Kendeng

Ikut Garebek (Grebeg) Besar di Demak Disebut Setara dengan Naik Haji, Lho Lho Lho Bagaimana Urusannya?

Mengikuti acara Garebek (Grebeg) Besar di Demak pada masa lalu dianggap setara dengan naik haji.

Hingga tahun 1930-an, orang Jawa masih mempunyai anggapan: menghadiri Garebek (Grebeg) Besar di Masjid Demak setara dengan naik haji. Lho lho lho, bagaimana urusannya?

Pada masa lalu, Demak disepadankan dengan Makkah. Babad Sengkala memberitakan, ada pemberontakan di Mataram pada tahun 1522 Jawa yang dilakukan Adipati Mesir. Apakah Mesir di bawah kekuasaan Mataram?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tentu saja bukan. Jika Demak adalah Makkah, maka Mesir digunakan untuk menjuluki Pati.

Oohya! Baca juga ya:

Siapa Keturunan Sahabat Ayah Kakek Sultan Agung yang Jadi Raja Mataram?

Jika dihitung dalam kalender Masehi, pemberintakan Adipati Mesir itu tetjadi tahun 1600. Mataram masih dipimpin oleh Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung.

Ada pula Madinah dan Al Quds untuk menyebut Kadilangu dan Kudus. Pada masa Kerajaan Demak, Sunan Kudus tak puas hanya menjadi penghulu keraton. Peran penghulu kurang luas.

Ia menginginkan para wali memiliki peran yzng luas seperti yang berlaku di Giri. Ia mengundurkan diri sebagai penghulu lalu membangun negeri baru yang ia sebut Kudus.

Kota suci ini diambil dari nama Al Quds yang ada di Palestina. Jika Kudus adalah Al Quds, mana Makkah yang menjadi kiblat bagi orang Jawa? Mana pula Madinah? Mana Mesir?

Oohya! Baca juga ya:

Ayah Kakek Sultan Agung Baru 20 Tahun Kemudian Terima Hadiah Hutan Mataram, Halo Joko Tingkir....

Pati dirujuk sebagai Mesirnya orang Jawa. Kadilangu, tempat tinggal dan tempat makam Sunan Kalijaga sebagai Madinah.

Lalu Demak menjadi Makkah bagi orang Jawa. Hingga tahun 1930-an, orang Jawa masih mempunyai anggapan: tujuh kali berturut-turut menghadiri Garebek Besar di Masjid Demak sepadan dengan naik haji.

Pada 1922, penerintah kolonisl Belanda menetapkan kebutuhan minimal untuk naik haji sebesar 600 gulden-850 gulden. Pada 1927, untuk bisa makan di warung milik pengurus Muhammadiyah di Kramat, mahasiswa STOVIA di Batavia mengeluarkan 15 gulden per bulan.

Penetapan kebutuhan minimal itu dilakukan agar tak ada yang nekat naik haji lalu mengandalkan belas kasihan orang lain selama hidup di Tanah Suci. Jadi, hanya orzng-orang yang mampu yang bisa pergi ke Makkah, Arab Saudi.

Maka, orang-orang yang tak mampu ke Arab Saudi cukup menghadiri Garebek Besar di Makkah, Jawa Tengah, eh, di Demak, Jawa Tengah. Hingga 1937, Garebek (Grebeg) Besar di Demak itu yercatat masih selalu ramai didatangi orang.

Di Demak ada masjid yang dibangun pada masa Raden Patah menjadi sultan Demak di abad ke-15. Pendirinya adalah para wali.

Oohya! Baca juga ya:

Benarkah Ayah Kakek Sultan Agung Jadi Perampok karena Joko Tingkir tak Segera Berikan Hutan Mataram?

Berbagai jenis kendaraan dari berbagai kota mengangkut, orang-orang yang ikut merayakan Garebek Besar di Masjid Demak,. Mereka seperti jamaah haji melakukan tawaf di Ka'bah, Masjidil Haram.

Mereka juga melakukan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak. Seperti ziarah ke makam Nabi di Madinah.

Garebek Besar diadakan pada tanggal 10 bulan Besar, yaitu bulan menurut kalender Jawa. Sama dengan bulan Dzulhijjah dalam karender Hijriyah.

Pada Garebek Besar 1937 itu, selain menggunakan kereta dan bus, ada pula yang menggunakan sepeda dari Semarang untuk mencapai Demak Jumlah pesepeda ini juga mencapai ribuan.

Saat Garebek Besar diadakan, biasanya ada penyembelihan hewan kurban. Sekain di Demak, Garrbek Besar juga diadakan di Surakarta dan Yogyakarta.

Oohya! Baca juga ya:

Leluhur Sultan Agung Gagal Jadi Tamtama Demak, Keturunannya Jadi Raja Mataram

Pada Garebek Besar 1904 di Yogyakarta, ada 2.000 warga yang mfnerima dagung kurban. Ada 25 ekor kambing kurban dan 12 ekor sapi kurban yang dipotong pada saat Garebek Besar di Yogyakarta pada 1904 itu.

Pada 1935 pemerintah kolonial menarik pajak pemotongan hewan kurban. Pimpinan Muhammadiyah bereaksi dengan menyerukan agar tak ada pemotongan hewan kurban karena pengenaan pajak pemotongan ini.

Gambaran Garebek Besar di Demak pada 1937 juga terjadi pada 1924. Untuk mengangkut orang-orang yang akan "naik haji" ke Demak, disediakan kereta tambahan dari Semarang.

Alun-alun Demak penuh dengan tenda. Bukan untuk tempat tidur para jamaah, eh pata pengunjung yang ikut merayakan Garebek (Grebeg) Besar, tapi untuk berjualan.

Masyarakat Jawa memercayai, bagi yang tidak memiliki cukup uang untuk pergi ke Makkah, cukup menghadiri Garebek Besar di Masjid Demak tujuh kali berturut-turut. Itu sama dengan naik haji.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie edisi Juli 1924
- Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)
- Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie edisi 16 Maret 1935

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]