Ayah Kakek Sultan Agung Baru 20 Tahun Kemudian Terima Hadiah Hutan Mataram, Halo Joko Tingkir....
Adipati Jipang Aryo Penangsang diperkirakan meninggal pada 1558. Kakek Sultan Agung yang saat itu masih kanal, menombaknya hingga ususnya terburai.
Setelah itu Joko Tingkir menyerahkan Pati kepada Ki Ageng Panjawi. Tapi penyerahan Mataram kepada ayah kakek Sultan Agung selalu ia tunda-tunda.
Kecewa, ayah kakek Sultan Agung pergi bertapa. Catatan Penulis Belanda menyebut sempat memimpin kelompok perampok. Mengapa baru 20 tahun kemudian Joko Tingkir menyerahkan hadiah hutan Mataram?
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini
Hutan itu dijanjikan oleh Joko Tingkir sebagai hadiah setelah membunuh Aryo Penangsang pada 1558. Ia menyingkirkan Aryo Penangsang bersama Panjawi, menggunakan Sutowijoyo.
Joko Tingkir selalu menunda-nunda penyerahan dengan alasan sedang mencari lahan yang lebih layak. Alasannya agar ayah kakek Sultan Agung itu tidak bersusah payah membuka hutan.
Tentu saja ini bukan alasan sebenarnya. Sebab ia sedang gelisah karena Mataram diramalkan oleh Sunan Giri akan melahirkan raja penguasa Tanah Jawa.
Kakek ayah Sultan Agung yang dikenal sebagai Ki Ageng Pemanahan kemudian hanya menikmati tinggal di Mataram selama enak tahun. Cucu Ki Ageng Selo itu meninggal pada 1584.
Oohya! Baca juga ya:
Lebaran Banyak Orang Datangi Meriam Si Jagur di Batavia, untuk Apa?
Maka, Dr HJ de Graaf menghitung pembangunan Mataram dimulai 1578. Jadi ayah kakek Sultan Agung harus menunggu 20 tahun untuk memperoleh hadiah yang ia dapatkan pada 1558?
"Jadi, pendirian keraton itu mestinya didahului oleh masa yang penuh dengan pertrnpuran dan kekacauan selama 20 tahun," kata De Graaf membuat dugaan.
Mungkin karena selisih waktu yang panjang ini, penulis Belanda Valentijn membuat catatan masa itu sebagai masa Ki Ageng Pemanahan bertindak sebagai kriminal. Bahkan hutan Mataram disebut didapatkan oleh ayah kakek Sultan Agung dengan aksi kekerasan.
Mataram masih hutan belantara. Baru ada perkampungan dengan 800 penduduk.
Cerita babad menyebut Ki Ageng Pemanahan beserta rombongannya berangkat dari Pajang membawa surat dari Sultan Pajang. Itu pun setelah Sunan Kalijaga menegur Joko Tingkir agar memenuhi janjinya.
Katena surat itu, 800 penduduk Mataram pun menyambut kedatangan Ki Ageng Pemanahan dengan baik. Ketika Ki Ageng Pemanahan mulai membuka hutan, 800 penduduk itu ikut membantu.
Oohya! Baca juga ya:
Kapan Lebaran Idul Fitri Pernah Berbeda?
Jalan dibangun, lalu ditanami pohon buah-buahan di sisi-sisinya. Mataram berkembang, anen padi berlimpah.
Perdagangan juga berkembang. Penduduk berdatangan untuk tinggal di Mataram.
Ki Ageng Pemanahan kemudian dikenal sebagai Ki Gede Mataram. Ia melanjutkan menjadi pertapa setelah mendengar ramalan dari Sunan Giri bahwa keturunannya akan menjadi penguasa Tanah Jawa
Suatu hari ia mengunjungi sahabatnya sesama pertama di Desa Giring. Ia tiba di rumah Ki Ageng Giring saat pemilik rumah masih di kebun.
Ia melihat ada kelapa muda yang tersaji di meja siap untuk minum. Haus setelah perjalanan panjang, membuat Ki Ageng Pemanahan segera meminum kelapa muda itu.
Oohya! Baca juga ya:
3 Sahabat Nabi tak Ikut Perang Tabuk, Kenapa Dikucilkan 50 Hari?
Ki Ageng Giring pulang, ia tak bisa meminum sir kelapa itu karena sudah dihabiskan oleh tamunya. Ia memetik kelapa muda itu setelah mendapat bisikan bahwa yang meminumnya akan memiliki keturunan raja.
Maka, keturunan Ki Ageng Pemanahanlah tang akan menjadi raja. Tak mungkin memarahi tamunya, Ki Ageng Giring meminta agar kelak keturunan mereka berbagi kekuasaan.
Ayah kakek Sultan Agung memenuhinya. Keturunan Ki Ageng Giring akan mendapat kesempatan menjadi raja ketujuh.
Setelah Ki Ageng Pemanahan meninggal pada 1584, anak Ki Ageng Pemanahan, Sutowijoyo, menggantikannya. Sutowijoyo memiliki cucu, yang menjadi raja besar Mayaram: Sultan Agung.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]