Sebab Pati Memberontak Sultan Agung dan Panembahan Senopati, Dua Raja Mataram
Ki Ageng Panjawi mendapat hadiah wilayah Pati dari Sultan Pajang. Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah hutan Mataram.
Ketika anak Pemanahan, Panembahan Senopati, menjadi raja Mataram, anak Panjawi memberontak pada 1600. Ketika cucu Senopati, Sultan Agung, menjadi raja, Pati juga memberontak pada 1627.
Panjawi dan Pemanahan berasaudara sepupu. Apa sebab Adipati Pati memberontak kepada dua raja Mataram: Panrmbahan Senopati dan Sultan Agung?
Oohya! Baca juga ya:
Kenapa Kakek Sultan Agung tak Pakai Gelar Sultan Meski Jadi Penerus Sultan Pajang?
Ki Panjawi menjadi adipati Pati dengan nama Pragola (Bragola) I. Anak Panjawi menjadi adipati Pati dengan nama Pragola (Bragola) II.
Yang melakukan pemberontakan adalah orang yang sama: Adipati Pragola II. Masa pemberontakannya pada kurun yang berbeda, terhadap dua raja Mataram.
Pada awalnya, srbagai bawahan Mayaram, Adioati Pati membantu Senopati menyerbu Madiun. Madiun berhasil mengumpulkan 70 ribu orang. Ia mendapat dukungan dari penguasa-penguasa di sekotar Madiun.
Sedangkan Mataram hanya membawa 8.000 orang. Senopati menggunakan taktik dengan melibatkan perempuan yang pintar berbicara.
Ohya! Baca juga ya:
Hari Nelayan, Kiara: Nelayan Kecil dan Tradisional Masih Terancam Keberadaannya
Perempuan itu tidak memberitahukan kedatangannya. Tiba-tiba ia muncul di hadapan Adipati Madiun. Ia memberi tahu bahwa Senopati menyerah dan meminta air bekas cuci kaki Adipati Madiun untuk dipersembahkan kepada Senopati.
Adipati Madiun tersanjung. Ia yang jauh lebih tua dari Senopati, kemudian mengangkat Senopati sebagai anak.
Adipati Madiun terbujuk oleh kata-kata perempuan itu, lalu membubarkan pasukanmya. Para penguasa di sekitar Madiun dia minta untuk pulang membawa orang-orangnya.
Keesokan harinya Madiun sudah ditinggalkan pasukan. Panrmbahan Senopati memimpin penyerbuan Madiun.
Ia menunggangi kuda berwarna keemasan. Kudanya terbunuh, tetapi ia berhasil menguasai keraton Madiun.
Adipati Madoun tentu terkejut karena Senopati menyerbu Madiun. Terlebih lagi, pasukan Madiun tidak bisa menpertahankan keraton.
Oohya! Baca juga ya:
Begini Awal Mula Kakek Sultan Agung Merebut Pajang Bersama Adik Angkatnya
Ia menyadari telah menjadi korban tipu daya Senopati. Ia menyebut Senopati "bagai madu di luar, tetapi racun di dalam".
Adipati Pati mengungsi ke Wirosobo, tetapi putrinya yang pingsan tettinggal di keraton. Retno Jumilah, putri Adipati Madiun itu, pingsan dengan masih membawa keris.
Bangun dari pingsan, ia berganti baju ksatria laki-laki. Ia menyambut Senopati dengan keris, tombak, dan pistol.
Retno Jumilah bertempur melawan Senopati selama 24 jam. Namun, senjata-senjata yang ia gunakan tak bisa melukai Senopati.
Retno Jumilah takluk, Senopati kemudian memperistrinya. Adipati Pati yang membantu penyerbuan Madiun tidak bisa menerima tindakan Senopati menikahi putri Madiun dalam suasana perang.
Oohya! Baca juga ya:
3 Sahabat Nabi tak Ikut Perang Tabuk, Kenapa Dikucilkan 50 Hari?
Ia pulang ke Pati lebih dulu dengan alasan Pati dalam bahaya. Senopati sudah merasakan akan ada pembelotan dari Pati.
Kekhawatiran Senopati terbukti. Pada 1600, Pati memberontak. Senopati berhasil memadamkannya.
Pada 1601 Senopati meninggal. Dari Retno Jumilah ia memiliki beberapa anak. Salah satunya yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Juminah.
Kelak Juminah ikut menyerbu Batavia yang kedua yang dilakukan oleh Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati, pada 1629. Pada 1627, Adipati Pati kembali memberontak.
Kali ini, Adipati Pati meninggal di medan perang. Pati hancur luluh lantak oleh pasukan Mataram.
Sebelum berperang, Adipati Pati berpesan kepada pada istrinya. Ia meminta agar mereka mengabdi kepada Mataram sepeninggalnya.
Oohya! Baca juga ya:
Joko Tingkir, Cucu Raja Majapahit yang Menurunkan Presiden Indonesia
“Ketahuilah, kalau aku berperang melawan Kakang, aku pasti mati [...] Sudah dipastikan Hyang Widi, bahwa aku akan hancur oleh bala tentara Mataram. Akulah yang mengakhiri hidup bahagia di negeri Pati,” kata Adipati Pati yang memanggil Sultan Agung dengan sebutan kakang.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Awal Kebangkita Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)
Babad Tanah Jawi Buku II, penerjemah Amir Rokhyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]