan bulan kita,” tulis De Locomotief koran orang Belanda yang menggunakan kalender dengan perhitungan matahari.

Jadi dalam setahun ada 29 hari 12 jam 44 menit x 12 = 354 hari 8 jam 48 menit. Tapi ada bulan yang terdiri dari 30 hari, makanya perhitungan hari dalam setahun bisa 354 dan 355 hari.

Kalender Islam dimulai sejak Nabi Muhammad melakukan hijrah pada 16 Juli 622 Masehi. Sedangkan penggunaan kalender Jawa dilakukan 544 tahun sebelum Nabi hijrah, yaitu pada tahun 78 Masehi saat Aji Saka datang di Pulau Jawa.

Jika bulan pertama di kalender Islam adalah Muharam, maka di kalender Jawa adalah Suro. Sultan Agung merayakan tahun baru dengan acara Garebek Suro yang diadakan pada 10 Suro dengan bubur suro.

Oohya! Baca juga ya:

Joko Tingkir, Cucu Raja Majapahit yang Menurunkan Presiden Indonesia

Nama bulan pertama dan danam bubur itu merujuk pada Asyuro. Dalam bahasa Arab berasal dari kata Asyr, yang artinya 10, yaitu tanggal saat cucu Nabi menjadi korban pembunuhan.

Oleh karena itu perayaan tahun baru Jawa menjadi perayaan yang tidak hura-hura. Melainkan perayaan untuk mengasihi orang-orang miskin.

Orang Jawa memperlihakan kelemahlembutannya pada Garebek Suro, seperti halnya lembutnya bubur Suro. Caranya dengan membayar zakat, memberikan sedekah, dan sebagainya.

“Tidak seorang pun dapat membawa harta dunia bersamanya ke dalam kubur: jangan pernah lupa bahwa suatu hari Anda harus mati. Barangsiapa yang mendekati orang-orang miskin dengan rasa kasihan dan pertolongan, maka pahalanya akan sangat besar,” tulis Indische Courant voor Nederland menyambut perayaan Garebek Suro di Jawa pada 1953.

Dalam hal ini, kata koran itu, Orang Jawa juga mengenal kelemahlembutan dalam ajaran Islam, bahwa hanya ketakwaan dan amal, sedekah, sajalah yang akan dibawa mati. Harta duniawi tidak akan dibawa ke kubur.

“Berbahagialah orang yang membagi harta miliknya kepada orang yang membutuhkan, memberi makan kepada orang yang lapar, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, dan membantu sesamanya dalam kebutuhannya. Kehidupan di masa depan tidak akan memberinya apa-apa selain kebahagiaan,” lanjut koran itu.

Oohya! Baca juga ya:

Beringin dan Istana Emas di IKN, Ini Kata Serat Kaca Wirangi

Selain Garebek Suro, ada pula Garebek Syawal atau Garebek Puasa, Garebek Mulud, dan Garebek Besar. Garebek Mulud merupakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad pada 12 Mulud (Rabiulawal), sedangkan Garebek Besar merupakan perayaan pengorbanan Nabi Ismail yang diperingati sebagai Hari Kurban pada 10 Besar (Zulhijah).

Maka, Dr HJ de Graaf mencatat, banyak orang Barat yang menilai Sultan Agung benar-benar menjalankan ajaran Islam sejak 1633. Pandangan ini didasari oleh tindakan Sultan Agung menerapkan kalender Jawa Islam sejak 1633 itu.

"Setelah 1633, tarikh Saka yang tua sekali yang dimulai pada 78 Masehi dilanjutkan tetapi lanjutannya ini tidak dengan perhitungan tahun matahari melainkan dengan perhitungan tahun bulan yang terdiri dari 354 atau 355 hari," kata HJ de Graaf mengenai dimulainya kalender Jawa-Islam oleh Sultan Agung.

"Bagaimanapun, perubahan ini dapat dianggap sebagai perwujudan kesadaran kemusliman yang semakin kuat," ujar De Graaf. Pandangan kuat tentang keislaman Sultan AGung yang baru ada setelah 1633 dilontarkan oleh CC Berg, yang kemudian dikoreksi oleh De Graaf.

“Sebelum 1633, terlihat juga ketaatannya pada agama,” kata De Graaf.

Oohya! Baca juga ya:

Bicara Simbol, Beda Jokowi dengan Sunan Kudus dalam Membangun Kota

De Graaf juga menyebut catatan dalam cerita lisan. “Raja terkenal sebagai seorang Islam yang saleh, bahkan mempunyai kekuatan untuk secara teratur mengikuti sembahyang Jumat di Makkah,” kata De Graaf.

Sejak awal-awal pemerintahannya pun, Sultan Agung sudah mengangkat penghulu untuk mengajarkan Islam di keraton. De Graaf juga menyebut, ada catatan Belanda pada 1622 yang melaporkan Sultan Agung selalu menghadiri acara Garebek Syawal di masjid keraton.

“Pada acara persembahan penganan (gunungan-gunungan) di lapangan masjid, raja atau patih bersama pejabat istana biasanya menganbil tempat di serambi dan dari tempat itu mengikuti doa penghulu yang berada di dalam masjid,” kata De Graaf mengenai acara Garebek Puasa itu.

Dalam babad, Sultan Agung juga diceritakan sering melakukan shalat Jumat, berbeda dengan Amangkurat I yang hanya mengirim utusan untuk shalat Jumat di masjid keraton.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Babad Pagedongan (1941)
- Puncak Kekuasaan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
- De Locomotief, 20 April 1882
- De Indische Courant voor Nederland, 16 September 1953

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]